Oleh Diah Irawaty, Pendiri LETSS Talk (Let’s Talk about SEX n SEXUALITIES)
Ini adalah kisah tentang perempuan-perempuan. Kisah kasih perempuan-perempuan, di antaranya. Meski tidak hanya itu, sedikit lebih kompleks: soal kuasa, kuasa yang terenggut. Kisah perempuan dan kekuasaan. Karenanya, sama tapi berbeda, bahkan beda yang ekstrim. Sama-sama perempuan, tapi berbeda cerita, berbeda substansi. Cerita-cerita yang sesungguhnya hanya tanda: betapa berat menjadi manusia perempuan, suatu kondisi yang seakan menyihir pemilik identitas ini untuk tak banyak punya pilihan.
Tiga nama pertama adalah ciptaan atawa imajinasi Sahnon Ahmad, satu nama terbaik seorang sastrawan negeri tetangga, Malaysia. Bahkan terbaik secara formal, karena ia pernah mendapat penghargaan sastra dari pemerintahnya. Meski kata Hamid Jabbar yang asli Indonesia, pengakuan formal dari penguasa itu tidak membuat aus daya imajinasi kritisnya. Maka, lahirlah tiga nama perempuan-perempuan itu, dari lelaki sastrawan Malaysia. Perempuan-perempuan “milik” Sutan Baginda, lelaki, penguasa dan ambisius, sebuah nama yang sama persis dengan judul fiksi sang sastrawan. Mengapa Sahnon lebih memilih menjuduli fiksinya dengan Sutan Baginda yang lelaki, meski tiga fasal dari empat isi karyanya becerita Uji, Dahlia dan Fidah?
Uji, embel-embelnya ustadzah, jadi dia adalah ustazah Uji. Memang dia seorang ustadzah. Enam tahun masa hidupnya yang sudah sekitar 30an tahun itu dihabiskan di sekolah Arab, di pesantren. Belajar membaca huruf Arab hingga akhirnya hafal fashih membaca Alquran dan hadits Nabi. Sebutkan satu masalah, dan suruh dirinya mencari ayat atau hadits yang cocok dengan masalah itu, pasti dengan kilat akan keluar dari mulutnya rangkaian kata-kata Arab. Uji adalah simbol keluhuran dan kekuatan relijiusitas dan spiritualitas. Sumber sebuah kesalehan yang dikagumi masyarakat Malaysia. Dia adalah panutan. Dia memegang kendali sosial-budaya masyarakatnya. Dan Sutan Baginda perlu itu semua untuk menyokong kuasanya, melestarikan powernya. “Kalau tidak ada anti, ana bakal jadi gila dan kehilangan kuasa”, suatu hari rayu Sutan di tengah rintik hujan menggoda hasrat mencocokkan diri dengan kearaban sang ustadzah. Uji bimbang untuk memilih menjadi gila dan tergila-gila. Tapi, Uji punya keputusan akhir sesuai pertimbangan naifnya: dia akan bisa memanfaatkan keahlian ustadzahnya untuk mengubah kenyataan kekuasaan yang zalim dengan banyak-banyak menyetor ayat dan hadits pada Sutan. Hari-hari kekuasaan Sutan Baginda, setelah itu, dilalui dengan ayat dan hadits, menelisik kesadaran keseharian masyarakat Malaysia. Wajah, suara, dan pesona Sutan tak beda dengan wajah, suara, dan pesona ustadzah: wajah tokoh agama, meski itu semua hanya untuk menutup laku lampah buruk sisi kekuasaannya. Lacur, Uji sendiri malah kehilangan daya magisnya dan ia hanya menjadi penyokong yang santun, penggadai yang setia, yang justru “menciptakan” kekuasaan zalim baru pada diri Sutan, kekuasaan penuh kepalsuan. Bahkan setelah dayanya tersedot habis, ia bisa mudah diganti yang lain, ia gampang dibiarkan menunggu tanpa harap. Adakah yang seperti ini di depan mata kita?
Dahlia adalah Lia. Doktor lulusan Harvard-nya Asia Tenggara, NUS yang cukup bergengsi itu merupakan pakar ilmu politik. Seorang dosen FISIP. Lambang intelektualitas. Lambang kehormatan dan keagungan ilmu pengetahuan. Tesis dan disertasinya mengenai jaringan politik kekuasaan Malaysia tak sekedar menyulut rasa ingin tahu para politisi negeri itu. Menggemparkan! Menggoyahkan status quo yang dipenuhi political nudity, suatu politik buka-bukaan, politik tanpa malu-malu. Riset dan kajian politiknya ini menganugerahinya pengetahuan mendalam akan berbagai intrik politik dan gerakan perlawanan yang jitu untuk menguasai keadaan. “Tesis doktor penting sekali, canggih”, kira-kira demikian ucapan Sutan suatu pagi saat pertama bertemu Lia. Pujian yang juga mencocokkan diri dengan harga doktor Dahlia. Sutan tentu tak pernah benar-benar meninggalkan Uji. Dan Lia tahu itu. Sutan tahu, Lia memang punya kebanggaan diri karena gelarnya, tapi Sutan juga tahu, Lia ompong kekuasaan. Inilah celah. Lia tak punya pilihan untuk melengkapi kebanggaannya itu selain bersatu dengan Su, yang tak lain Sutan juga. “Su cinta sama Lia”, beberapa hari setelah pertemuan pertama. Ucapan menundukkan ala Sutan. Ucapan yang mengawali proses penundukan kebanggaan oleh kekuasaan. Selalukah kebanggaan, harga diri, kalah oleh kekuasaan? Haruskah perempuan, meski doktor dari NUS, kalah oleh laki-laki tanpa gelar tapi punya kekuasaan meruah? Karena perempuankah dia lalu harus tunduk?
Fidah adalah sebuah nama pop bagi Malaysia, bahkan secara definitif adalah rock/rocker! Kemungkinan ia setara Nicky dan Mayang di Indonesia atau Tina di AS sana. Tampaknya bukan kekuatan yang terlalu politis bagi pandangan warga Malaysia. Hanya kejelianlah, serta ambisi yang gelap mata hati, yang bisa mengubah atau memaksa biasa menjadi luar biasa. Sutan yang sudah makin berpengalaman menaklukkan emosi dan rasio perempuan tahu betul cara menundukkan F yang meski roker tapi tetap perempuan: suatu jenis yang sudah lama dikonstruksikan untuk tunduk pada keperkasaan, kegigihan, ambisi dan pada laki-laki. Sutan kemudian mengepopkan diri menjadi Utan, beradaptasi diri dengan budaya ala rocker menuju strategi penundukan yang lain.
Sudah beberapa kali, Utan setia menonton penampilan F bersama bandnya. Sebuah perencanaan ke arah penundukan. Lalu suatu malam usai sebuah heavy metal yang dibawakan F, saat jeda, Utan mengajaknya mengobrol. “Penampilanmu sangat mengagumkan, lagu-lagu metalmu sangat menggugah”! Kata-kata sederhana yang memesona F, karena itu diucapkan “yang berkuasa” Sutan. F memang rocker, heavy metal, lambang pergaulan bebas, lambang menuju pergaulan bebas, cita rasa skandal. F perlu ini untuk membawanya ke puncak kekuasaan, ke puncak penundukan. Akhirnya, setelah pesona itu, mereka menjadi semakin dekat. Hidup dari skandal ke skandal. Hingga puncaknya, saat F diminta Utan untuk menundukkan lawan kuasanya melalui kreasi skandal yang lain ciptaan Sutan: penyerahan tubuh. F yang heavy metal, rela saja masuk dalam permainan itu, karena dia telah ditundukkan. Apakah menjadi manusia perempuan, meski rocker, harus mudah saja tunduk pada manusia laki-laki?
Itulah tiga wajah perempuan yang ditundukkan kekuasaan dominan laki-laki. Dipreteli kekuasaannya sendiri dalam sekejap. Mengapa mereka terbatas: hanya bisa memiliki tapi tak bisa memanfaatkan anugerah kuasa dan keagungan? Mengapa mereka tak sanggup menyulap anugerah ustadzah, doktor dan nilai pop mereka untuk kepentingan kuasa mereka sendiri? Mereka bahkan rela diremehkan, dihilangkan makna sejatinya: saat ketiga mereka disatukan oleh satu jenis penundukan, poligami! Kekuasaan memang dekat sekali dengan seks. Foucault sudah mengkaji itu sejak lama. Dalam ujaran agama-agama juga muncul. Dan Sutan mempraktekkan itu. Tetapi, mengapa porsi ustadzah, tak dimanfaatkan sendiri oleh Uji. Mengapa gelar doktor tak dioptimalkan sendiri oleh Dahlia. Mengapa posisi pop tak dioptimalkan sendiri oleh Fidah? Memang tak hanya Sutan yang menundukkan mereka. Sang pengarang turut pula memegang tangan erat-erat, agar Sutan bisa leluasa melakukan penundukan itu. Sang pengarang membuat logika-logika, rasionalisasi, yang melumrahkan penundukan. Bahkan, kitapun larut dalam alam pikiran bawah sadar: menyalahkan perempuan-perempuan tidak berdaya itu, yang terlalu mudah terbawa permainan kuasa lelaki. Semestinya kita harus sadar, betapa sulit jadi yang diobyekkan, dibentuk menjadi obyek, dikonstruksi menjadi obyek, padahal seratus persen dia adalah subyek (sejati): itulah perempuan-perempuan. Perempuan-perempuan yang tak hanya Uji, Dahlia dan Fidah. Perempuan-perempuan adalah kita juga….
Beralih ke Ibu Tien. Siapa Ibu Tien? Tidak asing buat telinga keluarga besar bangsa Indonesia ini. Dia adalah ibu bangsa ini. Dia adalah the first mother. Dia pernah lebih tenar dari Ibu Kartini, apalagi Ibu Fat. Dia adalah senandung atau kidung kecintaan seorang ibu bagi bangsa yang tinggal di gua-gua patronisme. You’re the queen of my heart, kata Boyz II Men. Kaukah itu? Tapi mengapa? Itulah kuasanya….
Ibu Tien belum sempat menjadi Evita Peron memang. Dia meninggal lebih dulu sebelum suami dan juga anak-anaknya. Dia juga tidak pernah berucap lantang, menggelora, menggugah tidur lelap bangsa ini. Dia justru nina bobo yang melenakan, mengasyikkan, membuat tenang dan nyaman. Bahkan dia tidak pernah berbicara, khawatir membangunkan tidur lelap anak-anak bangsa ini, anak-anaknya sendiri. Bahkan, ketika yang lain punya gairah untuk membangkitkan tidur pulas bangsa ini, perempuan-perempuan negeri ini, sang Ibu justru akan melabrak, tidak dengan tangannya sendiri memang. Kau memang the queen of our herat. The queen of heart hanya semakin mematirasakan hati kami saja. The queen of heart hanyalah kekuatan kuasa ibuisme negara yang telah mengubur dalam semangat juang perempuan bangsa ini. Yang telah menghadirkan garis batas dikriminatif sangat tegas antara dunia lelaki dan perempuan (Kami tidak menyegregasi domestik dan publik lalu menjadikannya oposisi biner: memberikannya nilai berbeda). Yang telah menghinakan apresiasi warga lelaki bangsa ini terhadap revolusi-revolusi atas nama perempuan (Kami hanya berjuang untuk hak-hak kami).
Pasti bukan itu yang kami butuhkan untuk menjadi lebih baik. Biarkan kesadaran kami yang memutuskan dunia kami yang terpilih. Kami butuh brave heart yang berani mengoyak hati beku kami. Tapi sampai kapanpun tak mungkin kami dapatkan itu dari Ibu Tien. Bahkan dulupun kami tak berharap. Ibu Tien punya kesempatan saat itu, pasti. Tapi dia lahir dari generasi gelap rasa yang lebih suka selamat diri meski kuasanya meminta tumbal. Kuasanya harus dijaga terus untuk diri dan klannya. Ibu Tien juga terlalu menuruti gaya kuasa lingkungan dekatnya, yang terlalu memusat pada diri dan klannya. Sampai akhir hayatnya, Ibu Tien belum bersedia melakukan bunuh diri kelas, berempati diri pada masalah-masalah sekaumnya, agar manfaat kuasanya bisa merembes, dirasakan, kaum sejenisnya yang pasti sedang merana. Ibu Tien memang terlalu mengikuti aturan main kuasa lingkungan dekatnya saja, belum sudi membebaskan diri dan memanfaatkan kuasa di genggaman untuk kaumnya.
Aku suka Mbok Minah. Aku berempati kepadanya. Dia adalah khayalanku. Khayalan tentang perempuan-perempuan sekuat karang. Yang tidak pernah tidur karena harus menemani Raqib dan Atid mengawasi manusia-manusia. Yang selalu bangun untuk menegaskan perjalanan kehidupan. Kehidupan perempuan, kehidupan manusia, kehidupan anak-anak Hawa, tentu. Yang rela kotor badan kena percikan lumpur sawah. Rela berpeluh dekil karena berpanas ria di terik kaki lima. Tapi karena itu pula, karena Mbok Min juga, perempuan-perempuan menjadi kehilangan setengah kemanusiaannya. Kehilangan yang disengaja, yang dikonstruksi, yang bukan takdir pasti. Seharusnyakah?
Seharusnya tidak. Orang-orang mengira harga ditentukan oleh status, bukan kesadaran. Orang-orang menyangka, nilai hadir bersama baju zirah, bersama gelang, anting dan kalung emas-berlian, bersama kulkas dan televisi, bersama telpon seluler, bersama jenis kelamin. Lalu, jika mereka tak memiliki itu semua, bergabunglah dengan mereka yang punya itu semua, sehingga bisa menebeng harga. Tidak, harga tidak ditentukan semua itu. Itu semu. Itu bisa direnggut sekejap. Digadaikan. Harga ditentukan oleh kesadaran yang melahirkan inisiatif-inisiatif perjuangan, inisiatif-inisiatif untuk survive, untuk ada, untuk sebuah eksistensi. Maka, apakah mbok Min di kotor sawah, di lusuh pasar tradisional, di terik kaki lima, pantas dihilangkan setengah kemanusiaannya? Itu perbuatan dosa! Tak seharusnya kita melakukan itu. Mbok Min punya kesadaran eksistensial, mbak Min hanya tak punya cara memanfaatkan kesadarannya itu. Ayo kita bangkitkan, kasih tahu dia bahwa kerja kerasnya begitu berharga. Kerja kerasanya bisa melindungi dia dari cakar suami yang tak tahu diri, yang membebaninya dengan beban berganda. Jangan pernah masak lagi, mencuci baju-baju, mengurus rumah, buat suami seperti itu, pergi saja! Kerja kerasnya bisa melawan pandangan stereotip orang-orang yang hanya tahu harga dan nilai dari baju-baju saja. Kasih tahu mbak Min, kerja kerasnya adalah kekuasaannya! Manfaatkan saja kekuasaannya itu. Mari kita kumpulkan mbok Min-mbok Min itu.
Soal Siska, yang juga perempuan khayalanku. Dia adalah wakil dari perempuan-perempuan yang sering berada dalam lorong-lorong metropolitan. Juga berada di sudut-sudut kota. Mereka hilang, di keremangan malam. Kukunya mencakar, mengorek sisa-sisa pada onggokan sampah. Tapi karena itu pula, justru dirinya sendiri yang diberi label sampah. Sungguh sayang Siska.
Siska bukan seperti Sukreni si gadis Bali, yang mendapat lara lalu memutuskan bersembunyi. Siska hampir mirip Tinung, mpok Betawi khayalan Remy Silado dalam “Ca Bau Kan”. Hanya saja, Siska lebih nasional dan Tinung Betawi asli. Siska bahkan lebih tragis karena dia hidup nyata di sekiling kita, saat ini. Dia tidak punya harapan selamat. Siska-siska rela berminim ria, meski tersiksa. Siska-siska tak acuh dikejar aparat demi menyabung nyawa. “Sucikah mereka yang datang…..”. Tidak, tentu saja. Mereka yang datang sangatlah kotor, maka hidung-hidung mereka perlu tanda khusus: belang. Penciptanya, sutradaranya, lebih senang alang kepalang, jika cerita tentang Siska melulu derita. Pencipta dan sutradara cerita kehidupan Siska bukan hanya mereka, tapi juga diri kita!
Siska-siska lebih mirip lagi atau seharusnya mirip dengan Firdaus. Firdaus adalah pikiran-pikiran Nawal el Sadawi. Dia yang bercita-cita tinggi mendalami ilmu agama di Al-Azhar justru terdampar dalam pertarungan kuasa tubuh paling ril. “Al-Azhar hanya milik laki-laki”, hardik pamannya menendang cita-cita Firdaus hingga terjengkang. Bercita-cita saja bagi perempuan sudah tidak boleh. Cita-cita sebagai tanda dia berkuasa atas diri, atas pikiran, atas keinginannya sendiri. Itu sudah terlarang bagi perempuan. Dunia apakah ini? Duniakah ini? Ah ini perang!
Bukan saatnya mengeluh bagi Firdaus, juga Siska, juga Tinung, yang kandas meretas cita. Saatnya mengubah hardik menjadi inspirasi. Ya karena ini perang. Ini kompetisi. Saatnya melakukan perlawanan. Saatnya mencari sumber kekuatan, sumber kuasa. Orang-orang menghardik tubuh-tubuh mereka. Mengira tubuh-tubuh hanya segumpal daging bervibrasi yang mengalunkan kenikmatan seksual belaka. Orang-orang memang terlalu stereotip. Melulu dan sempit. Mereka lupa tubuh itu hidup, tubuh itu dipenuhi rasa, dibubuhi harapan-harapan. Orang-orang itu salah dan pantas ditandai dengan belang di hidungnya.
Hardikan adalah momen transformasi. Dunia seperti perang adalah inspirasi. Tubuh-tubuhpun berubah menjadi senjata. Tubuh-tubuhpun berubah menjadi kuasa. Mereka berkuasa atas tubuhnya, sebagai senjata eksistensi hidupnya. Apakah itu salah. Orang-oranglah yang bersalah, yang bersikap dan berpandangan stereotip, yang tak banyak memberi kesempatan pada mereka untuk memilih. Siska (Firdaus) hanya sedang mempraktekkan kuasa atas tubuh mereka sendiri: simbol sekaligus substansi hidupnya. Salahkah itu? Orang-orang yang salah, negara yang salah, yang memaknai kemiskinan secara kultural, kodrat, bukan struktural. Siska hanya sedang meladeni keinginan tubuhnya. Tinung hanya sedang meraih cita-citanya. Firdaus hanya sedang mencari pemerdekaan. Maka mereka rela apapun, termasuk mati seperti Firdaus. Itulah hakekat. Kesejatian.
Pada De Beauvoir mungkin perempuan-perempuan bisa menggantungkan harap. De Beauvoir, nama lengkapnya Simone de Beauvoir! Dalam jagat diskursus feminisme, nama ini termasuk garda depan. Dia punya cara keluar dari tekanan, dari penundukan. Nama Prancis yang masyhur ini pernah terdampar dalam balutan gundah yang mendalam, lalu berjuang untuk merdeka. Prosesi ini dia kisahkan dalam imajinasi “perempuan-perempuan yang dihancurkan.” De Beauvoir mencipta, mengkreasi, meski itu gundah gulana dirinya. Dia menyubyekkan diri, memberanikan diri keluar, bahkan melawan, melawan banyak hal baik yang personal maupun impersonal.
Betapa rumit menjadi hidup sebagai perempuan yang sejak lahir dianaktiri. Bahkan situasi-situasi kodratipun masih juga digugat sebagai kelemahan. Klaim-klaim kelemahan yang lalu menimbulkan resah pada korbannya. Resah yang terus semakin membuat lemah korbannya. Tidak! Perempuan tak boleh resah oleh apapun. Oleh yang kodrat atau yang konstruksi. Resah dan gelisah pada perempuan saat tersudut oleh klaim ketidakberdayaan justru akan semakin menghilangkan sisi komprehensif kemanusiaan. Itulah proses penundukan perempuan, proses penghancuran, yang terus berlangsung dalam sejarah umat manusia. De Beauvoir menemukan kesadaran pemberontakan atas situasi itu pada dirinya sendiri, saat dia tersadar jika resah dibiarkan dia akan semakin terpuruk. De Beauvoir bangkit dengan kembali pada fitrah manusiawi, tak sudi disia-siakan, tak terima diabaikan, yang selalu kreatif menemukan jalan-jalan, kreativitas yang (seharusnya) melahirkan rasa berdaya (powerful). Itulah proses penemuan kekuasaan. Itu semua ada pada dirimu, kaum perempuan. Sederhana saja, harusnya.
Itulah cerita tentang kuasa dan perempuan. Perempuan sejak lahir sejatinya menggenggam kuasa itu. Pada tubuhnya. Pada pikirannya. Pada perasaannya. Pada rasionalitasnya. Pada emosionalitasnya. Pada fisiknya. Pada psikologisnya. Tapi tidak pada konstruksi sosialnya. Di genggamanpun, kuasa itu belum tentu melindungi mereka dari diskriminasi, subordinasi, dan kekerasan. Orang-orang, kita, masih saja berpikir stereotip, masih saja bertindak envy, dan lalu tak segan merebut, menundukkan kuasa-kuasa mereka. Sampai kapan? Semoga tak sampai menunggu kita menjadi korban penundukan, korban pengobyekan, korban subordinasi, korban alienasi, lalu baru merasakan sulitnya situasi itu. Saat ini saja kita sudahi semua itu.