Postingan

Kumpulan Tulisan

KESADARAN BUDHA

Politik Gender dan Represi Seksualitas yang Terus Berlangsung

Talkshow Seri #11

Antara Uji, Dahlia, Fidah, Ibu Tien, Mbok Minah, Siska (Firdaus), dan De Beauvoir

An Initial Observation of Homosexual and Transgender Experiences in the Islamic Province of Aceh, Indonesia: Political Dynamics and Daily Lives (Between Discrimination and Empowerment)

Diskusi talskhow Seri #10

Penguatan Peran Masyarakat dalam Pemenuhan Hak Anak Difabel (Pentingnya Perspektif Gender)

Difabel dan Keadilan Gender: Beberapa Isu Kunci

Puisi-puisi Karya Irama Melodya

Talkshow #9 “Keragaman Gender dan Seksualitas: Dari Riset ke Toleransi”

Kumpulan Tayangan ada di Youtube

LetSS Talk

LETSS Talk; Let's Talk about SEX n SEXUALITIES is family based sex and sexuality education project. Our goal is to transform the cultural taboo of talking about sex and sexualities toward a more democratic and free expression. LETSS Talk is interested in establishing a learning forum when family members can freely talk and discuss about sex and sexualities. Carrying the feminist principles of freedom, equality, and anti-violence, LETSS Talk facilitates a serial talkshow discussing various issues related to sex and sexuality education. LETSS Talk also works on knowledge production and circulation on this particular subject.

LetSS Talk
LETSS Talk mengadakan serial coaching penulisan dan publikasi sebagai salah satu kegiatan penguatan kapasitas bagi komunitas internal "Keluarga LETSS Talk." Ini adalah seri kedua yang fokus pada penulisan dan publikasi fiksi dengan instruktur Dian Nafi, seorang cerpenis dan novelis produktif. Kegiatan diadakan pada Minggu, 21 Februari 2021. Dipandu moderator Farid Muttaqin, kegiatan ini dilengkapi Juru Bahasa Isyarat (JBI), yaitu Chiki dan Isti. Dengan versi YouTube ini semoga coaching penulisan dan publikasi ini bisa bermanfaat untuk audiens lebih banyak.
Coaching Penulisan dan Publikasi Fiksi bersama Dian Nafi (Disertai Juru Bahasa Isyarat)
YouTube Video UCokOg7dGwIBWOwqoD9iM7eA_U99zIfSmYvs
Bertepatan dengan Hari Valentine, Minggu, 14 Februari 2021, LETSS Talk, PerDIK dan YAPESDI mengadakan talkshow seri #11 dengan tema "Remaja Bicara (Pendidikan) Seks dan Seksualitas." 1. Forum ini disediakan bagi para remaja untuk secara bebas dan terbuka berbagi pengalaman dan menyampaikan pemikiran atau pendapat tentang seks dan seksualitas. 2. Forum ini menjadi salah satu upaya menguatkan perhatian kita, bagi negara maupun masyarakat, tentang pentingnya pendidikan seks dan seksualitas bagi para remaja dan anak-anak. 3. Forum ini menjadi salah satu media kampanye untuk mendorong terbangunnya forum-forum pembelajaran dan diskusi yang terbuka, bebas, dan akademik, tentang seks dan seksualitas bagi para remaja. 4. LETSS Talk dan PerDIK memahami sepenuhnya hak-hak atas pengetahuan dan informasi tentang seks dan seksualitas yang dimiliki para remaja; kita semua mempunyai tanggungjawab dalam pemenuhan hak atas pengetahuan dan informasi tersebut. 5. Forum ini menjadi salah satu upaya kecil terpenuhinya akses atas pengetahuan dan informasi tentang seks dan seksualitas bagi para remaja. 6. LETSS Talk dan PerDIK memahami hambatan sosial-politik-budaya di balik keterbatasan akses atas pengetahuan dan informasi tentang seks dan seksualitas bagi para remaja. Hambatan-hambatan itu mulai dari, meski tidak terbatas pada, budaya tabu dan malu hingga rasa takut dan khawatir pendidikan seks dan seksualitas mendorong perilaku “amoral” dan “nakal. 7. LETSS Talk dan PerDIK percaya, pengetahuan dan informasi tentang seks dan seksualitas yang dibangun melalui pendidikan seks dan seksualitas yang bebas, terbuka, dan akademik, yang sekali lagi menjadi tanggungjawab bersama, negara dan masyarakat, keluarga, sekolah, berbagai organisasi masyarakat, dan lain-lain. 8. LETSS Talk dan PerDIK ingin mengajak semua audiens mengapresiasi semua informasi dan pengetahuan dan respek terhadap semua narasumber yang hadir dalam forum talkshow ini. LETSS Talk dan PerDIK telah mendapatkan persetujuan dan menerima lembar persetujuan (consent form) yang ditandantangi orangtua/wali semua bintang tamu. Tujuh remaja --perempuan, laki-laki, difabel dan non-difabel-- hadir sebagai Bintang Tamu, yang akan berbagi pengalaman dan pandangan tentang seks dan seksualitas: 1. Rizky Dwi Saputra (MAN Lumajang Jawa Timur) 2. Aiyana Jehan (Evanston Townhsip High School, Evanston, Illinios, Amerika Serikat) 3. Nabila May Sweetha (SMU Negeri 11 Makassar, Sulawesi Selatan) 4. Liumena Feyruz Shiban (SMPIT Permata Bunda Alawiyah, Bandar Lampung, Lampung) 5. Asroni (SMK Negeri Bulukumba, Sulawesi Selatan) 6. Fata Mallika Zain (Homeschooling, Depok) 7. Nisfiatin Arsani (MA NW Wakan, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat) Sementara, lima remaja --perempuan, laki-laki, difabel dan non-difabel-- tampil sebagai performer, menamplkan kesenian: bermain musik, nyanyi, dan baca puisi: 1. Imansyah Aditya Fidri (Yayasan Peduli Sindroma Down Indonesia/YAPESDI: Bermain Drum) 2. Dzakira Nur Yusuf RB (SMPN 2 Bandar Lampung: Bermain Biola) 3. Shadiq Anshori Al Misran (MAN I Medan, Sumatera Utara: Bernyanyi Lagu Daerah Nias) 4. Faiza Yustiandar (Yayasan Peduli Sindroma Down Indonesia/YAPESDI: Bermain Keyboard) 5. Siti Azizah (SMALB Negeri Marawola, Sulteng: Membaca Puisi) Juga hadir dua ahli sebagai penanggap: 1. Danny Irawan Yatim, MA (Psikolog, Dosen UNIKA Atmajaya Jakarta) 2. Atashendartini Habsjah, MA (Co-Founder Yayasan Kesehatan Perempuan/YKP dan Wakil Ketua Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia/PKBI Periode 2010-2018) Acara performances akan dipandu oleh Pemandu Acara/MC: Muhammad Luthfi (PerDIK) dan acara diskusi akan dimoderatori oleh Renvi Liasari (LETSS Talk). Juru Bahasa Isyarat (JBI) pada acara ini adalah Andi Rezky Hardiyanti dan Istiana Purnamasari. Terima kasih kepada semua yang terlibat, mendukung, dan hadir dalam acara ini. Semoga bermanfaat....
Talkshow #11 "Remaja Bicara (Pendidikan) Seks dan Seksualitas" (Dilengkapi Juru Bahasa Isyarat/JBI)
YouTube Video UCokOg7dGwIBWOwqoD9iM7eA_m5zCDPmUQGA
LETSS Talk mengadakan coaching penulisan dan publikasi sebagai salah satu kegiatan penguatan kapasitas bagi komunitas internal "Keluarga LETSS Talk." Sesi pertama ini fokus pada penulisan dan publikasi non-fiksi dengan instruktur Danny Yatim, psikolog, dosen UNIKA Atmajaya Jakarta, dan penulis. Kegiatan diadakan pada Minggu, 7 Februari 2021. Dipandu moderator Renvi Liasari, kegiatan ini dilengkapi Juru Bahasa Isyarat (JBI), yaitu Ramadhany Rahmi dan Marceline Olivia. Semoga bermanfaat.
Coaching Penulisan dan Publikasi Non-Fiksi bersama Danny Yatim (Dilengkapi Juru Bahasa Isyarat/JBI)
YouTube Video UCokOg7dGwIBWOwqoD9iM7eA_1reqvQTjax4
Talkshow Seri #10 yang diadakan LETSS Talk, Minggu, 24 Januari 2021 bertema "Budaya-Politik Anti Pornografi: Seks dan Seksualitas di antara Privasi, Kebebasan, Moralitas, dan Kriminalitas," dengan narasumber: 1. Prof. Dr. Siti Musdah Mulia, MA (Ketua dan Pendiri the Indonesian Conference on Religion for Peace/ICRP; Penulis Buku Ensiklopedia Muslimah Reformis: Pokok-Pokok Pemikiran untuk Reinterpretasi dan Aksi) 2. Rosalia Sciortino Sumaryono, Ph.D. (Socio-Cultural Anthropologist; Dosen di Institute for Population and Social Research, Mahidol University, Visiting Professor di International Development Studies, Chulalongkorn University, Thailand, dan Former Country Representative Ford Foundation Indonesia/Filipina; Founder SEA Junction) 3. Soe Tjen Marching, Ph.D. (Dosen di School of Oriental and African Studies/SOAS, University of London, Inggris; Penulis Buku “Dari Dalam Kubur” dan “Seks, Tuhan, dan Negara,” 2020) 4. Andy Yentriyani, MA (Ketua Komnas Perempuan) 5. Tamu Spesial: Hartoyo (Aktivis Suara Kita/Our Voice) 6. Moderator: Diah Irawaty (Pendiri LETSS Talk) Juru Bahasa Isyarat (JBI) pada diskusi ini adalah Ramadhani Rahmi dan Andi Rezky Hardiyanti. Kontrol Pornografi, Politik Seksualitas, dan Demokratisasi yang Layu Melalui UU tentang Pornografi Tahun 2008, Indonesia resmi memberlakukan aturan yang mengontrol pornografi. Tapi, proses pengesahan UU ini diisi bentrok dahsyat antara kelompok pendukung pengaturan pornografi dan kelompok yang menentang. Kedua kelompok tersebut merepresentasikan dua paradigma kebangsaan yang berbeda, yang sama-sama muncul menikmati ruang kebebasan berekspresi dan bersuara di era pasca-Orde Baru. Mereka yang pro pengaturan dan kontrol pornografi merasa punya hak untuk menyampaikan aspirasi dan suaranya tentang Indonesia (baru) pasca-Orba, yaitu Indonesia dengan masyarakat yang selalu terus manut dengan “nilai-nilai ketuhanan”; rejim otoriter penuh KKN ala Orba memang perlu direformasi, tapi warganya tetap harus “agamis” dan “bermoral.” Itulah Indonesia pasca-Orba yang mereka impikan; pengaturan dan kontrol pornografi adalah jalan membangun Indonesia pasca-Orba yang mereka impikan itu. Yang menentang pengaturan pornografi memandang upaya tersebut justru akan merusak proses demokratisasi yang baru saja dibangun, setelah lebih 32 tahun kita berada di bawah rejim otoriter dan totaliter. Pengaturan pornografi adalah ancaman langsung bagi penguatan kebebasan berekspresi, nilai paling mendasar dari demokrasi. Pengaturan pornografi membuka lagi kesempatan terbangunnya rejim otoriter yang bisa mengklaim memiliki kekuasaan dan otoritas tunggal dan absolut mengontrol ekspresi yang “legal” dan illegal. Indonesia pasca-Orba seharusnya menjadi Indonesia yang demokratis, yang yang justru melindungi berbagai ekspresi warga negara. Daripada membuat aturan yang mengontrol dan otoriter, yang dibutuhkan dalam pengaturan ini adalah bagaimana kebebasan berekspresi dalam pornografi (dan pornoaksi) mendapat perlindungan dan dijamin oleh negara. Konflik paradigmatik tentang the imagined Indonesia pasca-Orba ini menunjukkan bagaimana pengaturan pornografi menjadi bagian penting dari perjalanan demokratisasi di era reformasi, menjadi bagian krusial dari proses membangun Indonesia baru pasca-Indonesia yang represif dan totaliter. Lebih lanjut, dinamika sosial-politik terkait pornografi ini juga menegaskan politik seksualitas masih menjadi elemen politik yang berpengaruh di Indonesia pasca-Orba. Soeharto dengan Orba sendiri merupakan rejim yang sangat berpengalaman dalam menerapkan politik gender dan seksualitas untuk konsolidasi politik, dari mulai kriminalisasi seksualitas dan gender Gerwani, UU Perkawinan 1971, pengorganisasian para isteri pegawai negeri dan TNI, dll. Di sinilah pentingnya mendiskusikan pornografi sebagai bagian dari politik gender dan seksualitas, memahaminya dalam konteks sebagai bagian dari upaya dan strategi mewujudkan suatu Indonesia masa depan yang dicita-citakan, oleh kelompok politik tertentu. Di sinilah pentingnya membicarakan pornografi dalam konteks budaya-politik, pentingnya membicarakan pornografi lebih dari sekedar membicarakan kasus yang seringkali berhenti pada aspek sensasi dan kehebohan. Indonesia pasca-Orba seperti apakah yang kita impikan atau imajinasikan? Sejauhmana konflik antara moralitas dan kebebasan menjadi dilema dan mampu diselesaikan melalui berbagai upaya negosiasi politik? Sejauhmana kontrol pornografi sebagai satu bentuk politik seksualitas memberi ancaman dan tantangan bagi warga negara dengan identitas gender dan seksual non-normatif? Bisakah kita menjadi negara yang tidak gemar mengontrol moralitas “orang lain” dan percaya pada kebebasan individual? Bisakah kita menjadi bangsa yang bisa memiliki cara berpikir lebih “logis”, mampu membedakan kebebasan dengan tindakan kekerasan sehingga mampu membuat aturan anti-kekerasan tanpa menjadikan kebebasan sebagai target dan sasaran kontrol, pendisiplinan, dan pengaturan? Selamat berefleksi.....
Talkshow Budaya Politik Anti Pornografi: Seksualitas di antara Kebebasan dan Moralitas (Dengan JBI)
YouTube Video UCokOg7dGwIBWOwqoD9iM7eA_a1HzwENIhMY
LETSS Talk bekerjasama dengan Pergerakan Difabel Indonesia untuk Kesetaraan (PerDIK) mengadakan event special dalam rangka merayakan Tahun Baru 2021 sekaligus kampanye anti kekerasan dan opresi seksual dan toleransi terhadap keragaman gender dan seksual. Berbagai performance seperti nyanyi, tari, baca puisi, monolog, pentas wayang (puppet show) -dengan dalang dari Amerika, dan baca cerpen ditampilkan para artis baik profesional maupun non-profesional yang berpartisipasi secara volunteer. Selain penampilan seni, event ini juga menghadirkan orasi oleh tokoh feminis, Ita Fatia Nadia. Acara berlangsung Rabu, 30 Desember 2020, selama 5 jam. Acara ini dilengkapai Juru Bahasa Isyarat agar bisa diakses oleh difabel tuli. Terima kasih kepada semua yang berpartisipasi dan mendukung acara ini. Selamat menikmati, happy learning, and Happy New Year to all of you. All the best with your 2021. Sahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual; kuatkan toleransi dan respek terhadap keragaman gender dan seksual; perbanyak pendidikan seks dan seksualitas yang accessible baik bagi difabel maupun non-difabel. Featuring: 1. Ita Fatia Nadia (Yogyakarta) 2. Laode Muhammad Hayat Rahmat (Makassar) 3. Ahmad Zundi Tamiko (Brebes) 4. Zubaedah Djohar (Jakarta) 5. Syahirul Alim dan Robiatul Adawiyah (Jakarta) 6. Stella Rosita Anggraini (Jombang) 7. Dona Amelia (Singapura) 8. Dewi Nova (Tangsel) 9. Eka Dwipayana Sabeh (Bali) 10. Diah Irawaty (New York) 11. Jodhi Yudono (Jakarta) 12. M Aan Mansyur (Makassar) 13. Jennifer Goodlander (Indiana, USA) 14. Enchik Sri Krishna dan Teuku Dalin (Yogyakarta) 15. Rilda Oelangan Taneko (Lancaster, UK) 16. Yokie S aka Bung Plontos (Surabaya) 17. German Huanca Luna (Bolivia) 18. Dian Nafi (Demak) 19. Ruangbaca/Viny Mamonto dan Saleh Hariwibowo (Makassar) 20. Maritza Hagan (New York) 21. Mai Munzir (Aceh) 22. Verita S. Koapaha (Banten) 23. Ishak Salim (Makassar) 24. Apri Iriyani (Semarang)
LIVE Concert Merayakan Tahun Baru, Merayakan Seksualitas: Let's Have Fun n Be Political (Dengan JBI)
YouTube Video UCokOg7dGwIBWOwqoD9iM7eA_5m8T83Ue904
Keragaman Gender, Keragaman Seksual, dan Seksualitas di Indonesia: Dari Riset ke Toleransi LETSS Talk mengadakan Talkshow Seri #9 pada Sabtu, 12 Desember 2020 (Karena hari-hari ini, kita sangat sering disodori adegan intoleransi, atas dasar keepercayaan, etnisitas, geografi, latar belakang budaya, kelas, afiliasi politik, dan identitas sosial-politik lainnya… Karena intoleransi terhadap idenitas gender dan seksual non-normatif dan non-ofisial adalah salah satu bentuk intoleransi paling covert….) Hasil survey nasional yang dilakukan Denny JA Foundation pada Oktober 2012 menunjukkan menguatnya intoleransi dalam masyarakat Indonesia dan memosisikan homophobia dan intoleransi terhadap LGBT pada nomor satu bentuk intoleransi, disusul intoleransi terhadap kelompok keberagamaan minoritas Ahmadiyah dan Syiah. Pada Maret 2010, FUI melakukan serangan terhadap penyelanggara Konferensi ILGA di Surabaya. Alih-alih memberikan perlindungan pada para korban serangan dan penyelenggara, aparat justru melakukan pembiaran dan “memaksa” peneyelanggara menggagalkan acara. Pada tahun 2016, Menristek M. Nasir pernah membuat statement untuk melarang LGBT “masuk kampus” dan melarang komunitas kampus melakukan aktivitas terkait LGBT di dalam kampus. Larangan ini menyusul pemberian ijin oleh UI bagi pembentukan Support Group and Resource Center on Sexuality Studies. Yang paling mutakhir, di masa pandemic, kita menemukan kasus pembakaran seorang transgender di Jakarta dan menjadikan transgender sebagai obyek frank YouTuber di Bandung; kita juga menemukan kenyataan terabaikannya banyak transgender dan kelompok gender dan seksual minoritas dari program jaring pengaman sosial yang dilakukan pemerintah. Tujuan forum ini adalah mendiskusikan pertanyaan utama: “What next setelah berkembangnya kajian dan penelitian tentang keragaman gender, seksual dan seksualitas --termasuk kompleksitas, dinamika, dan politik seksualitas di Indonesia?” serta memahami: Mengapa setelah kajian tentang keragaman gender dan seksual dan tema-tema seputar seksualitas di Indonesia semakin berkembang, Indonesia belum sepenuhnya menjadi negara yang lebih toleran terhadap identitas gender dan seksual yang non-normatif? Daripada melindungi hak warga untuk secara bebas dan merdeka memilih idenitas gender dan seksualnya, negara dan aparatnya justru sering melakukan pembiaran, bahkan terlibat langsung dalam opresi dan repsresi gender dan seksual dan bahkan menjadikan seksualitas sebagai komoditas politik. Di tengah conservative turn saat ini, menjadikan identitas gender dan seksual yang non- normatif sebagi target opresi dan terror, alih-alih memberi perlindungan pada mereka yang menjadi sasaran opresi, represi, dan teror yang didorong konservatisme, negara justru bersikap diam terhadap tindakan kelompok-kelompok konservatif ini? Mengapa pengetahuan baru yang dihasilkan dari kajian tentang keragaman gender dan seksual belum sepenuhnya berpengaruh membentuk sikap yang lebih toleran dan terutama tidak diskriminatif, baik dalam masyarakat ataupun di level negara? Mengapa terjadi diskoneksi bahkan kontradiski antara makin berkembang kajian dan pengetahuan yang dihasilkannya dengan sikap yang justru makin intoleran di kalangan masyarakat dan aparat negara? Talkshow ini berusaha mencari jawaban dari pertanyaan-pertanyaan di atas, baik jawaban di level mikro “politik academia” maupun di level makro sosial-politik. Kita berharap, diskusi ini akan menjadi sumbangan kecil membangun cara pandang dan perlilaku lebih toleran terhadap segala bentuk keragaman, utamanya keragaman identitas gender dan seksual. Narasumber yang hadir sangat penting karena keahlian akademik dan pengalaman aktivismenya dalam isu keragaman gender dan seksual serta dinamika dan kompleksitas seksualitas dan poitik seksualitas di Indonesia. 1. Julia Suryakusuma (Kolumnis dan Author; Penulis Buku “Sex Power and Nation” dan “Julia’s Jihad”) 2. Dede Oetomo (Aktivis GAYa NUSANTARA; Penulis Buku “Memberi Suara pada yang Bisu”) 3. Sharyn Graham-Davies (Direktur the Herb Feith Indonesian Engagement Centre, Monash University; Penulis Buku “Challenging Gender Norms: Five Genders Among the Bugis in Indonesia” dan “Gender Diversity in Indonesia: Sexuality, Islam and Queer Selves”) 4. Wisnu Adihartono (Pengamat Sosial École des Hautes Études en Sciences Sociales/EHESS; Penulis Buku “Migration et soutien Familial” -- dalam bahasa Perancis). 5. Moderator: Farid Muttaqin (Pendiri LETSS Talk) Diskusi ini dilengkapai Juru Bahasa Isyarat (Ramadhany Rahmi dan Yanda Elsera Maria Sinaga) agar bisa diakses para Difabel Tuli. Jika Anda punya pertanyaan terkait acara ini, dan kegiatan LETSS Talk lainnya, silahkan kontak Diah Irawaty (Ira) di nomor WhatsApp (+1 607 727 6170) atau E-mail: letsstalksexuality@gmail.com.
Talkshow Seri #9 "Keragaman Gender dan Seksual di Indonesia: Dari Riset ke Toleransi" (Dengan JBI)
YouTube Video UCokOg7dGwIBWOwqoD9iM7eA_kimPe-EWQ7s
Is Solidarity among Cross-Cultural Feminists Possible? bell hook, a feminist theorist, a Black Feminist activist and thinker, once published a book she named “Feminism is for Everybody,” a title that reflects her ambition that feminist thinking will live in everybody’s minds. She wants and believes, feminism as a social-political and intellectual idea of anti-oppression and injustice will be a fundamental way of emancipation and liberation if it turns to be a mainstream way of thinking. As an “ambition”, bell hook offers a very important point. However, such an ambition of bringing feminist way of thinking into everybody’s mind finds a very difficult and mountainous path. Underlying bell hook’s idea is sisterhood, an articulation of solidarity derived from women’s experiences both as victims of oppression or as actors with their agentive capacity to challenge and transform the system and structure of oppression. Are women’s experiences singular and identical? Is there only one single “form” of feminism? How do different geographical backgrounds display different geographies of gender and sexuality and how should feminists deal with these varieties? How are these different geographies of gender and sexuality a resource to build feminist solidarity? Another Black Feminist scholar and writer, Audre Lorde, indeed warns us that rather than being an ideology of liberation and emancipation, feminism was a “master’s tool,” a tool used by the colonials to legitimize their oppression against the colonized in the name of liberation and civilization. Feminism was a tool to maintain hierarchical power relations between the colonial and the colonized. Feminism was the “master’s tool” to bring the Western ideal of gender norms and gender relations into a hegemonic and universal concept. This also legitimizes the claim that only the encounter of Western colonialism inspired the rise of feminism in non-Western societies. Gender is brought as the standard of civilization and progressive evolution in which the subjugation, subordination and domestication of women were viewed as “Oriental backwardness,” reflecting the low status of women in non-Western societies, as Jayawardena elaborates. There was colonial feminism that was not always a “good and right tool” to liberate women in the colonized countries. In fact, as Oyèrónkẹ́ Oyèwùmí examines, even gender as an analytical framework of inequality and oppression cannot be universally applied, in cross-cultural and historical contexts. Therefore, we need to consider the very specific contexts that play a role in diversifying women’s experiences. Remember, Lila Abu Lughod addresses, feminism was presented as a legitimacy of war against terrorism for the sake of saving Muslim women from Muslim men, liberating Muslim women from the Islamic patriarchal tradition. Postcolonial feminist Gayatri Spivak poetically articulates this situation as, “White men saving brown women from brown men.” Working on bringing “feminism into everybody’s mind” requires critical thinking related to certain questions such as: Is feminism still for everybody? In what way feminism is possible for everybody? Is global sisterhood that crosses cultural, class, historical, geographical boundaries possible? In what way is it possible? Feminist solidarity is a necessity to consolidate our movements against the oppression; yet, it displays complexities within feminist movements. Sometimes, it even turns to be a new source of “conflict” among feminists from different cultural and geographical contexts. While it gives us some difficulties, it is always important to bring it into dialogs. The main goal is to build an understanding that while we have differences, we always think about our biggest enemy: patriarchy and other systems of oppression and injustice. We can begin by understanding the differences. But, how? Can there be a local feminism more contextual with local gender politics? In conjunction with the 16 Days of Activism Against Gender-Based Violence, LETSS Talk held a talkshow series #8 “Understanding Differences, Building Solidarity: Gender-Based Violence Movements in Different Contexts" Wednesday, December 2, 2020. A number of gender equality activists and feminist scholars from different countries were present as speakers: 1. Undariya Tumursukh (MONFEMNET National Network, Mongolia) 2. Yuniyanti Chuzaifah (Women Human Rights Activist, Indonesia) 3. Daniela Valle (Anti Domestic Violence Activist, USA) 4. Maria Rashid (Feminist Practitioner and Researcher, Pakistan) 5. Sharon Advincula Carangal (Professor of History and Gender Studies, the University of the Philippines Manila, the Philippines) 6. Shamila Daluwatte (Lawyer; Women’s Rights Activist, Sri Lanka) 7. Diah Irawaty (Moderator; Founder of LETSS Talk) LETSS Talk provided Indonesian Sign Language Interpreters/Juru Bahasa Isyarat Indonesia (Mada and Yulina).
Talkshow International Forum "Understanding Differences, Building (Feminist) Solidarity" (with SLI)
YouTube Video UCokOg7dGwIBWOwqoD9iM7eA_0b64MnkzSZY
Pendidikan Seks/Seksual, Kekerasan Seksual dan RUU PKS Talkshow Seri#7 LETSS Talk Rabu, 25 November 2020 Jam 19:00-21:30 WIB. LETSS Talk mengadakan talkshow spesial dalam rangka memperingati Hari Anti-Kekerasan terhadap Perempuan Dunia (25 November) sekaligus perayaan 16 Hari Aktivisme Anti-Kekerasan Berbasis Gender (25 November-10 Desember). LETSS Talk ingin memanfaatkan momen ini untuk menguatkan advokasi RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) yang saat ini sedang "diparkir" di (semoga bukan di tempat parkir) DPR. Sudah bertahun-tahun RUU ini berada di gedung DPR sejak "diusulkan" Komnas Perempuan dan elemen gerakan perempuan lain. Mengapa payung hukum yang kehadirannya sangat mendesak sebagai bagian dari upaya penghapusan kekerasan seksual begitu sulit disahkan? Bukankah seharusnya kekerasan seksual menjadi musuh bersama bangsa (beradab) ini? Bukankah dengan "menahan" pengesahan RUU ini sama saja kita bersikap kompromi dan permisif terhadap kekerasan seksual? Harus berapa lagi anak bangsa menjadi korban, menjadi tumbal, berlarutnya proses legislasi RUU ini? DPR bahkan mengeluarkan RUU ini dari daftar Prolegnas prioritas; DPR tidak memandang upaya penghapusan kekerasan seksual sekaligus upaya melindungi warga negara ini dari kekerasan seksual sebagai prioritas! Banyak yang "curiga" RUU ini menjadi ruang bagi legalisasi hubungan seksual di luar nikah; yang lain curiga, RUU ini adalah bagian dari "kampanye" hubungan seksual non-heteroseksual. Mengapa kecurigaan menjadi alasan untuk membiarkan kekerasan seksual terus mengancam anak bangsa ini? Mengapa "kepentingan politik" menghalangi kepentingn kemanusiaan: melindungi warga dari kekerasan seksual? Mengapa mereka yang menolak RUU ini tidak mencoba melihat kasus-kasus kekerasan seksual, termasuk yang dialami anak-anak? Banyak kecurigaan itu nyatanya memang didasari pre-assumption bahkan kesalahpahaman terhadap banyak persoalan terkait seks dan seksualitas --bahkan sekedar terhadap kata seksual sekalipun. Karenanya, sejauh manakah pendidikan seks dan seksualitas diperlukan dalam upaya penghapusan kekerasan seksual? Banyak pertanyaan lain yang perlu terus-terusan di bawa ke "atas meja diskusi;" kita perlu terus menerus membangun pemahaman dan perhatian publik terhadap proses advokasi RUU ini demi mendorong DPR segera mengesahkannya menjadi UU. Talkshow yang diadakan LETSS Talk kali ini bertujuan menjadi bagian dari upaya menguatkan advokasi RUU ini... Akan hadir para aktivis yang selama ini terlibat sangat intensif dalam berbagai upaya penghapusan kekerasan seksual di Indonesia, termasuk dalam advokasi RUU PKS. 1). Damairia Pakpahan (Country Representative for Protection International di Indonesia); 20. Sri Wiyanti Eddyono (Dosen Fakultas Hukum UGM); 3). Misran Lubis (Direktur Eksekutif Konsil LSM Indonesia, Senior Officer PKPA Medan), dan 4.) Maria Ulfah Anshor (Komisioner Komnas Perempuan). Sebagai moderator adalah Renvi Liasari (Pendiri LETSS Talk dan pegiat hak anak). Acara talkshow kali ini akan diawali dengan Performances dari 6 orang anak perempuan keren dan berprestasi, dengan dipandu Diah Irawaty (Pendiri LETSS Talk). Mereka adalah: 1). Malika Rose (Gitar, Chicago, AS); 2). Rai Kana Abhimatta (Piano, Yogyakarta); 3). Dzakira Nur Yusuf RB (Biola, Lampung); 4). Qamira Jasmine (Tari, Medan); 5). Alyaa Khofifah Putri Hardana (Gitar, Lampung); 6). Aiyana Jehan (Biola, Chicago, AS) Kehadiran hampir 100 peserta diskusi menjadi bagian dari dukungan publik terhadap advokasi RUU PKS ini. Seperti biasa, LETSS Talk menyediakan Juru Bahasa Isyarat (JBI) yaitu Ramadhani Rahmi dan Sari Widya Utami.
Talkshow #7 "Pendidikan Seks dan Seksualitas dan Kekerasan Seksual: Mendesaknya UU PKS" (Dengan JBI)
YouTube Video UCokOg7dGwIBWOwqoD9iM7eA_LFvcV-nJYx0
“Pendidikan Seks dan Seksualitas: Pengalaman Para Muslim” (Minggu, 8 November 2020) Apakah Islam sejalan dengan feminisme, dan sebaliknya, atau keduanya selalu saling bertolak belakang alias kontradiksi? Jawaban dari pertanyaan yang kelihatan sederhana ini justru menyumbang sangat penting pada perkembangan feminist scholarship, khususnya feminisme multikultural, feminisme dunia ketiga, feminisme Islam, dan feminisme poskolonial. Selanjutnya, hasil studi tersebut menjadi sumber kritik feminisme yang Barat-centric dan orientalis: seakan-akan hanya masyarakat Barat yang bisa menjalani pengalaman feminis dan mencapai derajat berpikir feminis. Mereka yang di luar Barat, the Rest, hanya berisi tradisi yang dipenuhi patriarkhisme, opresi terhadap perempuan, mustahil bagi sexual liberation….. perempuan-perempuan di sana hanyalah para korban diam yang tidak akan bisa mencapai kesadaran kritis feminis. Do Muslim women (really) need saving? No! Jawab Lila Abu-Lughod. Perempuan Muslim yang diam saat mengalami kekerasan, perempuan Muslim yang tidak akan punya kesadaran feminis dan kesaran kritis, adalah persepsi made in America demi menguatkan sisi uncivilized Islam yang akan selalu memerlukan (liberalisme) Barat untuk memerdekakannya. Nyatanya, tambah Saba Mahmood, bahkan perempuan-perempuan Muslim yang “berada” dalam tradisi keagamaan konservatif sekalipun punya kapasitasnya sendiri untuk membangun ruang merdeka, dan memanfatkannya, untuk mengekspresikan kemerdekaan mereka. Mahmood juga menegaskan, kemampuan para Muslim perempuan “menggapai” kemerdekaan bahkan tidak butuh pengaruh filosofi liberalisme; mereka punya sumber kemerdekaannya sendiri, untuk membangun dan melalui pengalaman “feminis.” Meski penting dalam hal menawarkan pendekatan analitis tentang relasi Islam dan feminisme, kedunya belum sepenuhnya menyediakan jawaban terkait keragaman, dinamika, dan bahkan “konflik” dalam internal masyarakat Muslim sendiri. Mengapa agensi yang diklaim bersumber dari Islam juga sering membuat kita jatuh pada stereotipikasi baru: kita menuduh Muslim lain yang tidak sejalan dengan “kesadaran” kita sebagai kurang Islam, bahkan “Anda Muslim?” jadi pertanyaan pemukul terhadap mereka yang pemikiran dan perilakunya terkait seks, seksualitas, dan gender berbeda dengan haluan pemikiran kita. Sejak kejatuhan Orde Baru yang memberi ruang makin luas bagi kebebasan berpikir, menguat upaya untuk memberikan jawaban dan argumen dengan mengedepankan doktrin-doktrin Islam yang dipandang “berkeadilan gender.” Kajian kritis terhadap pemikiran keislaman (klasik) yang bias gender, misoginis, tidak mendukung sexual freedom banyak dilakukan feminis Islam kita. Iya, mereka merepresentasikan feminis Islam karena memberi jawaban atas pertanyaan di atas dengan menggali dan mengkaji doktrin-doktrin Islam. Sebesar apa “jumlah” para feminis Islam, yang memerlukan klaim otoritas pemikiran dan pengetahuan keislaman sekaligus derajat “keulamaan” dan kesalihan (piety)? Apakah Muslim-muslim lain, di luar kelompok khas ini, tidak bisa menjadi feminis Islam karena menjalani keislamannya sekedar berdasarkan pergulatan pengalaman, meski di “KTP” tertulis Islam –dan hanya berhak menyandang gelar feminis Muslim? Mengapa keislaman yang dibangun dari pengalaman, bukan dari “doktrin” tidak mencukupi kita untuk mengakui sedang “menjalani Islam”? Talkshow in mendiskusikan bagaimana keislaman kita mempengaruhi cara kita bersikap, bertindak dan berpikir tentang seks dan seksualitas, termasuk dalam membangun dan menjalankan relasi seksual. Di sisi lain, kita juga akan berdiskusi bagaimana pandangan kita tentang seks dan seksualitas mempengaruhi cara kita menjalankan Islam dan mengekspresikan identitas keislaman. Sebagai narasumber adalah 1) Zubaedah Djohar, penyair, dengan latarbelakang keluarga religius dari Minang, saat ini tinggal di Aceh, orangtua tunggal, dan banyak terlibat dalam gerakan “politik tubuh dan seksualitas” melalui aktivitas seni dan fashion design; 2) Eko Bambang Subiantoro, Direktur Riset PolMark Research Center, alumni Kajian Gender Universitas Indonesia, pernah aktif di Jurnal Perempuan serta turut membentuk Aliansi Laki-Laki Baru dan membidani Portal Berita Perempuan www.konde.co; 3) Pasangan Faishol Adib dan Lindra Darnella; Faishol, Program Manager AIFIS (American Institute for Indonesian Studies), pernah aktif di PUAN Amal Hayati dan Migrant Care, dan menulis tesis MA saat di Ohio University tentang pekerja migran Indonesia tanpa dokumen yang tinggal di Philadelphia, AS, dan Lindra, lulusan Pesantren Darussalam, penyandang gelar Doktor, merupakan dosen Hubungan Internasional di UIN Yogyakarta; 4) Riri Khariroh, lulusan Ohio University dan aktif di PP Fatayat NU, merupakan Komisioner Komnas Perempuan (2015-2019). Premeshwari Sugiri dari Kumparan juga ikut sharing pengalaman. Farid Muttaqin (Pendiri LETSS Talk) menjadi moderator dan Ramadhani Rahmi dan Sari Widya Utami, menjadi Juru Bahasa Isyarat.
Talkshow Seri #6 "Pendidikan Seks dan Seksualitas: Pengalaman Para Muslim" (Dilengkapi JBI)
YouTube Video UCokOg7dGwIBWOwqoD9iM7eA_PlurmARne8A
Load More… Subscribe