
Info Acara Saturday Nite with LETSS Talk Edisi 5 dengan tema “Difabel dan Keadilan Gender” menghadirkan Ishak Salim dan Diah Irawaty.
Saturday Nite with LETSS Talk Live on Instagram merupakan salah satu acara diskusi rutin yang diadakan LETSS Talk melalui akun Instagram LETSS Talk (https://www.instagram.com/letsstalk_sexualities/), berlangsung selama satu jam. Acara ini merupakan kegiatan “komunitas” dalam arti terbuka bagi komunitas belajar (learning community) yang “dikelola” LETSS Talk melalui forum WhatsApp Group (WAG) (https://bit.ly/KeluargaLETSSTalk); anggota komunitas yang berasal dari latar belakang akademik dan aktivisme sosial yang sangat beragam diberi ruang untuk berbagi informasi dan pengalaman dalam berbagai isu yang menjadi fokus masing-masing.
Menghadirkan Ishak Salim, biasa diapanggil Icak, (Ketua Pergerakan Difabel Indonesia untuk Kesetaraan atau PerDIK) sebagai narasumber tamu dan Diah Irawaty, akrab disapa Ira, (Pendiri LETSS Talk) sebagai host, edisi kelima yang berlangsung pada 28 November 2020 ini mendiskusikan tema “Difabel dan Keadilan Gender,” tema penting yang, sekali lagi, masih belum banyak disentuh, baik oleh kalangan gerakan keadilan gender maupun para aktivis hak-hak difabel (untuk mengakses IGTV diskusi ini, berikut linknya: https://www.instagram.com/tv/CIIoe1nFXDd/). Nyatanya, seperti berkembang dalam forum-forum sebelumnya, termasuk dalam talkshow seri #3 dengan tema “Diafebel dan Pendidikan Seks dan Seksualitas” yang diselenggarakan LETSS Talk pada 12 September 2020 (https://www.youtube.com/watch?v=HGOQysin07g&t=10s), banyak sekali isu-isu penting terkait difabel dan keadilan gender dan seksualitas. Karenanya, sangat penting untuk terus memediasi upaya produksi dan distribusi pengetahuan dan informasi tentang topik khusus ini. Kami telah mentranskrip perbincangan dalam diskusi ini agar informasi dan pengetahuan dari diskusi ini bisa lebih diakses kalangan difabel, khususnya difabel tuli.
Berikut ini adalah transkrip selengkapnya dari diskusi edisi kelima Saturday Nite with LETSS Talk Live on Instagram. Terima kasih kepada Nabila May Sweetha, salah satu aktivis PerDIK, yang telah mentranskrip diskusi ini secara sukarela. Selamat belajar….
Diah Irawaty (Ira):
Malam ini kita akan berbincang santai, ngobrol dengan Kak Ishak Salim. Masih dalam rangkaian acara 16 hari aktivisme anti kekerasan berbasis gender atau kampanye anti kekerasan berbasis gender. Di sini ada Kak Ishak Salim, nanti saya akan informasikan profil dari Kak Ishak Salim. Karena memang biografi atau CV-nya lumayan panjang, tapi nanti saya akan persingkat.
Baik, Kak Ishak Salim, kita biasa memanggilnya Icak. Icak ini sudah 15 tahun berpengalaman sebagai koordinator program, konsultan, peneliti untuk pemberdayaan kelompok atau komunitas difabel, juga institusi di Indonesia. Misalnya, institusi dan juga capacity building untuk pemerintah, perempuan dan sebagainya. Ini menarik, karena ternyata salah satu isu yang ditekuni Icak adalah isu perempuan. Nanti kita akan cerita dan diskusi banyak seputar itu, ya. Mungkin bukan hanya perempuan, tapi juga isu gender lainnya, misalnya transgender atau waria atau bahkan LGBTIQ. Kalau di Bugis, tentunya Kak Icak tahu ada bissu, calalai atau calabai.
Icak ini juga founder beberapa organisasi. Saat ini, Icak menjadi Ketua Pergerakan Difabel Indonesia Untuk Kesetaraan (PerDIK) di Sulawesi Selatan. Icak juga merupakan dosen di Departemen Ilmu Politik, di Universitas Teknologi Sulawesi atau UTS Makassar. Kalau kita lihat, S1 Ishak diselesaikan di Universitas Hasanuddin, Makassar. Jadi memang sejak dari awal konsisten, ya, Icak? S1, S2, dan S3 sama-sama politikal sains. S2nya juga di politikal sains, di ISS Belanda. S3nya, diselesaikan di UGM juga di politikal sains. Jadi itu sedikit cerita tentang Ishak Salim.
Baik, untuk acara Live di IG ini kita tidak menyediakan juru bahasa isyarat. Tapi kita menyediakan notulen, ya, nanti ada notulasi dari kami LETSS Talk, sehingga kawan-kawan tuli bisa tahu apa yang kita bicarakan atau diskusikan. Kita masuk langsung saja ke pertanyaan pertama, Mungkin ini pertanyaan mendasar. Icak ini sudah lama aktif, berjuang, dan bekerja di gerakan hak-hak difabel dan mengadvokasi masalah difabel. Tentu tahu masalah, persoalan utama atau isu mendasar yang dialami oleh komunitas difabel yang berhubungan dengan isu gender? Apakah persoalan ketidak adilan gender yang dialami oleh kelompok difabel, khusus dialami oleh mereka saja? Dan dari paparan Icak nanti, mungkin bisa juga menceritakan sebenarnya akar persoalan dari ketidakadilan gender yang dialami difabel itu apa? Nah, bisa langsung direspon, Icak.
Ishak Salim:
Ya, terima kasih sudah diperkenalkan juga tadi. Menurut saya gender dan disabilitas dua-duanya adalah isu yang sangat kompleks. Ketika keduanya itu bertemu, maka kita akan berada di belantara kompleksitas dari keduanya. Dalam konteks seksual, itu juga merupakan hal yang kompleks. Disabilitas juga adalah isu yang sangat kompleks. Bukan hanya soal perbedaan jenis disabilitas dan pengalaman hidup menjadi difabel, juga berdasar jenis kelamin, jika kita hubungkan dengan isu seksualitas. Baik isu gender ataupun isu disabilitas menghadapi persoalan yang sama tentang stigmatisasi. Dan stigmatisasi, saya selalu menggunakan konsep bahwa stigmatisasi adalah proses labeling, sterotype, dan diskriminasi. Nah, empat aspek pertama itulah yang menjadi soal-soal penting yang dihadapi oleh difabel dan berkaitan dengan aspek gender.
Ketika terjadi ketidak adilan gender bagi difabel, maka itu sangat boleh jadi disebabkan oleh faktor seperti perspective dan pengetahuan yang menjadi mainstream , yang membuat aspek gender dan disabilitas itu menjadi hal yang kurang penting. Mungkin itu dulu, jadi dua-duanya ini benar-benar kompleks. Kalau merujuk pada pertanyaan, apa isu utamanya. Begitu kita masuk ke belantara persoalan ini, setiap hal yang ditemui itu adalah masalah utama. Karena ini memang adalah hal-hal baru. Mungkin itu dulu.
Ira:
Terima kasih untuk responnya. Persoalannya ini kompleks sekali, ya, Icak. Dan memang kerentanan yang dialami difabel, apalagi jika mereka adalah perempuan dan transgender, pasti kerentanannya sangat berlapis-lapis. Nah, menurut Icak sendiri apakah perlu gerakan atau upaya khusus untuk terwujudnya keadilan gender di kalangan difabel. Apalagi misalnya untuk perempuan, waria, tansgender dan sebagainya dan mereka juga adalah difabel. Kan mereka mendapat kerentanan yang berlapis-lapis, seperti apa sih gerakan atau upaya yang dilakukan untuk mewujudkan keadilan gender bagi mereka?
Ishak Salim:
Kalau di organisasi pergerakan difabel, memang ada organisasi-organisasi yang memang konsen pada isu perempuan dan anak. Seperti misalnya SABDA dan beberapa organisasi lain. Tetapi sebenarnya disabilitas itu menjadi sesuatu yang bisa bersinggungan dengan isu gender. Nah, memang ini belum banyak yang melakukan. Beberapa yang melakukan, misalnya dalam konteks advokasi difabel berhadapan dengan hukum. Karena banyak kasus-kasus hukum, khususnya terkait seksualitas itu korbannya adalah perempuan, dan lebih banyak lagi perempuan dengan kondisi psikologis sosial atau mental dan intelektual. Dua jenis difabel ini yang dalam banyak kasus muncul dan menjadi korban kekerasan seksual. Kenapa ini terjadi? Karena, ya dalam banyak kondisi seksual atau perbincangan mengenai seks dan seksualitas itu merupakan perbincangan yang tabu dalam beberapa keluarga. Banyak orang tua menjadi gamang ketika anaknya mengalami proses menjadi remaja. Kemudian informasi mengenai seksualitas dan seks tidak tersampaikan. Jadi bukan hanya terjadi kepada difabel, tetapi juga non difabel.
Pengetahuan terkait seks dan seksualitas itu menjadi minim, dan itu yang membuat difabel semakin rentan. Ketika difabel misalnya bersekolah di Sekolah Luar Biasa (SLB), katakanlah dia difabel intelektual, pengetahuan tentang organ seksual dan norma-norma sosial terkait seksualitas itu tidak sampai kepada dia. Anak perempuan, misalnya yang memiliki kondisi disabilitas mental atau psikososial juga rentan ketika orang-orang di dekatnya melihat satu peluang untuk terjadinya pelecehan atau kekerasan seksual.
Persoalan terbesar sebenarnya yaitu pengetahuan seksualitas bagi anak-anak difabel, dalam rumah tangga bahkan di sekolah itu tidak terjadi secara berkesinambungan, atau tidak diurus secara serius. Misalnya, kurikulum seksual bagi anak-anak, khususnya di SLB di mana banyak anak-anak sekolah di sana. Dalam beberapa kasus, misalnya di SMP luar biasa, ketika usia itu anak-anak mulai baligh dan menjadi remaja. Mereka akhirnya mencari sendiri informasi terkait seksualitas dan seks, mencari tahu sendiri tentang tubuhnya, mencari tahu sendiri tentang bagaimana cara membangun keintiman. Dan banyak dalam kondisi seperti itu, arahnya menjadi keliru karena tidak ada pedoman. Tempat untuk bertanya adalah pada teman sendiri, sementara teman juga sama tersasarnya dengan yang lain. Jadi dalam konteks itu pengenalan seksualitas bisa sangat berpeluang besar menjadi keliru, dan hubungan seks antara sesama difabel bisa terjadi di luar norma-norma sosial yang diakui secara umum. Ya, mungkin begitu.
Ira:
Menarik sekali, ya pemaparan dari Icak ini. Jadi ada persoalan relasi kuasa, terutama antara laki-laki dan perempuan yang difabel. Yang kedua, seperti yang diucapkan Icak tadi, seksualitas di kalangan difabel itu masih tabu. Persoalan tabu ini sebenarnya sama, ya, di non difabel masalah seks dan seksualitas juga dianggap sebagai hal tabu. Itu artinya ada keterkaitan erat antara seks dan pengetahuan mereka terkait seksualitas. Selain persoalan akses terhadap pengetahuan seksualitas untuk difabel, apakah ada persoalan lain yang dialami? Entah itu fasilitas, atau misalnya ada persoalan lain selain akses pengetahuan. Bagaimana sebenarnya difabel mengakses informasi?
Ishak Salim:
Seperti yang saya bilang tadi di awal, ini adalah kompleksitas. Salah satu kompleksitas itu karena jenis disabilitas, dan kebutuhan setiap difabel itu berbeda satu sama lain. Dalam konteks difabel sensorik, misalnya kawan-kawan netra berbeda kebutuhannya, khususnya pola mengakses informasi dengan teman-teman tuli. Di luar persoalan aksesibilitas itu, yang paling urgen sebenarnya ketersediaan informasi atau muatan-muatan pendidikan seksualitas itu yang tidak tersedia di tingkat dasar seperti sekolah-sekolah. Juga informasi tentang disabilitas. Kita bisa menggunakan konsep simbolik. Disabilitas dalam pelajaran-pelajaran itu berisi, katakanlah apa yang disebut sebagai kekerasan simbolik. Kalau di pelajaran, ketika merepresentasikan orang buta di pelajaran bahasa Indonesia, itu adalah orang yang sedang mengemis. Representasi disabilitas itu nol koma nol sekian persen, misalnya.
Ketika dalam buku mengarang, katakanlah di situ diperlihatkan gambar tentang bagaimana rumah yang rapi. Rumah yang rapi itu, sama sekali tidak merepresentasikan difabel. Tidak ada orang berkursi roda, tidak ada orang yang menggunakan tongkat, tidak ada orang tuli di sana. Atau ketika memperlihatkan sosok ayah pergi ke kantor, yang diperlihatkan hanya orang yang berdasi dan berjas rapi. Nah, itu representasi disabilitas yang sangat kurang. Dan jangan lagi bicara tentang aksesibilitas, karena mau mengakses apa jika informasinya saja tidak ada. Nah, itu boleh jadi sangat disebabkan oleh adanya hegemoni pemikiran. Misalnya dalam konteks disabilitas segala informasi terkait disabilitas itu adalah tentang sakit tidaknya seseorang.
Nah, dalam konteks seksualitas, kita bisa bilang bahwa hegemoni itu adalah hegemoni kaum patriarki, atau hegemoni kaum heteroseksual. Sehingga representasi tentang relasi gender dan disabilitas itu tidak mungkin muncul. Kalau bicara tentang seksualitas, tubuh yang cantik itu tidak direpresentasikan dengan perempuan berkursi roda atau perempuan yang menggunakan kaki palsu. Itu tidak ada dalam rezim kecantikan ini. Bahkan dari sana saja, ukuran-ukuran kecantikan tubuh itu sangat berbasis kenormalan tubuh.
Dalam konteks pergerakan disabilitas, kita sering bertanya. Kalau para putri-putri Disney itu adalah difabel, masihkah mereka akan ditonton orang-orang? Memang ada persoalan juga dalam hegemoni cara berpikir, atau hegemoni pengetahuan patriarki, kenormalan dan seterusnya. Yang lain soal regulasi, ya kalau di Indonesia regulasi sudah cukup, sudah bagus. Khusus untuk disabilitas sudah bagus, tapi untuk gender kita masih berdebat soal RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dan sebagainya. Itu mungkin.
Ira:
Yang ingin saya tanyakan selanjutnya adalah banyak organisasi atau institusi yang melakukan advokasi terhadap difabel, khususnya di PerDIK ya, sejauh mana sebenarnya mereka komitmen dalam isu dan perjuangan keadilan gender dalam organisasinya masing-masing? Atau individu yang memperjuangkan hak-hak difabel, seperti Icak sendiri dan kawan-kawan lainnya. Jadi bagaimana individu dan lembaga-lembaga tersebut memberikan kepedulian, fokus pada persoalan keadilan dan ketidakadilan gender untuk difabel dan non difabel. Dan sebaliknya bagaimana Icak melihat organisasi-organisasi, atau lembaga-lembaga perempuan itu memberi perhatian pada isu keadilan dan ketidakadilan gender pada difabel? Artinya gini, saya ingin melihat apakah sudah ada interseksi isu antara feminisme atau gerakan perempuan dengan gerakan difabel. Sejauh mana mereka sudah berinteraksi, berkomunikasi, dan saling menguatkan satu sama lain. Dengan kata lain mereka memang berkonsolidasi. Atau jangan-jangan mereka ini dua entitas, dua institusi yang terpisah yang satu sama lain tidak mau tahu masalah masing-masing. Nah, sejauh mana interseksi dan kolaborasinya? Apakah sudah terjadi, solid, atau sudah hampir baik, atau malah belum sekali. Silahkan, Kak Icak.
Ishak Salim:
Saya kira dalam satu dekade ini, kita perlu berterima kasih pada organisasi-organisasi mitra pembangunan yang mencoba, seperti Ira bilang tadi, mengoneksikan satu gerakan dan gerakan yang lainnya. Nah, kita ambil misalnya Program Peduli. Program Peduli itu mempertemukan organisasi-organisasi disabilitas dan organisasi perempuan. Contohnya PEKA, yang bertemu dengan gerakan disabilitas. Atau ICW, bertemu dengan organisasi disabilitas. Komnas HAM, saat ini menerima difabel sebagai komisioner. Dan itu mulai bertemu, antara dua isu yang kompleks tadi. Juga di antara gerakan-gerakan disabilitas sendiri, ini ada keterhubungan.
Misalnya PerDIK, PerDIK ini sangat bergantung pada aspek transfer pengetahuan dari organisasi difabel lain yang sudah mapan. Misalnya kami banyak belajar dari teman-teman di SIGAB untuk kerja-kerja advokasi difabel berhadapan dengan hukum. Kami dilatih, misalnya bagaimana menjadi paralegal, bagaimana menjadi advokat pengacara yang berpihak pada kasus-kasus difabel berhadapan dengan hukum. Jadi ada keterkaitan, kesinambungan pengetahuan, dan kesamaan ideologi antara organisasi disabilitas yang telah mapan dan organisasi disabilitas yang baru bertumbuh seperti PerDIK. Dan begitu juga, PerDIK melakukan hal yang sama dengan organisasi yang sama di daerah. PerDIK mentransfer pengetahuan itu kepada organisasi lain yang jaraknya jauh lebih panjang, ke wilayah-wilayah central. Misalnya Jawa, yang organisasi-organisasi difabelnya lebih maju. Keterhubungan itu sangat memungkinkan saat ini, maksudnya belakangan ini.
Ira:
Sudah ada koordinasi dan kolaborasi cukup baik ya antara organisasi-organisasi lain dan organisasi pergerakan disabilitas. Ini perlu ditingkatkan kedepannya. Tadi juga Icak bilang, sudah ada koordinasi antara organisasi kota dan organisasi di desa. Saya ingin tahu tentang PerDIK nih, Icak. Bagaimana sebenarnya program-program PerDIK terutama terkait keadilan gender, utamanya untuk kelompok atau komunitas difabel. Bagaimana juga PerDIK me-mainstreaming-kan gender. Boleh cerita?
Ishak Salim:
PerDIk itu sebenarnya organisasi pergerakan, ya. Kami memandang persoalan difabel sebagai persoalan ketimpangan, atau persoalan ketimpangan pengetahuan. Ada pengetahuan yang hegemonik yang menguasai pemikiran kita, dan itu perlu direkonstruksi dengan produksi pengetahuan-pengetahuan tanding. PerDIK melakukan itu. Persoalan gender, misalnya, itu belum dirancang secara serius. Ini tahun keempat, keseimbangan gender di internal PerDIK itu masih berjalan secara natural. Intinya bahwa kesadaran akan pentingnya menghormati dan mengetahui pemenuhan hak disabilitas sudah menjadi ideologi. Kemudian penghargaan atas perbedaan jenis kelamin, itu juga menjadi dasar dari organisasi. Sehingga kawan-kawan di PerDIK, misalnya antar perempuan dan laki-laki itu saling menghargai. Karena PerDIK sering melakukan diskusi rutin dan mengajak anggotanya mengikuti pelatihan.
Ira:
Kita lanjut lagi ya, terima kasih yang sudah bergabung.
Saya mau kembali ke pertanyaan yang tadi, nih Kak Icak. Sebenarnya komitmen PerDIK sendiri untuk keadilan gender dan untuk melawan ketidak adilan gender di lingkungan PerDIK sendiri itu seperti apa? Dan program-program atau kegiatannya, apakah sudah mengadopsi misalnya gender mainstreaming atau ada isu khusus terkait gender yang pernah dibahas atau didiskusikan? Kalau iya, sejauh apa PerDIK memberikan perhatian tentang gender dalam program-program itu. Ini lebih ke arah PerDIK, ya, karena kebetulan Kak Icak ini adalah ketua PerDIK.
Ishak Salim:
Konsen utamanya PerDIK, kan isu disabilitas seperti isu disabilitas bertemu dengan isu gender, atau bertemu dengan isu agama. Maka tetap patokan utamanya adalah aspek disabilitas. Tetapi, memang kalau dalam konteks gender, seperti yang sudah saya sampaikan tadi itu menjadi kompleksitas yang lain. Kita masih perlu mempelajari secara lebih serius terkait seksualitas, terkait identitas seksual dan seterusnya. Karena PerDIK adalah organisasi yang konsennya itu melakukan perlawanan secara epistemologis, maka dari segi literasi sebenarnya di PerDIK itu cukup tersedia bahan bacaan atau informasi terkait disabilitas dan isu gender.
Proses membangun keadilan gender atau keadilan difabel terjadi secara natural di PerDIK. Kita melakukannya sesuai dengan kebutuhan. Misalnya begini, saya ambil contoh. Kami mengajak seorang perempuan difabel yang berkursi roda untuk aktif di PerDIK. Lalu di sini ada persoalan gender, karena ternyata kawan kami ini, di rumahnya menjadi tumpuan keluarga. Pertama karena dia perempuan, dia tentu akan sulit keluar atau sudah terbiasa dengan pekerjaan-pekerjaan domestik. Ditambah lagi dia difabel, aksesibilitasnya untuk keluar itu sangat terbatas. Sehingga dia menjadi tumpuan keluarga yang mengurusi semua urusan rumah tangga. Mencuci-menyetrika, menjaga adik-adiknya dan seterusnya. Dalam proses itu ada dialog dengan kawan difabel. Proses dialog untuk menyampaikan bahwa sebagai perempuan, sebagai manusia, dia memiliki hak untuk berpartisipasi atau aktif di luar rumah. Nah, dalam kondisi tertentu dia mungkin bisa mengikuti acara-acara PerDIK tertentu, misalnya diskusi bulanan. Tapi itu tidak bisa dilakukan setiap hari tetapi pertukaran gagasan, atau pengetahuan itu terjadi. Sampai sekarang teman difabel itu belum bisa meluangkan waktu banyak untuk bekerja di PerDIK. Tetapi, dalam kondisi-kondisi tertentu itu bisa dilakukan.
Pertukaran pengetahuan itu dilakukan juga untuk teman-teman yang lain. Ada banyak contoh difabel datang ke PerDIK. Misalnya pernah juga datang anak remaja. Dia dilarang lanjut sekolah oleh ibunya, dia tuli, lalu melapor ke PerDIK. Bahasa isyarat yang dia memiliki adalah sistem isyarat Indonesia, atau SIBI. Di PerDIK, penerjemah bahasa isyarat itu tidak mengerti SIBI. Yang dia tahu adalah BISINDO. Akhirnya kita membutuhkan kawan yang mengerti SIBI dan yang mengerti BISINDO. Jadi begitu dia datang melapor dan kita ingin mendengarkan keluhannya, pertama bahasa isyaratnya dulu diterjemahkan ke BISINDO, lalu penerjemah menerjemahkan ke dalam bahasa Indonesia kami. Itu adalah proses yang terus terjadi secara natural.
Di waktu lain, datang teman perempuan yang difabel dan mengalami kekerasan seksual. Lalu divisi advokasi difabel berhadapan dengan hukum PerDIK meng-handlenya secara baik. Nah, mungkin masih seperti itu. Ini dalam beberapa hari ke depan kami akan rapat kerja tahunan, dan kami akan menyiapkan satu sesi untuk PerDIK menyusun rencana strategis organisasi selama lima tahun. Di sana kami akan membahas beberapa perspektif, termasuk juga prespektif disabilitas dan gender. Ini kami lakukan dengan tujuan memahami persoalan yang kami ingin tangani. Ada proses analisis situasi, dan di sana kami akan tetapkan isu-isu strategis yang bisa kita handle hingga tiga tahun ke depan. Lalu berdasarkan isu strategis itu kita tetapkan tim, komposisi tim yang baru untuk pekerjaan perlawanan-perlawanan epistemologi ini.
Ira:
Ya, memang persoalannya kompleks, ya. Apalagi jika kita berbicara tentang difabel dan gender, itu sangat kompleks. Saya melihat ada peluang kerja sama antara PerDIK dengan organisasi-organisasi perempuan lain, atau misalnya dengan LETSS Talk ke depannya. Kan kita juga sudah beberapa kali melakukan kerjasama. Misalnya di talkshow seri tiga, tema tentang difabel. Saya juga konsultasi dengan Icak, dengan Joni untuk isu-isu difabel. Dan kita juga kerja sama untuk lomba penulisan tingkat remaja tentang Pendidikan seks dan seksualitas di kalangan remaja (SMP dan SMU) waktu itu. Nah, mungkin kedepannya kita bisa lebih banyak bekerjasama lagi ya.
Saya ingin mengaitkan keterangan Icak tadi, dengan pertanyaan dari Mbak Apri. Mbak Apri ini adalah salah satu anggota keluarga LETSS Talk. Saya dapat titipan pertanyaan untuk Kak Icak. Ini sebenarnya sudah diceritakan tadi, sih, soal pengasuhan anak-anak difabel. Bagaimana mengajarkan tentang seksualitas, gender, dan hak-hak perempuan, apalagi jika perempuan itu bekerja di luar rumah. Mereka kerja di luar, juga bekerja di dalam rumah. Dan pengasuhan anak difabel itu juga dibebankan kepada ibu, kepada istri. Apalagi kemudian ketika suami tahu bahwa anaknya ketika lahir adalah seorang difabel. Nah, akhirnya si suami tidak mau memberikan nafkah kepada anak difabel tersebut. Bagaimana Icak menanggapi hal ini? Untuk PerDIK sendiri, apakah ada program atau intervensi khusus kalau misalnya melihat atau menemukan persoalan ini?
Ishak Salim:
Bagaimana, ya? Baru-baru ini seorang kawan, saat kerja di SABDA itu melakukan riset siklus hidup difabel. Atau kerentanan hidup perempuan difabel berdasarkan siklus hidupnya. Mulai dari lahir, sampai dia menjadi dewasa di tingkat dewasa akhir. Keseluruhan rentetan perjalanan itu terlihat memang banyak sekali kerentanan difabel, khususnya yang perempuan. Ketika dia lahir sebagai difabel, dia mengalami penolakan. Ketika dia beranjak menjadi anak-anak, dia mulai mengalami diskriminasi sosial. Barangkali di rumah ada over protektif, dia tidak bisa keluar, akhirnya tidak bisa sekolah. Ataupun mau sekolah, tapi pihak sekolah menolak, dan akhirnya karena SLB terlalu jauh dari rumahnya dia menjadi tidak sekolah. Masuk usia remaja juga seperti itu, ada kerentanan-kerentanan lain lagi, seperti yang saya sudah singgung.
Terkait difabel tertentu, ada yang tidak bisa mengurus diri sendiri tapi ada difabel yang bisa mengurus diri sendiri. Seperti misalnya anak Cerebral Palsy itu mengalami kesulitan mengurus dirinya sendiri. Kondisi Ini membutuhkan tenaga ekstra dari orang lain entah itu dari pihak keluarga dan biasanya perempuan dalam keluarga yang mengambil alih tugas perawatan dan penjagaan ini. Kalau dari kelas sosial menengah ke atas, itu bisa dengan menyewa asisten pribadi untuk mengurusi kebutuhan sehari-harinya. Dalam kondisi tertentu, khususnya pada keluarga menengah ke bawah, beban-beban seperti itu memang dikerjakan oleh perempuan. Entah kakak perempuan, ibu, nenek, atau keluarga lain yang perempuan. Itu biasanya menghadirkan konsekuensi, yaitu perempuan menjadi memiliki beban ganda. Misalnya harus juga bekerja secara produktif untuk menghasilkan uang dan di sisi lain juga harus mengurusi rumah tangga dan pekerjaan domestik. Beberapa keluarga akhirnya, seperti yang saya ceritakan tadi, semua orang dewasa itu bekerja secara produktif. Dan urusan perawatan ini dibebankan kepada perempuan yang tidak bisa keluar, dalam hal ini difabel.
Jadi difabel menjadi orang yang paling rawan eksploitasi di rumah, dalam urusan domestik. Ini dalam cerita tertentu ya dan dalam cerita lain ini bisa jadi berbeda. Tapi biasanya korban seperti itu keadaannya. Dalam kondisi seperti itu, ketika ditanyakan PerDIK mau bikin apa, PerDIK selain melakukan produksi pengetahuan, sebenarnya pengetahuan kami produksi melalui kerja-kerja advokasi dan pengorganisasian. Nah, dalam hal kerja pengorganisasian ini PerDIK belum banyak pengalaman yang benar-benar mengorganisir difabel di desa-desa untuk kemudian berdaya, terorganisir lalu bisa ditinggalkan. Yang paling banyak dilakukan PerDIK adalah kerja-kerja advokasi. Jadi advokasi kebijakan, advokasi difabel berhadapan dengan hukum, atau difabel berhadapan dengan pendidikan.
Tetapi mengorganisir difabel, misalnya menghimpun difabel-difabel kemudian mengajak mereka mengorganisir diri itu belum punya energi yang cukup untuk melakukan itu. Jadi yang sekarang rutin dilakukan PerDIK adalah diskusi bulanan seperti yang dilakukan LETSS Talk kemudian itu dijadikan tulisan, dijadikan bahan advokasi, untuk mengoreksi pengetahuan-pengetahuan yang keliru tadi. Mungkin begitu, ya.
Ira:
Saya mau masuk ke kekerasan seksual, nih, Kak Icak. Karena banyak sekali ternyata kasus-kasus kekerasan seksual yang menimpa difabel. Difabel tuli, netra, dan mental atau intelektual. Misalnya, selain persoalan akses pada pendidikan dan pengetahuan terkait seks dan seksualitas, sebenarnya persoalan apa sih yang menyebabkan kekerasan seksual ini banyak terjadi? Dan apakah memang ada kaitannya antara pendidikan seks dan seksualitas, itu dengan kekerasan seksual? Kemudian saya juga mau tanya soal advokasi kebijakan yang tadi Icak sudah sebutkan, bahwa PerDIK sudah melakukan advokasi kebijakan dan pendampingan. Sejauh mana, sih layanan pendampingan hukum, psikososial dan lain-lain terhadap kasus kekerasan seksual dan kekerasan berbasis gender yang dialami oleh difabel?
Ishak Salim:
Kekerasan seksual itu bisa terjadi karena rayuan, tipuan, maupun relasi kuasa. Nah, dalam banyak kasus yang PerDIK dampingi, kekerasan-kekerasan seksual yang dialami difabel itu cukup beragam. Tetapi lebih banyak sebenarnya dipengaruhi oleh relasi kuasa tadi. Misalnya pacar yang memanfaatkan tubuh temannya, kemudian melakukan tindakan eksploitasi, atau di sisi lain adalah pihak keluarga. Misalnya posisinya lebih tinggi, contoh seperti om, bapak, atau kakek. Nah, ada beberapa kasus lain, yang misalnya naik angkot sendirian dan supirnya melakukan tindakan kekerasan seksual. Faktor eksternal itu memang sistem penjagaan, ya, penjagaan difabel yang perempuan yang kurang diperhatikan. Atau malah tidak tahu cara melindungi diri. Dalam kasus lain, misalnya saya pernah mengetahui, ada orang tua yang karena tahu bahwa anaknya mengalami disabilitas intelektual secara mental usianya anak-anak tapi secara biologis usianya sudah remaja. Dan cara untuk melindungi dia adalah dengan memaksakan anaknya memakai alat kontrasepsi karena dia tahu betapa rentannya anak ini, ketika sekolah dan dia tidak bisa memantaunya. Akhirnya dia memaksa anaknya untuk menggunakan kontrasepsi. Padahal secara regulasi itu tidak boleh, ya, pemaksaan kepada perempuan untuk memakai alat kotrasepsi itu terlarang. Bagaimana melindungi kelompok rentan, khususnya antara difabel dan gender ketika bersinggungan, itu belum banyak dikupas.
Tapi dari pengalaman lain, misalnya dari paguyuban orang tua yang terbentuk, seperti misalnya KOADS. Itu melakukan pertukaran pengetahuan bagaimana mengajarkan seksualitas kepada anak dengan kondisi down sindrom, autis dan sebagainya. Dan itu cara paling efektif, ketika informasi publik tidak begitu tersedia.
Ira:
Makasih, Icak. Pertanyaan terakhir, kita mau tahu bagaimana advokasi kebijakan terutama terkait difabel dan keadilan gender. Sebenarnya perhatian negara sendiri, menurut Icak, sudah seperti apa/sejauh apa perhatiannya terhadap ketidakadilan gender yang dihadapi oleh difabel. Apa sih yang dibutuhkan dari negara untuk menguatkan keadilan gender ini dalam komunitas difabel? Kalau memang kebijakan, kebijakan yang seperti apa? Bagaimana kemudian kita bisa saling menguatkan, bahkan menuntut tanggung jawab negara untuk memberikan perlindungan bagi difabel khususnya perempuan dan anak perempuan difabel agar mereka bisa terlepas dari ancaman kekerasan seksual dan bisa juga mendapatkan hak-haknya sebagai perempuan atau lebih umum semua warga negara agar terhindar dari kekerasan seksual dan hak-haknya bisa terpenuhi. Seperti apa, kalau misalnya kita berbicara dalam tingkat negara?
Ishak Salim:
Sebelum sampai ke negara, kalau dari konteks PerDIK dan beberapa organisasi pergerakan difabel itu menggunakan model twin track approach. Jadi di satu sisi melakukan kerja targeting, yaitu fokusnya melakukan pemberdayaan difabel, pemberdayaan keluarga-keluarga difabel. Di sisi lain juga melakukan mainstreaming, salah satu caranya melakukan advokasi kebijakan dan menyebarluaskan pengetahuan. Dalam konteks regulasi, terkait isu disabilitas, itu sudah cukup bagus. Karena yang pertama pemerintah mengeluarkan UU Penyandang Disabilitas, atau kalau di Amerika namanya American Disability. Itu sudah ada juga di Indonesia. Turunannya juga sudah banyak, ada enam Peraturan Pemerintah yang memang dimandatkan oleh UU Penyandang Disabilitas. Ada juga Peraturan Presiden. Nah, tetapi kalau dalam konteks pergerakan hak asasi manusia kita tidak harus puas dengan variabel struktur tadi. Tetapi hal yang paling penting adalah variabel proses. Bagaimana kementerian-kementerian terkait, atau dinas-dinas terkait di provinsi bisa menjalankan fungsinya dan memberikan pelayanan yang aksesibel bagi difabel.
Variabel yang ketiga yang juga penting itu adalah hasil. Nah, hasil dari tersedianya struktur bagaimana? Apakah sesuai, apakah tepat sasaran? Itu difabel perlu bersuara, perlu berkomentar. Variabel hasil ini menuntut difabel untuk proaktif melakukan monitoring pemenuhan hak-hak difabel. Saya pikir, untuk isu-isu disabilitas dan gender itu termasuk dalam hal yang sudah diakomodasi dalam Undang-Undang Penyandang Disabilitas. Di UUD itu, ada hak atas perempuan. Banyak sekali yang mengatur tentang seksualitas dan gender di dalam sana.
Ira:
Jadi memang perlu kerja sama, perlu kolaborasi dari beberapa pihak, ya! Jadi kita berbicara tentang regulasi, tetapi juga berbicara tentang implementasi sampai ke tingkat desa. Kemudian persoalan akses, fasilitas, kemudian persoalannya juga bukan hanya kultural tapi juga struktural. Ada persoalan ideologi, struktur/sistem, institusi dan sebagainya. Banyak sekali persoalan yang dihadapi perempuan, apalagi jika dia adalah difabel. Mungkin terakhir kali lagi, Icak, pesan Icak untuk kita semua. Pesan singkat saja.
Ishak Salim:
Saya kira ini menjadi tanggung jawab sosial yang perlu dipikul bersama-sama. Ini seperti tugas kenabian, yang harus kita jalankan. Konsekuensi saat kita menjadi paham dan tahu banyak hal, adalah kita harus melakukan perubahan. Jadi orang-orang yang tidak melakukan perubahan karena memang tidak tahu atau tidak memikirkannya. Nah, kita ini komunitas yang mau tidak mau akhirnya memahami persoalan ini, relasinya seperti ini, dan cara mengubahnya seperti ini. Kita harus melakukan perubahan ini. Ini tidak akan berhenti, akan terus menerus seperti ini. Tidak ada kata berhenti.
Ira:
Jadi terus menerus, ya, proses dan perjuangan yang never ending termasuk transformasi sosial, seperti yang tadi dikatakan Icak juga. Menarik sekali, ini juga sesuai dengan komitmen LETSS Talk. Kita tetap dan terus berjuang dan sama sebenarnya misi-misi kita, yakni ingin memproduksi dan mendistribusikan ilmu pengetahuan. LETSS Talk sendiri lebih ke arah pendidikan seks, seksualitas, dan gender. Baiklah, itu tadi ngobrol kita dengan Ishak Salim, ketua PerDIK. Terima kasih sekali lagi untuk yang sudah gabung dengan kita, dan mengikuti sampai akhir. Rekaman ini nantinya akan kita save dan akan kita tayangkan di IG TV LETSS Talk. Kegiatan ini memang sebenarnya juga adalah bagian dari produksi dan distribusi ilmu pengetahuan. Tapi sebelum kita tutup, Icak, ini ada sedikit pengumuman dulu dari kami. Untuk Live IG edisi selanjutnya, itu nanti tanggal 8 Desember, masih dalam rangka 16 hari aktivisme anti kekerasan berbasis gender. Kita masih membicarakan tentang difabel juga, yang akan menjadi narasumber kita yaitu Ramadhany Rahmi (Mada), yaitu Juru Bahasa Isyarat dan Pendamping Perempuan Tuli. Terimakasih sekali lagi Icak dan semuanya dan sampai bertemu di acara atau kegiatan LETSS Talk selanjutnya. Silahkan mengikuti atau mengunjungi akun sosial media LETSS Talk dan website LETSS Talk[].