Farid Muttaqin dan Diah Irawaty
Kedua penulis adalah Kandidat Ph.D. Antropologi, State University of New York (SUNY), Binghamton, New York, dan Pendiri LETSS Talk

Kliping koran yang memberitakan “Tari Tabur Bunga” yang dilakukan Gerwani, sebagai salah satu bentuk sexual slender terhadap perempuan anggota Gerwani.
Sejauhmana masyarakat kita menyadari dan memahami gender dan seksualitas menjadi bagian tidak terpisahkan dari proses pembentukan keindonesiaan. Sejauhmana kita memiliki pemikiran cara kita menjalani dan menjadi Indonesia tidak terlepas dari norma gender dan seksualitas? Selain para feminis dan pengkaji isu gender dan seksualitas yang serius, sangat mungkin, masih belum banyak di antara kita yang memiliki cara berpikir dan pemahaman jika gender dan seksualitas menjadi bagian integral dari cara kita membentuk, mengekspresikan dan bahkan memimpikan atau mengimajinasikan Indonesia yang ideal.
Ekplorasi dan kajian tentang politik gender dan seksual di Indonesia sejauh ini lebih fokus menyentuh aspek bagaimana gender dan seksualitas dipolitisasi dan dimanupulasi untuk kepentingan konsolidasi politik negara. Analisa politik gender dan seksual yang menyentuh secara kuat bagaimana proses politisasi dan manipulasi gender dan seksualitas tersebut didasari oleh, bertujuan untuk, dan berimplikasi pada nasionalisme, keindonesiaam, dan gagasan dan ide tentang menjadi dan menjalani Indonesia (being, becoming and living Indonesia) dan tentang Indonesia yang seharusnya (imagined Indonesia) masih belum sepenuhnya banyak dihadirkan, termasuk oleh scholar pengkaji politik gender dan seksual di Indonesia.
Menempatkan politik gender dan seksual bukan sekedar alat konsolidasi kekuasaan negara tapi dalam kaitannya dengan keindonesiaan, menjadi dan menjalani sebuah bangsa, membantu kita menyadarkan pentingnya ruang bagi proses refleksi dan belajar terus menerus tentang implikasi kaitan politik gender dan seksual pada keindonesiaan yang fragile dan tidak stabil terkait siapa yang bisa menjadi bagian (inclusion) dan siapa yang haram menjadi bagian (exclusion) –atau tidak sepenuhnya valid—sebagai bagian dari Indonesia atas dasar norma gender dan seksual tertentu, yang diformalkan negara. Lalu, kita bisa sampai pada pemahaman, mengaitkan gender dan seksualitas dengan nasionalisme adalah upaya memahami bagaimana gender dan seksualitas menjadi digunakan sebagai penanda yang legitimate kategorisasi warga teladan, warga baik-baik, warga biasa, hingga warga subversif.
***
Orde Baru di bawah Soeharto membuat deklarasi kemerdekaan (kedua) Indonesia dari Gerakan 30 September/PKI –Soeharto secara literal menunjuk Partai Komunis Indonesia (PKI) di balik transisi kekuasaan berdarah di tahun 1965. Rejim Orde Baru menyebut dengan jelas peristiwa di tahun 1965 itu sebagai tragedi. Sesungguhnya, setelah banyak kajian dan penelitian, termasuk pendekatan statistik kependudukan yang dilakukan Siddharth Chandra (2019) dan ungkapan para saksi korban, tragedi paling tragis sesungguhnya terjadi pasca-1965, saat Soeharto melakukan konsolidasi kekuasaan dan mempertahankannya hingga lebih dari 30 tahun.
Salah satu tragedi yang tidak banyak orang sadar adalah tindakan opresif terhadap perempuan-perempuan yang dilabel Gerwani. Mereka menjadi target sexual slender, dituduh sebagai perempuan nakal, binal, kurang ajar, amoral, asusila, dan subversif melalui berbagai tuduhan seksual seperti memutilasi penis para jenderal, menari sensual di depan para jenderal yang menahan sakit, melakukan tarian “bunga harum” atau kematian saat “penguburan” jenazah para jenderal, hingga perempuan tidak punya tanggungjawab terhadap keluarga karena lebih suka berorganisasi dan mengurus politik. Perempuan-perempuan Gerwani ditolak dari kategori ideal sebagai perempuan Indonesia dan menjadi bagian Bangsa Indonesia, dicap subversion, musuh negara yang harus dihukum dan disingkirkan. Profiling Gerwani sedemikian menjadi legitimasi bagi formalisasi norma gender dan seksual tradisional dalam bentuk ibuisme negara (Suryakusuma 2002). Perempuan dengan profil serupa Gerwani, yang tidak normatif, “nakal”, bebas, berpolitik, berorganisasi, mengabaikan peran gender tradisional, tidak menjadi isteri yang patuh dan melayani suami sepenuhnya adalah satu kelompok dengan perempuan Gerwani.
Soeharto tak sekedar melakukan penundukan Gerwani; ia menciptakan sebuah versi narasi tentang Indonesia dan cara menjadi dan menjalani Indonesia yang dinilainya paling benar dan ideal dengan menempatkan nilai dan norma gender dan seksualitas versinya sebagai salah satu aspek penting. Nasionalisme Indonesia (Orde) Baru dibangun berdasar ibuisme negara, ideologi gender dan seksualitas negara untuk mendomestikasi perempuan. Penting dipahami, domestikasi perempuan bukan sekedar pendisiplinan perempuan; proses politik ini juga menjadi strategi penundukan warga untuk tidak sekali-kali bersikap kritis apalagi subversif terhadap kekuasaan Orde Baru. Ibuisme negara menjadi bagian tidak terpisahkan dari konsolidasi kekuasaan Orde Baru, bersinergi bersama militerisme dan birokratisme. Soeharto menempatkan diri sebagai bapak, sebuah kekuasaan tertinggi dalam struktur keluarga besar bangsa Indonesia. Soeharto memformalkan maskulinitas hegemonik berdasar patriarkhisme sebagai fondasi new imagined Indonesian nation-state.
Di awal 1980an, banyak perempuan Indonesia terlibat gerakan kritis terhadap Orde Baru, lalu mendirikan organisasi feminis, seperti Kalyanamitra. Seperti Gerwani, perempuan generasi baru feminis Indonesia itu mengalami banyak opresi, surveillance, teror, dan dikategori dalam kota perempuan tidak baik-baik, bukan warga negara teladan, dan tentu saja dianggap tidak memiliki nasionalisme.
Di luar konteks gerakan, Orde Baru melakukan kampanye partisipasi perempuan dalam pembangunan yang secara konseptual populer dengan women in development. Ini menjadi bentuk lain politik gender dan seksualitas. Atas nama nasionalisme, Soeharto memobilisasi partisipasi perempuan di dunia kerja murah, di kota-kota baru di Indonesia yang sedang melakukan upaya industrialisasi dan modernisasi, serta menjadi buruh migran murah sebagai pekerja rumah tangga (PRT) di beberapa newly industrialized countries. Dilabel pahlawan devisa, perempuan-perempuan itu mengalami banyak eksploitasi sosial-ekonomi bahkan kekerasan tanpa mendapat dukungan hukum dan politik dari negara. Buruh perempuan murah menjadi tumbal new Indonesia yang ingin disebut negara industri dan modern. Dengan state ibuism, women in development menguatkan dan memformalkan beban ganda bagi perempuan-perempuan Indonesia dan semakin menegaskan patriarkhisme sebagai fondasi keindonesiaan. Seberapa banyak kita memahami di balik situasi seperti ini adalah politik gender dan seksualitas yang dijalankan Orde Baru, secara sistematis?
Belum lagi jika kita bicara opresi di Papua, terutama dalam bentuknya yang bukan kasat mata. Bagaimana seksualitas ala Papua dengan imej tubuh telanjang yang sesungguhnya merupakan tradisi lokal bahkan ritual distigma sebagai bentuk seksualitas primitif yang bukan hanya “ketinggalan jaman”, tapi merusak dan mengancam tatanan sosial dan moral “bangsa Indonesia” yang beradab, sopan, tidak jorok. Tubuh-tubuh telanjang ala Papua bukanlah tubuh-tubuh yang layak bagi bangsa Indonesia! Atas nama proyek civilization, Pusat memaksa Papua memakai baju yang “layak” jika mau disebut Indonesia. Proses seperti membentuk pikiran publik untuk membuat seleksi siapa manusia Indonesia yang baik dan layak, yaitu yang berbaju sopan dan atau menutup aurat. Kita bahkan dipaksa untuk malu, berdosa, tidak bermoral, sekedar untuk membicarakan seks!
Kita tidak mempertimbangkan dinamika lokal terkait gender dan seksual, seperti di Papua sebagai bagian dari keragaman yang oleh masyarakat setempat direspons dengan toleransi. Beberapa wilayah lokal dalam geografi Indonesia, Bugis salah satunya, menjadi rumah bagi, minimal, lima kategori gender. Dalam situasi sosial-politik yang “normal”, lima bentuk gender yang fluid itu diterima secara toleran sebagai bagian dari social order masyarakat setempat. Sejauhmana situasi seperti ini menjadi refleksi demokrasi lokal saat berhadapan dengan keragaman gender dan seksual? Mengapa saat beberapa wilayah lokal menunjukkan sikap lebih toleran, proses politik di level nasional justru lebih opresif? Sejauhmana, sekali lagi, imajinasi tentang menjadi Indonesia baru yang sopan, beradab dan modern mempengaruhi politik opresif ini?
Orde Baru memang menjadi rejim yang menyisakan bekas sangat dalam pada cara berpikir kita tentang Indonesia dengan norma gender tradisional dan cara pandang dan perilaku terkait seksualitas yang tidak toleran terhadap keragaman. Sisa dari politik gender dan seksual ini masih dirasakan dan coba terus dipertahankan hingga kini. UU Anti-Pornografi dan Pornoaksi, yang lahir tidak berapa lama setelah reformasi menegaskan, kita tidak ingin beranjak dari Orde Baru terkait cara berpikir dan sikap kita tentang gender dan seksualitas. UU ini banyak menginspirasi berbagai kelompok melakukan penyerangan terhadap warga negara dengan norma gender dan seksualitas non-normatif. Di tahun 2010, sebuah kelompok Muslim menyerang International Lesbian and Gay Association (ILGA) Asia yang akan menyelenggarakan kongres di Surabaya. Aparat kemanan tidak memberikan perlindungan terhadap anggota ILGA, justru membubarkan rencana kongres ini. Ini membuktikan, Indonesia dengan norma gender dan seksualitas tradisional menjadi satu-satunya Indonesia yang valid dan legitimate!
Di era demokrasi, fundamentalisme agama menjadi tantangan baru bagi upaya membangun Indonesia yang toleran terhadap keragaman gender dan seksual. Gerakan untuk membuat UU Ketahanan Keluarga dan menolak UU Penghapusan Kekerasan Seksual tidak lepas dari menguatnya ancaman fundamentalisme agama terhadap Indonesia yang toleran dan respek terhadap keragaman gender dan seksual. Sungguh ironis karena situasi ini terjadi justru saat kita sedang berproses menjadi negara dan bangsa yang demokratis. Ruang demokrasi menjadi arena baru bagi pengusung fundamentalisme agama untuk memaksakan keindonesiaan yang monolitik –baik di level identitas maupun institusi kenegaraan- yang didasari norma gender dan seksualitas patrirakhal dan heternormatif yang opresif terhadap keragaman ekspresi gender dan seksualitas. Dalam situasi seperti inilah, dibutuhkan negara yang memiliki orientasi kuat pada perlindungan hak warga atas kebebasan berekespresi terkait identitas gender dan seksualitas.
Di luar kebutuhan campur tangan negara terkait jaminan perlindungan hukum, ruang nyaman dan aman untuk secara bebas bicara, bertukar pikiran, berargumen dan berdebat tentang berbagai isu gender dan seksual, dengan pendekatan kritis dan akademik, juga menjadi proses yang perlu dibangun dan dikuatkan. Bahkan, proses terakhir ini menjadi kebutuhan mendesak saat negara menyodorkan harapan kosong terkait jaminan perlindungan hukum. Kebebasan warga yang kuat dan semakin massif akan menjadi penyeimbang bagi negara yang tidak sepenuhnya memperlihatkan dukungan pada keadilan gender dan kebebasan seksual. Ruang diskusi ini akan memediasi lebih banyak produksi pengetahuan, informasi, narasi tentang gender, seksualitas dan nasionalisme; tentang keindonesiaan yang inklusif bagi keragaman gender dan seksual, yang tidak menyubersifkan identitas gender dan orientasi seksual tidak normative dan tidak ofisial; justru sebaliknya, keindonesiaan yang memberi dukungan dan jaminan bagi terpenuhinya hak-hak semua warga tanpa melihat identitas gender dan orientasi seksualnya.