“Jalur Berliku” Laki-Laki Pro-Feminis di Indonesia

 

 

 

 

 

 

 

Mh Firdaus

Anggota Dewan Eksekutif Institut KAPAL Perempuan dan Tim Ahli ASPPUK

 

“Jalan hidupku menjadi laki-laki yang pro-feminis tidak tiba-tiba. Ini bermula sejak aktivisme mahasiswa di IAIN Yogya. Isu kesetaraan dan keadilan gender menguat kala itu. Terus, saya bersinggungan dengan aktivis gerakan perempuan. Pada Kongres Koalisi Perempuan Indonesia pertama di Yogya, saya menjadi panitia. Betul-betul nyemplung di isu perempuan, saat saya terlibat di Rifka Annisa, yang pada waktu membutuhkan penceramah laki-laki berperspektif gender. Kasus kekerasan dalam perkawinan menjadi area kerjaku. Berbagai peristiwa kekerasan terhadap istri dan kesaksian atas peritiwa mengenaskan membekas dan mempengaruhi cara pandang serta mempertebal sensivitasku. Ya, sensivitas itu….”. Demikian ungkap Nur Hasyim, yang akrab disapa Boim, salah satu pemantik diskusi pada talkshow dengan tema “Laki-laki, Pendidikan Seks dan Seksualitas” yang diadakan secara online pada Minggu, 4 Oktober 2020. Talkshow ini merupakan salah satu kegiatan LETSS Talk, sebuah inisiatif Pendidikan seks dan seksualitas yang baru dilaunching awal Agustus lalu. Pemrakarsanya adalah Farid Muttaqin dan Diah Irawaty, pasangan kandidat PhD yang sedang studi di New York, Amerika Serikat, Ahmad Syahroni dari PKBI, Renvi Liasari, seorang aktivis hak anak, dan Wawan Suwandi dari Pulih.

Saya menyimak senyap acara bincang-bincang interaktif ini, sambil berkaca diri. Tak terasa, lirih perasaan “senada” mengintai batinku. Pengalaman Nur Imam Subono, biasa disapa Mas Boni, dosen senior Fakultas Ilmu Sosial Politik (FISIP) UI, pendiri Jurnal Perempuan (JP), dan aktivis senior gerakan sosial Indonesia, menimpali hikayat Boim. Meski Ia bercerita aktivitas sebagai laki-laki pro-feminis diiringi senyum, sisi kelamnya tak terhindar. Saya menangkap konsistensi perjuangan dengan segala jiwa raga terhadap perjuangan pemberdayaan perempuan, kuat sekali. Bersama mba Gadis Arivia, ia mendirikan JP dengan penuh perjuangan.

“Yang pertama kita perangi adalah mindset. Saya anak tentara yang selalu menuntut standar anak lelaki untuk penuhi. Saat bertemu teman Kalyanamitra, Solidaritas Perempuan dan saat mendirikan Jurnal Perempuan, saya banyak belajar meski terkaget-kaget. Keterlibatan laki-laki dalam pemberdayaan perempuan ada protokolnya. Ia bagian gerakan perempuan. Bukan tandingan. Ia pendukung; support group. Nah, ini seperti bunuh diri patriarkhal. Laksana ujian bagi laki-laki yang ingin tampil di depan. Di sini, laki-laki harus di belakang. Bukan think-tank,” ungkap Mas Boni menjelaskan kiprah Aliansi Laki-laki Baru (ALB) saat awal didirikan.

Selanjutnya Mas Boni berujar, “Sebetulnya pengetahuanku tentang feminisme saya dapatkan dengan membaca  buku, selain diskusi bareng teman-teman. Saya dibully dari banyak front. Pertama, dari sesama aktivis laki-laki. Mereka katain habis-habisan. Kalau ditanya, ‘kamu kerja dimana sih?, saya jawab ‘ada deh’. Saya sering nggak percaya diri. Temanku bilang ada persoalan apa lu, kok bekerja di LSM perempuan. Dan cilakanya, temen perempuan di kampus juga kasian terhadapku. Sementara, ada sebagain aktivis perempuan kala itu tidak nyaman dengan kehadiran laki-laki pro feminis. Jadi saat itu, saya pengin give up (menyerah). Untung ada teman seperti Mba Ita Nadia, Mba Mira Diarsi, Mba Sita Aripurnami, dan Mba Gadis Arivia, dsb, yang mendukungku. Tapi zaman berubah. Kini, saya pecaya diri. Tahun 1999, JP (Jurnal Perempuan) mengirimku ke Filipina untuk konferensi keterlibatan laki-laki, dan bertemu Pak Nasaruddin Umar, (saat ini Imam Besar Masjid Istiqlal), sebagai peserta; itu makin meyakinkanku..Kini gerakan ini dikenal. Saya bangga”.

Dua pengalaman laki-laki pro-feminis yang mendukung dan membela pemberdayaan perempuan, seolah mewakili kaum laki-laki yang mempunyai perhatian serupa. Aktivisme keberpihakannya terhadap pemberdayaan perempuan, seringkali menjadikan laki-laki ini menghadapi berbagai model dan aneka tantangan. Saya ungkap ini bukan berarti tantangan perempuan tidak berat. Perempuan tetap mengalami tantangan yang luar biasa besar.

Salah satu tantangan keterlibatan laki-laki adalah dominannya paham maskulinitas (masculinity) di masyarakat. Yaitu, paham yang berkembang dari pembentukan sosial-budaya setempat (social construction) terhadap “penomorsatuan” posisi laki-laki. Maskulinitas dipahami sebagai cara pandang di mana seseorang didorong oleh norma-norma yang mengutamakan laki-laki (Masculinity ideology is the extent to which an individual endorses traditional male-role norms). (Martínez dan Paterna-Bleda, 2013).

Bagaimana maskulinitas dipahami masyarakat Indonesia? Buku Being a Man: Javanese Male Perspectives about Masculinity and Domestic Violence yang ditulis Nur Hasyim, Aditya Putra Kurniawan, dan Elli Nur Hayati, menjelaskan bahwa laki-laki (tepatnya pria Jawa) dilahirkan sebagai makhluk yang memiliki keunggulan (superior sex) dibanding perempuan. Maka, ketika seseorang dilahirkan sebagai laki-laki otomatis kebanggaanya besar. Kebanyakan penafsiran agama dan politik negara ikut mengkonfirmasi “superioritasnya” yang semakin menempatkan laki-laki menjadi pemimpin di rumah tangga misalnya.

Salah satu kesimpulan buku ini adalah, konflik antara bayangan ideal peran laki-laki (sebagai pemimpin dsb) dengan kenyataan (ternyata laki-laki bukan pemimpin, penghasilan lebih rendah dari pasangan, dsb) seringkali pemicu kekerasan dan memunculkan konflik di rumah tangga (the perspectives of men towards domestic violence itself demonstrate that the conflict between ideal self and actual self often becomes a factor that triggers violent conflicts within a marriage). Tuntutan psikologis laki-laki sebagai “super hero” di keluarga membawa laki-laki dalam tekanan berat untuk memenuhi “tuntutan”, meski itu bukan satu-satunya (hal. 127). Jelas, hal ini tidak bisa dibenarkan. Apapun kondisinya, kekerasan terhadap perempuan tidak boleh terjadi.

Kuatnya paham maskulinitas dalam budaya Indonesia yang dikukuhkan oleh tafsir agama dan politik negara sehingga upaya melibatkan laki-laki dalam hal itu menjadi alternatif strategis. Ita Fatia Nadia, seorang sejarawan, mantan direktur Kalyanamitra, dan aktivis gerakan perempuan, yang juga menjadi narasumber di talkshow ini, mengamini strategi serupa. Di tahun 1990-an,Ia mengajak laki-laki progresif dalam berbagai kegiatan training kesetaraan dan keadilan gender di masyarakat. Menurutnya, yang memberatkan ialah karena hampir 30 tahun, rezim Orde Baru menghancurkan sejarah gerakan perempuan di Indonesia. Akibatnya, bayangan kiprah gerakan perempuan di benak rakyat Indonesia tak tergambar. Makanya, LSM perempuan (Kalyanamitra, Solidaritas Perempuan dan Yasanti) mencoba merintis sejarah gerakan perempuan secara perlahan dengan melibatkan laki-laki pro-feminis.

Laki-Laki Pro Feminis di Pemberdayaan Ekonomi Perempuan

Tak dinyana, kisahku mirip-mirip cerita Mas Boim dan Mas Boni. Pengalamanku bekerja di pemberdayaan ekonomi perempuan lapis bawah, serupa dengan pengalaman Mas Boim. Sepengetahuanku masih minim aktivis laki-laki yang mendalami pengetahuan keadilan gender dan menerapkan serta mengintegrasikan dalam kerja pemberdayaan ekonominya. Penelitian akademis di ranah ini pun tak seramai di isu hak sosial politik perempuan.

ASPPUK (Asosiasi Pendamping Perempuan Usaha Kecil-mikro) pada 2003 bekerjasama dengan IPCOS (sebuah lembaga penelitian di Jakarta) melakukan survei terhadap 2000-an perempuan pelaku usaha mikro dan menemukan sebagian besar menempatkan keluarga sebagai hambatan usaha. Tepatnya, izin suami sebagai pangkalnya. Keluhan kesedihan ibu-ibu pelaku usaha sering saya dengar di tengah pelatihan dan pendampingan. Suatu kali, seorang perempuan dari Jawa Tengah, dengan wajah sedih mengkonsultasikan problem usaha kepadaku. Setelah digali, ternyata masalahnya berpangkal pada perselisihan dengan pasangan di rumah. Sang ibu bercerita bahwa dari awal berusaha tidak pernah menyusahkan pasangan dan keluarga. Hasil usahanya menyumbang perekonomian keluarga. Saat pemda (pemerintah daerah) memfasilitasi pameran di tingkat kota kabupaten, Ia terpilih mewakili desa dan kecamatan. Saat ia membicarakan dengan pasangannya, tak diduga sang pasangan menolaknya. Si ibu drop dan stres. Itulah sepenggal cerita. Bertahun-tahun saya menemui berbagai cerita itu dalam kerjaku. Salah satunya, saya tulis di Jurnal Perempuan, No.35, dengan judul “Situasi Tanpa Perlawanan (Penelusuran Kondisi Perempuan Usaha Mikro di Jawa Tengah).”

Hingga pada 2018, saya mendapat beasiswa Australia Awards Fellowship, untuk studi satu semester di Flinders University, Australia Selatan, tentang “Responding and Preventing Violence against Women and Girls”. Di samping belajar tentang studi gender, Universitas memberi akses free terhadap semua referensi buku, jurnal dan sumber pengetahuan penting lainnya. Saya juga bertemu dosen, aktivis laki-laki yang pro feminis. Diskursus keterlibatan laki-laki dalam isu ini dari pengetahuanku meluas. Praktek baik dari negara lain dan jaringan laki-laki terhadap isu ini berkembang pesat. Mereka kuat, aktif, saling mendukung, dan saling bekerjasama antara laki-laki dan perempuan yang pro-feminis. Di tahap ini, saya bergumam, bahwa gelora keterlibatan laki-laki pro-feminis dalam pemberdayaan perempuan di Indonesia stagnan.

Saat membaca sejumlah referensi, saya menemukan bahwa dalam mendorong akuntabilitas pelaku kekerasan (kebanyakan laki-laki) memerlukan pelibatan semua pihak, termasuk laki-laki dan anak laki-laki. Di sini, konsep gender transformative menekankan arti penting pelibatannya. Gender transformative berupaya mencari cara guna menciptakan kesetaraan dan keadilan relasi gender melalui refleksi kritis, dan selalu bertanya terhadap individu, praktek terlembaga dan norma yang mendorong ketidakadilan gender dan kerentanannya (UNFPA and Promundo, 2010).

Dalam praktek, gender transformative menekankan pentingnya semua pihak bekerja bersama laki-laki dan anak laki-laki dalam mencegah kekerasan berbasis ketidakadilan gender. Caranya, pertama, dengan mentransformasikan kepercayaan “maskulin” menuju kesetaraan dan berkeadilan bagi perempuan dan laki-laki. Kedua, mengubah perilaku kekerasan. Ketiga, melengkapi laki-laki dan anak laki-laki dengan kemampuan komunikasi yang adil gender. Keempat, membangun relasi yang sehat, dan pengelolaan emosi (anger management) yang positif seperti berbagi peran di pekerjaan rumah tangga.

Alan Jenkins (1990), konselor kasus kekerasan dari Australia dalam, “Invitations to responsibility: The Therapeutic Engagement of Men Who Are Violent and Abusive“, mempopulerkan pendekatan intervensi yang bertujuan mendapatkan kembali nilai etis pelaku kekerasan. Menurutnya, agar pelaku mengaku perbuatannya, Ia wajib menerima sepenuh hati realitas kekerasan yang dilakukan, dan dampaknya bagi orang lain. Hal itu terlepas dari berbagai alasan lain seperti; keterbatasan psikologis, sosial dan ekonomi. Pendekatan ini memandang pelaku memilki norma perilaku yang menghalangi untuk terbuka terhadap kenyataan dan bertanggungjawab atas tindakanya.

Aditya Kurniawan (2014) dalam “Men’s experiences of Counselling Program for Perpetrators of Domestic Violence in Yogyakarta, Indonesia” menggambarkan perilaku pelaku dari cara pandangnya saat menerangkan tindakan kekerasan dan bayangan kondisi hubungan ideal dengan istri dan anak. Di sini, norma yang menghambat pelaku kekerasan harus fokus didekonstruksi oleh konserlor. Caranya dengan menguji tindakan kekerasan pelaku dengan nilai etis tentang kebaikan dan tujuan kehidupan serta dampaknya bagi orang terkasih.

Semoga ulasan dan talkshow yang digagas LETSS Talk bisa mendorong banyak laki-laki dan perempuan yang pro-feminis bergandeng tangan demi terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender, terutama bagi perempuan. Semoga.

 

Bahan Bacaan

 

Hasyim Nur, Kurniawan, Aditya Putra, dan Hayati, Elli Nur. 2011. Being a Man: Javanese Male Perspectives about Masculinity and Domestic Violence. Yogyakarta: Rifka Annisa.

Kurniawan, Aditya Putra. 2014. Men’s experiences of Counselling Program for Perpetrators of Domestic Violence in Yogyakarta, Indonesia. Master’s thesis. Macquarie University.

Martínez, Carmen dan Paterna-Bleda, Consuel. 2013. Masculinity Ideology and Gender Equality: Considering Neosexism. Anales de Psicología Vol. 29 (2), hal. 558-564atiae Di

Posted in Kontributor.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *