Mengembalikan Kerja Pendampingan Korban ke Pusat Gerakan Feminisme

(Diah Irawaty. dok pribadi)

 

Diah Irawaty

Kandidat Ph.D. Antropologi Feminis, State University of New York (SUNY) Binghamton, New York; Pendiri & Koordinator LETSS Talk

 

Sudah sekitar satu tahun Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) disahkan. Kesiapan infrastruktur dan sumber daya untuk menangani korban kekerasan seksual setelah RUU ini disahkan menjadi kebutuhan yang harus terus dikuatkan.

Disahkannya RUU TPKS akan mendorong kemauan korban kekerasan seksual untuk melaporkan kasusnya. UU tersebut akan memberi jaminan legal bagi warga yang menjadi korban kekerasan yang membuat mereka lebih punya keberanian melaporkan kasusnya. UU TPKS sudah seharusnya menjadi jalan penting mendobrak reviktimisasi korban (blaming the victim) kekerasan seksual yang selama ini menjadi pandangan dan perilaku sangat dominan dalam masyarakat kita, tidak terkecuali di kalangan aparat negara, bahkan yang berurusan dengan penegakan hukum kasus-kasus kekerasan seksual. Jika aspek jaminan perlindungan korban dari reviktimisasi bisa dipenuhi, kehadiran UU ini akan mendorong banyak korban berani melaporkan dan mengekspos kasusnya. Kita sudah mulai melihat perkembangan ini dengan munculnya kasus-kasus kekerasan seksual ke publik.

Apakah rumah sakit kita memiliki layanan berperspektif korban saat melakukan visum? Apakah aparat penegak hukum sudah menerapkan perspektif feminis dan perspektif korban saat melakukan proses hukum? Seberapa kuat sumber daya kita dalam layanan konseling psikologis yang berperspektif feminis dan berperspektif korban? Sejauhmana fasilitas rumah aman yang bisa menjamin keamanan korban tersedia? Untuk korban yang tidak punya kemampuan ekonomi-keuangan, apakah ada program jaminan sosial untuk mereka baik dalam proses pengurusan kasus atau pasca penyelesaian kasus? Tentu, pertanyaan ini juga berlaku pada fasilitas-fasilitas yang bukan hanya berlokasi di perkotaan, tapi juga di wilayah-wilayah pelosok.

Kerja pendampingan korban sangat dibutuhkan untuk memastikan hak-hak korban saat kasusnya dilaporkan dan diekspos akan dijamin hingga korban mendapatkan keadilan sepenuhnya. Saat ini, kita melihat, banyak korban kekerasan seksual yang menghadapi kesulitan luar biasa untuk mendapatkan keadilan saat mereka memproses kasusnya. Bukan saja reviktimisasi, baik dari masyarakat maupun aparat, yang masih diterima sebagai kenormalan, fasilitas layanan kasus yang tersedia dan bisa diakses korban kekerasan seksual juga masih sangat terbatas. Kita melihat situasi ironis terkait kekerasan seksual; satu sisi, banyak korban yang mulai terdorong untuk berani melaporkan dan mengekspos kasusnya, namun, sumber daya layanan kasus yang, sekali lagi, bisa menjamin terpenuhinya hak dan keadilan korban belum tersedia memadai.

Situasi lebih rumit dijumpai pada kasus-kasus kekerasan seksual yang dialami kelompok minoritas dan terpinggirkan. Warga dengan disabilitas yang sangat rentan mengalami kekerasan seksual memerlukan proses pendampingan lebih khusus karena situasi khasnya. Korban kekerasan seksual juga tidak hanya perempuan dalam relasi heteroseksual; kekerasan seksual juga banyak dialami laki-laki dalam relasi non-heteroseksual. Sementara jaminan keamanan dari berbagai diskriminasi dan stigma terhadap LGBT masih belum menjadi perhatian negara, kita membayangkan kesulitan dan tantangan luar biasa dalam penanganan kasus kekerasan seksual yang dialami kelompok gender dan seksual minoritas. Dinamika kekerasan seksual yang terjadi di ranah virtual telah menjadi tren kuat akhir-akhir ini dan butuh tindakan tersendiri bagi para korban.

Penanganan korban yang tidak menjamin hak dan pemenuhan keadilan akan berdampak serius pada korban secara langsung serta berimplikasi luas pada gerakan melawan kekerasan seksual. Di tengah perspektif dan empati pada korban yang masih sangat lemah, kemauan dan kemampuan melaporkan kasus (speak up) merupakan tindakan menumbalkan diri untuk menjadi target reviktimisasi. Penanganan kasus kekerasan seksual yang tidak berempati pada korban akan membunuh harapan mereka pada pemenuhan keadilan. Pendampingan korban menjadi fundamental agar korban bisa mendapatkan hak akan keadilan dan terus mempunyai harapan akan adanya keadilan tersebut. Merupakan sebuah “kebiadaban” saat kita membuat UU TPKS yang membuat korban terdorong melaporkan kasusnya lalu kita meresponsnya dengan pembiaran atau tindakan-tindakan yang sama sekali tidak mendukung perjuangan korban mendapatkan keadilan.

Mengembalikan kerja pendampingan ke pusat agenda gerakan feminisme menjadi kebutuhan mendesak saat ini. Beruntung, kerja pendampingan pernah menjadi ujung tombak dan garda depan gerakan feminisme di Indonesia. Kerja pendampingan bahkan menjadi pusat gerakan membangun kesadaran kritis-feminis yang terkait erat dengan kerja-kerja politik, ideologis, dan strategis. Feminisme kita pernah punya visi dan misi revolusioner yang kuat tentang kerja pendampingan ini di mana kasus-kasus kekerasan yang terjadi menjadi landasan untuk mengkritik, menantang, dan menentang kebijakan dan politik gender negara, norma maskulinitas, patriarkhisme, seksisme, dan heteronormativisme dan segala bentuk dan struktur ketidakadilan berdasarkan gender dan pola relasi yang tidak setara. Pembentukan Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) yang menjadi deklarasi dan monumen kontribusi feminis dalam gerakan reformasi tidak terlepas dari visi politik feminis dalam kerja pendampingan korban, khususnya kekerasan seksual. Dari kerja pendampingan dan penanganan kasus, kita bisa memiliki UU Nomor 23/ 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.

Saat ini, kita melihat kerja pendampingan mulai menjadi agenda terpinggirkan bahkan di kalangan elemen gerakan feminisme. Selain karena memang sangat melelahkan, menyaratkan sumber daya sangat banyak, kerja pendampingan dianggap kerja “personal” dan tidak punya pengaruh politik-struktural yang kuat. Kerja pendampingan dianggap tidak relevan dengan fenomena gerakan feminisme kontemporer yang menempatkan kerja-kerja virtual sebagai agenda lebih populer dan trendy. Kerja pendampingan, akhirnya, harus dilalui dalam kesunyian.

Beberapa lembaga negara terkait sebenarnya sudah punya beberapa inisiatif penguatan peran negara dalam layanan kasus, termasuk menyediakan hotline pengaduan. Namun, kebijakan di atas kertas masih banyak mengalami kendala, termasuk dari segi kesiapan para aparat yang langsung menangani kasus. Menjadikan kerja pendampingan sebagai pusat agenda gerakan feminisme akan penting bagi perubahan perilaku aparatus untuk lebih berperspektif feminis dan bersperspektif korban.

Kita perlu membayangkan dengan seksama situasi yang dihadapi korban kekerasan seksual, dengan trauma mendalam dan ancaman tidak mendapatkan hak dan keadilan yang diharapkannya. Kita perlu menguatkan perspektif korban untuk melawan perspektif pelaku yang tidak solider pada situasi korban. Empati pada korban menjadi fondasi bagi penguatan kerja pendampingan, mengembalikannya sebagai agenda pusat gerakan feminisme. Selama ini, masyarakat berperan sangat besar dalam layanan pendampingan korban; bahkan, sebagian besar kerja pendampingan korban seperti menjadi beban masyarakat, terutama organisasi feminis yang memiliki layanan pendampingan. Kita berharap, pengesahan RUU TPKS yang semoga tidak memakan waktu lama akan mendorong negara lebih bertanggungjawab dan berperan lebih aktif dalam kerja-kerja pendampingan korban kekerasan seksual, dari perubahan sikap dan pandangan aparat hingga penyediaan sumber daya. Di level ini, kita akan bisa melihat dan merayakan kerja pendampingan sebagai agenda politik feminisme yang penting bagi transformasi struktural.

 

(Artikel ini pernah dimuat di konde.co edisi 3 Maret 2023: https://www.konde.co/2023/03/dianggap-kurang-populer-dan-trendy-kembalikan-kerja-pendampingan-korban-ke-pusat-gerakan-feminisme.html/)

Posted in Kontributor.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *