
Prof. Dr. Musdah Mulia. dok pribadi
Oleh Prof. Dr. Siti Musdah Mulia, MA, APU
(Tokoh Pembaruan Pemikiran Islam, Pionir Feminisme Islam, dan Pendiri Yayasan Muslimah Reformis)
Pengantar Redaksi
Pada Sabtu, 31 Desember 2022, LETSS Talk (Let’s talk about SEX n SEXUALITIES) bekerjasama dengan GARAMIN (Gerakan Advokasi Transformasi Disabilitas untuk Inklusi) NTT dan Pergerakan Difabel Indonesia untuk Kesetaraan (PerDIK) Sulsel mengadakan acara tahunan “Merayakan Tahun Baru: Merayakan Keragaman, Melawan Intoleransi dan Kekerasan Seksual.” Ini merupakan acara ketiga kali memanfaatkan momen Tahun Baru untuk kampanye publik. Acara ini diisi orasi feminis dan beragam pagelaran seni. Pada edisi ini, orasi feminis disampaikan Prof. Dr. Siti Musdah Mulia, MA, APU, tokoh pembaharu pemikiran Islam, pionir feminisme Islam, penggagas ide Muslimah Reformis dan Pendiri Yayasan Muslimah Reformis. Bersama tokoh-tokoh pembaharu Islam seperti KH. Abdurrahman “Gus Dur” Wahid dan Djohan Effendi, Bu Musdah juga mendirikan Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP). Tulisan ini adalah orasi feminis yang disampaikan bu Musdah pada acara Tahun Baru tersebut. Selamat Tahun Baru; happy learning dan berefleksi…
Acara Tahun Baru ini bisa diakses di kanal YouTube LETSS Talk dengan link berikut: https://www.youtube.com/watch?v=4XxEq-xr2QE&t=11713s
***
Pertama-tama, saya mengucapkan terimakasih banyak kepada LETSS Talk, khususnya untuk Ira dan Farid, dua pendirinya. Saya bangga pada kalian berdua, pasangan yang kompak, punya concern yang sama, masih muda, energik dan punya semangat berjuang dan mencerahkan sesama.
Saya berharap, semakin banyak kaum muda yang mengikuti jejak langkah kalian berdua yang pastinya tidak mudah. Sebab, tidak banyak orang rela meninggalkan zona nyamannya, lalu berjuang dalam kesulitan yang seringkali penuh pengorbanan. Sekali lagi, saya amat bangga pada kalian. Saya juga mengapresiasi semua narasumber dan pihak lain yang mendukung acara malam ini, demikian juga semua peserta yang hadir secara virtual.
Saya ingin memulai orasi saya dengan menyampaikan hal-hal bernada positif sambil memberikan apresiasi penuh pada pemerintah dan pihak-pihak yang telah bekerja membangun bangsa. Sejumlah progress telah kita nikmati, dan terkait perempuan bolehlah disebutkan Undang Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) merupakan capaian yang luar biasa, terutama jika kita mampu menjadikannya sebagai alat untuk mengeliminasi semua bentuk diskriminasi dan kekerasan berbasis apa pun.
Demikian pula sejumlah progress dalam pembangunan bidang pendidikan, kesehatan, sosial, agama dan terutama pembangunan infrastruktur yang memudahkan mobilitas masyarakat dari wilayah-wilayah terpencil, alhamdulillah, sebagai warga saya mengucap syukur atas semua capaian tersebut.
Namun, saya juga harus realistis melihat sejumlah tantangan yang masih menghadang kemajuan bangsa untuk maju menjadi lebih demokratis. Dan menurut saya tantangan terbesar adalah dalam bidang keagamaan. Sebab, di sinilah konsentrasi masalah terbesar masyarakat Indonesia yang senang mengklaim diri sebagai bangsa relijius. Saya mengajak kita semua merenungkan pertanyaan berikut:
Pentingkah Agama?
Ini salah satu pertanyaan menarik yang diajukan Pew Research Center, sebuah lembaga survei di Amerika Serikat yang sejak tahun 2015, mencoba melihat sejauh mana pentingnya agama bagi masyarakat di berbagai belahan dunia. Survei tersebut juga mengaitkan kemajuan suatu negara dengan sikap keagamaan masyarakatnya.
Hasil survei dari tahun ke tahun tak berubah, penduduk negara berkembang dan masih terbelakang cenderung menganggap penting agama dalam kehidupan. Sebaliknya, masyarakat di negara-negara maju cenderung tidak memandang penting agama. Tingkat religiusitas masyarakat berbanding terbalik dengan kemajuan ekonomi dan tingkat kebahagiaan penduduk. Menarik bahwa tahun 2020 lembaga ini menempatkan Indonesia sebagai negara religius karena mayoritas penduduknya menjawab agama sangatlah penting.
Survei tersebut sekaligus membenarkan riset Islamicity Indices yang memilih 10 negara paling islami, antara lain Selandia Baru, Belanda, Swedia, Irlandia, Swiss, Denmark, Kanada, dan Australia. Sebaliknya, skor negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, seperti Indonesia, cenderung rendah (http://islamicity-index.org/wp/latest-indices-2020/; lihat juga http://islamicity-index.org/wp/links-downloads/index-elements/).
Sungguh ironis! Mestinya, negara dengan penduduk yang memandang agama sebagai hal yang penting seharusnya lebih maju. Mengapa? Bukankah agama mendorong manusia dengan nilai-nilai spiritual yang diajarkannya untuk lebih giat bekerja, mencintai ilmu pengetahuan, bersikap lebih rendah hati dan seterusnya sehingga potensial memiliki integritas moral. Kondisi itu akan menginspirasi mereka melakukan kerja-kerja kebudayaan, membangun peradaban yang lebih maju.
Konservatisme Agama
Lalu, apakah itu artinya agama tidak penting? Menurut saya agama tetap penting dan akan selalu penting dalam kehidupan manusia. Manusia tak mungkin hidup tanpa agama, meski dia harus menyebut dirinya sebagai agnostik atau ateis. Jika agama tak mampu membawa manusia kepada kemajuan, kedamaian dan kebahagiaan itu bukan salah agama, melainkan cara manusia beragama. Lebih tepatnya, cara manusia memahami agama.
Salah satunya adalah memahami agama dengan cara-cara yang konservatif. Konservatisme adalah sebuah filsafat politik yang mendukung nilai-nilai tradisional. Dalam Islam, pemahaman konservatif mengekalkan pandangan keislaman berdasarkan pemahaman literalis yang dirumuskan ulama abad pertengahan, dan sebagian besar sudah tidak relevan dengan kondisi sekarang karena mengabaikan prinsip maqasid syari’ah (tujuan obyektif syariat Islam) dan nilai-nilai kemanusiaan universal.
Temuan Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah tahun 2020 menyimpulkan, potret keagamaan masyarakat didominasi oleh pemahaman keagamaan konservatif. Konservatisme agama merupakan narasi dominan di televisi dengan angka tertinggi sebesar 46,3 %, disusul narasi moderat 33,4 %, liberal 0,6 %, islamis 0,4 %, dan radikal 0,1 %.
Secara umum, narasi konservatif memang tidak bersifat politis, tidak melanggar aturan hukum dan juga tidak mengedepankan aksi kekerasan. Namun, perlu dicermati bahwa seseorang yang memiliki pemahaman keagamaan konservatif cenderung bersikap intoleran, jika diprovokasi sedikit saja, akan segera bergeser menjadi radikal. Dan itu tinggal selangkah lagi menuju terorisme.
Konservatisme keagamaan juga mendominasi kehidupan masyarakat dalam sosial media. Penelitian PPIM dilakukan dengan mengumpulkan data dari Twitter dan YouTube serta wawancara mendalam terhadap beberapa tokoh kunci untuk mendapatkan data secara kualitatif. Selama tahun 2009-2019 terdapat 1,9 juta tweet dan difiltrasi menjadi 458,582 tweet dari 100,799 user dengan 7,367,190 follower. Hasilnya, pandangan konservatif mendominasi viralitas tweet keagamaan sebesar 67,20%, Pemahaman islamis 4,50%, Pemahaman moderat 22,20 % dan pemahaman liberal 6,10%. Terlihat jelas, akun moderat tertinggal jauh dibandingkan akun konservatif.
Konservatisme juga melanda kalangan milenial, bahkan situasianya terlihat lebih buram. Penelitian PPIM tahun 2018 di 18 kota mengungkapkan, narasi ekstremisme dan ujaran kebencian beredar sangat masif di kalangan milenial. Penyebabnya, antara lain, mereka lebih bergantung kepada referensi digital dari pada referensi akademik yang lebih otoritatif. Kehadiran media sosial telah dengan sangat signifikan menggantikan peran pendidikan agama dalam keluarga, lembaga pendidikan, dan organisasi keagamaan. Lemahnya literasi keagamaan inilah yang berkontribusi besar terhadap kerentanan generasi milenial terhadap kecenderungan intoleransi, radikalisme, dan ekstremisme agama.
Pertanyaannya, di manakah mereka yang mengaku Islam moderat? Meskipun kelompok yang memiliki paham moderat memiliki proporsi lebih besar dibandingkan kelompok islamis, sifat partisipasi kelompok moderat yang cenderung diam, jauh terkalahkan oleh gerakan islamis yang lebih militan dan sangat aktif bersuara. Temuan ini menguatkan posisi kelompok islamis sebagai noisy minority, kelompok dengan jumlah sedikit, namun gaungnya lebih besar di media sosial dan sangat mewarnai potret keagamaan masyarakat.
Dampak Buruk Pemahaman Keagamaan Konservatif
Lalu, apa implikasi penting dari pemahaman keagamaan konservatif tersebut? Sebelumnya, perlu saya tegaskan bahwa pemahaman konservatif ini bukan hanya monopoli penganut Islam. Pandangan konservatif umumnya juga melanda penganut agama dan kepercayaan lainnya. Hanya saja, Islam merupakan agama mayoritas sehingga tudingan terbesar tertuju pada masyarakat Muslim.
Pertama, pemahaman konservatif mengukuhkan pandangan budaya patriarki yang sangat bias gender, mengekalkan subordinasi perempuan, menolak ide kesetaraan gender, apalagi ide feminisme. Narasi mengenai perempuan hanya berkutat pada ruang domestik, bahkan hanya berkutat di area kasur, sumur dan dapur serta pada perannya sebagai anak, ibu dan istri. Terdapat indikasi kuat bahwa perempuan lebih rentan terhadap paham keagamaan konservatif dibandingkan laki-laki. Tidak heran jika narasi konservatif di kalangan perempuan melahirkan transmisi konservatisme antar generasi, dan itu sangat membahayakan masa depan bangsa karena sungguh-sungguh menggerus kemanusiaan perempuan.
Kedua, konservatisme agama dipolitisasi sedemikian rupa untuk menyuburkan politik identitas yang cenderung membelah masyarakat sehingga terjadi polarisasi yang kuat. Wacana keagamaan konservatif lebih banyak muncul beriringan dengan event-event politik praktis. Kompetisi politik di Indonesia memanfaatkan isu agama sebagai sumber perebutan massa. Tambahan lagi, politisasi narasi agama tidak hanya dilakukan oleh partai Islam tapi juga oleh partai nasional yang katanya mengusung demokrasi. Akibatnya, polarisasi masyarakat tak terhindarkan dan politik identitas berbasis agama semakin menguat. Kondisi ini jika dibiarkan akan memecah belah bangsa dan mengganggu stabilitas nasional.
Ketiga, konservatisme agama hanya melahirkan kesemarakan beragama atau intensifikasi agama (religious intensification) dan tidak memberikan manfaat signifikan bagi tumbuhnya kesejahteraan, kedamaian dan kebahagiaan masyarakat. Pemahaman agama secara konservatif hanya melihat agama sekedar menyembah Tuhan dalam makna sempit, melaksanakan ritual sebagai kegiatan seremonial belaka. Akibatnya, pengamalan agama tidak memberikan manfaat bagi upaya perdamaian dan upaya membangun peradaban.
Keempat, konservatisme agama berkembang seiring disrupsi digital. Dunia digital mengabaikan hirarki dan otoritas sehingga siapa pun boleh menyuarakan pendapatnya, termasuk dalam agama. Kelompok intoleran sejak awal merajai dunia digital sehingga tidak heran jika atas alasan agama masyarakat semakin intoleran, eksklusif, mudah menghakimi kelompok lain yang berbeda serta acuh terhadap upaya-upaya membangun peradaban untuk kesejahteraan dan perdamaian manusia.
Kelima, konservatisme agama membuat seseorang kehilangan akal sehat dan nalar kritis. Sebab, kalangan konservatif lebih percaya kepada pandangan imam kelompoknya, meski tidak rasional. Mereka biasanya tak mau mendengar pandangan ulama yang memiliki otoritas dan keahlian dalam bidang agama. Masuk akal atau tidaknya pemahaman terhadap teks kitab suci terkadang tidak penting, yang terpenting adalah pendapat, paham dan tafsir dari orang yang sudah terlanjur mereka jadikan imam atau panutan. Pemahaman yang tidak kritis dan tidak rasional membawa kepada sikap keagamaan yang tidak manusiawi. Akibatnya, para penganut pandangan konservatif tersebut cenderung menolak prinsip HAM, demokrasi, dan pluralisme. Apalagi pemikiran feminisme yang mengedepankan prinsip keadilan dan kesetaraan gender bagi semua manusia.
Tawaran Solusi
Pada prinsipnya, semua agama tumbuh berdasarkan iman atau kepercayaan. Iman dan kepercayaan seharusnya disertai penalaran kritis dan dilengkapi dengan penjelasan rasional atau alasan pembenaran bagi adanya kewajiban-larangan, nilai moral baik-buruk, dan upacara-upacara ritual yang mesti dijalankan. Akan tetapi, faktanya lebih banyak penganut agama tidak memerlukan alasan-alasan rasional bagi tindakan keagamaan mereka. Akibatnya, mereka tidak mudah mengubah pandangan walau terlihat tidak masuk akal meski diajukan berjuta argumentasi yang rasional dengan bukti-bukti kasat mata atau sangat logis. Mereka hanya akan berubah jika mendapatkan doktrin dari pemimpin spiritual yang mereka yakini. Inilah salah satu ciri konservatisme agama dan kondisi keagamaan demikian sangat penting diubah, baik oleh masyarakat sipil dan terutama oleh negara karena memiliki semua power yang dibutuhkan.
Tentu tak ada solusi tunggal dan mudah atas kondisi masyarakat yang sudah sedemikian akut. Namun, kita pun tak boleh pesimis apalagi apatis. Menurut saya solusi utama adalah penguatan literasi masyarakat, khususnya terkait literasi agama dan kebudayaan melalui aksi-aksi konkret berikut.
Pertama, kita semua para pejuang kemanusiaan, apa pun aliran, agama dan pilihan politik penting bergandeng tangan berkolaborasi menyebarkan nilai-nilai feminisme yang mengedepankan prinsip kesetaraan dan keadilan gender, terutama melalui upaya-upaya rekonstruksi budaya dalam arti seluasnya.
Kedua, para pejuang kemanusiaan harus aktif menyuarakan pandangan keagamaan yang humanis-feminis dan untuk itu diperlukan upaya-upaya reinterpretasi ajaran agama secara holistik. Diharapkan ke depan, interpretasi keagamaan yang humanis-feminis menjadi mainstream di masyarakat.
Ketiga, para pejuang kemanusiaan bersatu mengadvokasi pemerintah agar mengeliminasi semua kebijakan publik yang diskriminatif (gender, agama, etnisitas, dan lain-lain) dan selanjutnya melahirkan undang-undang dan berbagai kebijakan publik yang sensitif gender dan mendukung nilai-nilai demokrasi. Studi feminisme perlu diintegrasikan dalam berbagai bidang studi di perguruan tinggi di Indonesia.
Hal yang tidak kurang pentingnya adalah negara berkewajiban mendorong semua umat beragama di negeri ini agar mempromosikan corak agama yang humanistik. Selain itu, negara juga harus memastikan tersosialisasinya interpretasi keagamaan yang humanistik-feminis sesuai nilai-nilai luhur Pancasila dan amanat Konstitusi. Hanya dengan cara itu, kedamaian, kemajuan, kesejahteraan dan kebahagiaan masyarakat yang demokratis ini dapat dicapai. []