KESADARAN BUDHA

Oleh Diah Irawaty (Aktivis LETSS Talk)

 

Sejuta tahun lalu

Pangeran Budha menggenggam gelisah

Saat menelusuri lajur buram-buram anomali kemanusiaan

Sesuatu yang seharusnya mati gersang di jagat raya

 

Kesuburan ibu bumi melimpahkan berkah

Tempat menyusu hidup, melemparkan mati

 

Alih-alih, kontras perlawanan dua nyata

Benar-benar nyata

Tidak ada kelabu

Hanya hitam dan putih

 

Renta bagai di ujung kematiaan

Nestapa kemelaratan yang tak memberi pilihan

Kemegahan tak acuh

Kekuasaan tak peduli

 

Indahnya bumi ini

Tak seindah takdir penghuninya

Harmoni alam ini

Menjadi maya bagi hidup para umatnya

 

Siapakah yang telah memanfaatkan indahnya alam

Dengan ketegaan untuk merusak keindahan para

penghuninya

Tak bisakah mereka memenuhi butuh

Tanpa mengabaikan butuh bagi yang lain

 

Inferno duniawi

Sebab ambisi manusiawi

 

Sejuta tahun lalu, bagi pangeran Budha

Semua itu begitu jelas, meski tak jelas benar apa

sebabnya

Anomali-anomali itu

Bukan tangan kekuasaankah penciptanya?

 

Tapi sang pangeran tetap gelisah

Di dadanya tergurat dosa

Mengapa dirinya yang menerima takdir kesempurnaan

Mengapa mereka yang menerima takdir pengabaian

 

Inferno duniawi

Kesadaran manusiwi

 

Pangeran Budha meratap pilu

Hendak mengubah diri menjadi mereka

Meski mustahil mengubah mereka menjadi diri

Sia-sia tertutup keangkuhan jubah dirah

 

Sejuta tahun kemudian

Di sini, nestapa bagai keseharian yang lalu lalang

Di sana, kesombongan semakin angkuh

Di manakah perubahan

Yang menyandang sifat keabadian itu?

 

Di manakah Pangeran Budha itu?

Haruskah ia datang setelah perut-perut buncit

membuncah najis

Tak cukupkah seonggok tubuh renta di kolong tol

(Sebuah) bayi dalam bungkusan plastik kresek atau

kardus mie instan

Terbuang sia-sia karena tidak lagi ada beras

Terlempar muspra karena air susu telah kering

Menuntut jalan Budha? Di mana budha?

 

Masih kurangkah badai tusnami, banjir bandang, tanah

longsor

Kelaparan, gizi buruk, dan kematian sia-sia

Mematikan hasrat kuasamu

Membangunkan profetismemu? Di manakah budha?

 

Tidak!

Hari ini setelah lewat sejuta tahun

Melawati ribuan nabi dan satu Budha

Memang tak lagi perlu simbol kepedulian raja-raja

Kita butuh lintasan kata

Kita adalah Budha, kita adalah jiwa-jiwa kenabian

Yang harus segera bangun dari bidak rasa kekurangan

sebelum fajar tidak lagi bisa dinikmati mereka yang

jelata! Kita!

Binghamton, New York, akhir Februari 2021

Posted in Kontributor.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *