
Zakia, dok pribadi
Oleh Zakia
Relawan LETSS Talk, Tinggal di Makassar, Sulawesi Selatan
“Lelucon Janda di Tengah Wabah: Perempuan Kepala Keluarga Melawan Stigma dan Feminisasi Kemiskinan” merupakan judul tulisan Nani Zulminarni, Pendiri PEKKA (Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga). Ia menjadi salah satu dari 52 perempuan yang menulis pengalaman pandemi Covid-19 yang dipublikasikan dalam buku berjudul “Kita Bukan Sekedar Angka: Puan Indonesia Menulis Pandemi” (2021). Hanya dengan melihat sampul dan judulnya, saya sudah jatuh cinta pada buku ini.
Dalam tulisan tersebut, Nani Zulminarni menceritakan pengalamannya mengikuti seminar terkait pengawalan pelaksanaan bantuan langsung tunai dana desa di Kabupaten Lumajang. Di seminar itu, ia menceritakan, Bupati Lumajang menyampaikan lelucon mengenai janda usia 20-30 tahun yang tidak perlu diberikan bantuan langsung tunai, tapi dicarikan suami. Lelucon ini membuat Nani meradang, meskipun tentu saja ia tidak bisa menginterupsi bupati dalam pertemuan tersebut. Inilah salah satu contoh lelucon seksual dan seksis yang sering dialami perempuan kepala rumah tangga berstatus janda. Lelucon seksual merupakan serangan seksual yang bisa dikategorikan kekerasan seksual. Lelucon ini juga seksis dan bias karena menyasar satu jenis kelamin tertentu, dalam hal ini perempuan, sebagai target stigmatisasi dan stereotifikasi.
Tulisan Nani mengingatkan saya pada pelatihan tentang Koordinasi dan Manajemen Tempat Pengungsian (KMTP) atau Camp Coordination and Camp Management yang saya ikuti beberapa waktu lalu di Makassar bersama Nur Syarif Ramadhan, seorang difabel visual/netra yang sekarang menjadi Ketua Pergerakan Difabel Indonesia untuk Kesetaraan (PerDIK) Sulawesi Selatan. Sesi pembukaan dan penutupan pelatihan tersebut dihadiri seorang pejabat publik.
Seperti yang dialami Nani, status janda juga dijadikan lelucon dan bahan olok-olok oleh pejabat pemerintahan yang sedang menjalankan tugas dalam sebuah acara serius seperti pelatihan. Dan hal itu bukan hal baru atau pertama kali terjadi. Pejabat itu, seorang laki-laki, menyampaikan beberapa lelucon mengenai janda yang bernada seksual dan seksis seperti kalimat, “Saya dikelilingi banyak janda di acara ini,” “Jaksa = janda kaya anak satu” dan banyak istilah-istilah lainnya yang menjadikan janda bahan lelucon. Pejabat tersebut juga menyampaikan pertanyaan kepada peserta laki-laki, “Apa bapak suka main dengan janda?” Bukan hanya itu, di forum pelatihan yang dihadiri banyak perempuan kepala rumah tangga berstatus janda, ia sengaja menampilkan foto sebuah kamar tidur di slide pertama presentasinya dan diikuti pernyataan yang mengasosiasikan foto tersebut dengan aktivitas seksual, “Kenapa yang muncul gambar kasur? Apakah saya diminta menginap? Sudah ada teman menginapnya? Coba cek di kasurnya, mungkin ada darah.” Sebuah lelucon seksual yang disampaikan secara vulgar dan sengaja dihadirkan di forum publik dengan peserta perempuan kepala rumah tangga/keluarga. Sebagian peserta yang mayoritas laki-laki merespons lelucon ini dengan tertawa. Sementara semua peserta perempuan terdiam, menahan rasa tidak nyaman dan kesal, dan saya yakin juga merasa terhina.
Sepanjang presentasinya, pejabat tersebut tidak berhenti membuat lelucon yang merendahkan dan melecehkan perempuan kepala keluarga dan perempuan pada umumnya. Selama presentasi, 90% yang ia sampaikan dipenuhi dengan kalimat yang bernada melecehkan dan merendahkan perempuan dan cara pandang yang seksis. Hal yang paling membuat marah adalah ketika ia bertanya kepada peserta perempuan, apakah mereka perawan atau janda, dengan ekspresi tersenyum tanpa rasa bersalah atau malu. Sangat jelas, lelucon di depan umum yang menargetkan perempuan ini merupakan bentuk serangan seksual sekaligus tindakan seksis. Sungguh semakin meresahkan karena hal ini terjadi di tempat umum yang dihadiri publik; seorang pejabat bisa “merdeka” tanpa rasa bersalah melakukan tindakan ini.
Peserta perempuan yang mendapat pertanyaan tersebut tidak bisa melakukan apapun selain menahan malu, kesal, marah, atau memilih mengabaikan pertanyaan itu. Meski terlihat dengan sangat jelas, pertanyaan tersebut membuat peserta perempuan merasa sangat tidak nyaman. Sangat mungkin bahkan perempuan tersebut mengalami perasaan terhina dan dipermalukan dengan mendapatkan pertanyaan seperti itu di depan publik. Namun sekali lagi, mereka tidak bisa melakukan apa-apa. Mungkin karena posisi bapak tersebut adalah pejabat atau mungkin juga karena forum ini adalah forum resmi atau bisa jadi juga karena relasi kuasa yang timpang antara pemateri dan peserta, antara pejabat dan masyarakat. Entahlah, saya pun ikut merasa kesal pada diri sendiri karena juga tidak bisa berbuat apa-apa.
Parahnya lagi dan tambah mengesalkan, sebagian peserta laki-laki terus ikut tertawa dengan lelucon yang sama sekali tidak lucu. Sang pejabat berkelakar dan berargumen, itulah caranya mengakrabkan diri kepada orang lain dan mendapatkan teman. Menurut saya, hal tersebut adalah pemikiran yang tidak masuk akal karena bagaimana mungkin ia akan mendapatkan banyak teman dengan cara merendahkan orang lain. Yang sangat mungkin ia dapatkan adalah kemarahan dan kutukan di dalam hati para perempuan yang merasa dihina. Di satu waktu tertentu, seseorang mencoba membuatnya berhenti dengan segala omong kosong yang ia lakukan selama berjam-jam dan kembali fokus pada slide presentasi yang sepertinya dipersiapkan oleh orang lain.
Sebagai seorang pejabat publik dan, menurut saya, juga berpendidikan, seharusnya ia bisa berpikir jernih bahwa peserta akan merasa tidak nyaman dengan caranya berkomunikasi dan berinteraksi, apalagi dengan isi pembicaraanya berupa lelucon seksual. Peserta sudah menyindir perilakunya ini. Namun sayangnya, ia justru menanggapi balik dengan lelucon lainnya yang juga seksis dan bernada seksual. Bahkan ia melanjutkan lelucon seksisnya dengan mengatakan bahwa ia bisa memaparkan materi hingga jam berapapun, namun syaratnya ibu moderator harus menemaninya hingga malam hari. Dari sorot mata dan ekspresi, terlihat jelas jika ibu moderator saat itu sangat kesal dengan beliau. Di dalam hatinya “mungkin” ingin membungkamnya dengan microphone agar ia berhenti bersikap kasar dan merendahkan seperti itu.
Candaan itu diperparah dengan suara tawa dari sebagian peserta laki-laki sehingga pejabat tersebut bukan hanya merasa diterima dalam forum tersebut, tapi merasa candaan seksis yang merendahkan dan melecehkan seperti itu dianggap hal biasa, sepele, dan bukan masalah, apalagi masalah serius. Hal ini semakin menormalisasi bentuk-bentuk pelecehan seksual dan seksisme yang disampaikan melalui lelucon. Ia merasa, tidak apa-apa melanjutkan candaan tersebut tanpa memikirkan mungkin ada orang yang terluka dan sakit hati mendengarnya. Mungkin karena beliau tidak pernah punya teman dari kalangan aktivis perempuan atau belum pernah hadir dalam forum yang membahas keadilan gender dan persamaan hak atau tentang kekerasan seksual termasuk pelecehan seksual. Perspektif dan perilakunya sangat merendahkan perempuan dan seksis. Saya membatin, bila ia hadir dalam pertemuan aktivis perempuan atau feminis dan membuat lelucon semacam itu, mungkin ia sudah dikritisi, ditantang, ditentang, dan “diserang” oleh para aktivis perempuan.
Yang tambah membuat kesal dan marah adalah ia menstigma negatif perempuan kepala keluarga sebagai penggoda, sebagai perempuan nakal. Padahal ia tidak tau bagaimana seorang perempuan kepala keluarga berjuang untuk menghidupi keluarganya, melawan diskriminasi dan stigma yang melekat kuat pada diri dan kelompoknya. Terlebih di masa pandemi ini, semua orang mengalami kesulitan karena kehilangan pekerjaan. Ada perempuan kepala keluarga yang harus menghidupi dua anak, empat atau lima orang anak dan bahkan orang tua yang sudah sepuh. Sementara penghasilan mereka tidak menentu bahkan semakin menipis karena pandemi yang melanda dunia dua tahun belakangan ini.
Beban tanggung jawab menghidupi keluarga semakin bertambah ketika anak-anak harus menjalani sekolah online (daring) di rumah. Bukan hanya pengeluaran yang meningkat, tapi perempuan kepala keluarga semakin rentan mengalami stres hingga depresi karena juga harus mendampingi anak-anak bersekolah. Sementara di saat yang sama harus memutar otak agar dapur tetap dan terus mengepul.
Sebagai pejabat publik, sudah seharusnya ia melindungi warga masyarakat dan memastikan semua warga negara dan anggota masyarakat bisa bebas dan terlepas dari stereotipe dan terlibat aktif dalam pemenuhan hak-hak warganya termasuk perempuan tanpa perlakuan seksis, misoginis, merendahkan, dan diskriminatif terlepas dari status pernikahannya. Mungkin si bapak lupa bahwa di luar sana banyak anak-anak yang dibesarkan dan dididik oleh seorang ibu tunggal dengan penuh cinta dan pengorbanan yang menjadikan anak-anak tersebut menjadi pribadi yang tangguh dan membanggakan bagi keluarga, komunitas, masyarakat, dan negara. Perempuan kepala keluarga tidak seharusnya menjadi bahan lelucon dan tidak dijadikan target dan obyek candaan dan lelucon yang seksis. Mereka adalah warga negara yang memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam masyarakat.[]