
Diah Irawaty dan Ishak Salim pada diskusi “Difabel dan Keadilan Gender” melalui acara Saturday Nite with LETSS Talk LIVE on Instagram, Sabtu, 28 November 2020.
Oleh Nabila May Sweetha (Pelajar SMU, Penulis, dan Aktivis Difabel di Pergerakan Difabel Indonesia untuk Kesetaraan/PerDIK)
Dalam beberapa tahun terakhir, terjadi perkembangan penting dalam gerakan hak difabel dan gerakan feminisme di Indonesia. Perkembangan tersebut terkait makin kuatnya perhatian untuk membangun koneksi dan interseksi antara isu difabel dan isu-isu dalam feminisme. Harus diakui, selama ini, keduanya masih tampak sebagai isu yang terpisah. Melihat perkembangan terakhir tersebut, sangat penting untuk memanfaatkan semua momen dan event sebagai kesempatan (opportunity) untuk lebih menguatkan relasi antara isu-isu difabel dan isu-isu dalam feminisme, salah satunya, yang paling penting adalah isu seksualitas.
Baru-baru ini, tepatnya pada Sabtu, 28 November 2020, LETSS Talk menghadirkan acara Saturday Nite with LETSS Talk Live on Instagram yang secara khusus menghadirkan tema “Difabel dan Keadilan Gender.” Acara yang disiarkan langsung melalui akun Instagram LETSS Talk ini menampilkan Dr. Ishak Salim, Ketua Pergerakan Difabel Indonesia untuk Kesetaraan (PerDIK) sebagai guest atau narasumber dan Diah Irawaty, salah satu pendiri LETSS Talk, sebagai host. Dalam tulisan ini, saya ingin mengurai poin-poin penting yang muncul dalam diskusi yang diadakan bertepatan dengan Peringatan 16 Hari Anti Kekerasan Berbasis Gender.
“Persoalan terbesar terkait difabel dan seksualitas adalah pendidikan seksualitas bagi anak atau remaja difabel baik di rumah tangga maupun di sekolah, dan hal itu tidak terjadi secara berkesinambungan, dan tidak diurus secara serius,” papar Ishak Salim, yang biasa dipanggil Kak Ichak, membuka perbincangan.
Lebih lanjut, Ishak menjelaskan, “Kurikulum pendidikan seksual bagi anak-anak, khususnya di SMP Luar Biasa, di mana banyak anak-anak sedang menuju usia remaja, belum tersedia. Dalam beberapa kasus, misalnya di SMP Luar Biasa, ketika usia anak-anak mulai baligh dan menjadi remaja, mereka akhirnya mencari sendiri informasi terkait seksualitas dan seks. Mereka mencari tahu sendiri tentang tubuhnya, mencari tahu sendiri tentang bagaimana cara membangun keintiman dengan lawan jenis. Dalam kondisi seperti itu, banyak remaja difabel menjadi keliru arahnya, karena tidak ada pedoman. Tempat untuk bertanya adalah pada teman sendiri, Sementara, teman juga sama tersasarnya dengan yang lain. Jadi dalam konteks itu pengenalan isus-isu seksualitas bisa sangat berpeluang besar menjadi keliru, dan hubungan seks antara sesama difabel bisa terjadi di luar norma-norma sosial yang diakui secara umum.”
Saya merasa senang sekali saat Ishak men-share rekaman diskusinya bersama LETSS Talk ini pada saya. Pembicaraan mengenai seks dan seksualitas dalam kaitannya dengan difabel memang masih jarang dilakukan di ruang-ruang publik. Sementara stigma difabel sebagai kelompok yang dianggap asekual di satu sisi dan hiperseksual di sisi lain masih sangat kuat di masyarakat kita. Belum lagi maraknya kasus kekerasan seksual terhadap difabel terutama perempuan difabel di samping kurangnya akses infomasi dan komunikasi tentang pendidikan seks dan seksualitas di kalangan difabel membuat persoalan ini semakin kompleks dan berat.
Selama ini masyarakat kita banyak yang mengira difabel sebagai manusia yang memiliki nafsu tinggi, dan suka-suka saja atau masa bodoh saat mereka mendapatkan pelecehan seksual. Anggapan lain yang berkembang adalah difabel tidak mempunya keinginan dan hasrat seksual atau keinginan untuk mempunyai hubungan seksual atau mempunyai hubungan intim seperti non-difabel. Dalam konteks lain, kita juga mendengar banyak teman-teman difabel melakukan hubungan intim dengan difabel lainnya dengan didasari oleh pengetahuan seks dan seksualitas yang sangat kurang, terbatas, tidak memadai, dan bahkan tidak akurat.
Sebenarnya, pengetahuan seks dan seksualitas, seperti yang pernah saya singgung di tulisan-tulisan saya lainnya, bukan hanya minim didapatkan di kalangan difabel. Pendidikan seks dan seksualitas juga minim untuk sebagian besar warga di Indonesia, di sekolah-sekolah umum termasuk sekolah milik pemerintah, apalagi di ruang-ruang publik. Ini berdampak besar pada perkembangan anak-anak yang usianya menuju masa remaja. Seperti yang dikatakan Ishak, hal ini menyebabkan banyak sekali kekeliruan dan kesalahpahaman pada masa anak-anak itu tumbuh menjadi remaja.
Dalam kondisi tidak tahu atau kurang pengetahuan, mereka melakukan hal-hal yang seharusnya tidak dilakukan. Dalam kasus yang lebih ringan, ketidaktahuan membuat mereka abai terhadap kesetaraaan gender. Akibat seks masih dianggap pembicaraan dan hal tabu di Indonesia, banyak pihak merasa enggan dan canggung untuk membicarakan dan menyampaikan pengetahuan terkait hal tersebut kepada anak-anak. Karenanya, sangat perlu untuk segera memulai upaya yang membuat kita punya akses terhadap pendidikan seks dan seksualitas, khususnya yang menargetkan anak-anak yang sedang bertumbuhmenuju remaja terutama untuk difabel yang memang sangat membutuhkan pengetahuan tersebut.
Dalam diskusi selama satu jam ini, Ishak juga sempat menyinggung betapa banyak difabel, dalam hal ini perempuan, yang akhirnya tidak bisa beraktivitas dengan leluasa karena tidak adanya kesetaraan gender bahkan di rumah atau dalam keluarga mereka. Ada kasus di mana perempuan difabel berkursi roda tidak bisa ikut aktif di kegiatan organisasi sosial karena di rumah, dia menjadi orang satu-satunya yang berkemungkinan untuk mengurus adik-adik dan mengerjakan semua pekerjaan domestik. Ada juga teman Tuli yang tidak diperbolehkan bersekolah hanya karena dia adalah seorang perempuan.
Menurut saya, kasus-kasus semacam ini memang banyak sekali terjadi di kalangan difabel. Sebagai difabel, kami sering dianggap rentan, tidak bisa ke mana-mana dan tidak leluasa melakukan apa-apa di luar rumah sendirian. Sebagai perempuan, kami tambah rentan lagi. Kami dianggap memiliki kewajiban untuk menjaga rumah, mengurusi pekerjaan domestik, dan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi karena toh akan berakhir di dapur juga.
Contoh sederhana seperti di rumah saya. Ibu atau yang saya sering menyebutnya Mamak, memiliki adik perempuan, yang usianya tidak jauh berbeda dengan saya; dia hanya lebih tua dua tahun. Kami sudah seperti saudara, rasanya kami seusia. Setiap hari dia bebas beraktivitas. Setiap ingin keluar rumah, dia diberi izin dengan alasan dia kuliah, perlu mengurus tugas-tugas, dan banyaklah alasan lain terkait kuliah. Adik perempuan mamak tersebut juga perempuan dan Ia diberi izin untuk keluar rumah mengerjakan aktivitas-aktivitasnya. Saya juga perempuan, saya bersekolah, dan aktif di organisasi. Tapi orang tua saya tidak mau peduli itu. Saya dianggap rentan hanya karena saya difabel. Dalam banyak hal, jika ingin melakukan aktivitas di luar rumah, saya harus melalui proses minta izin terlebih dahulu dan mamak lebih sering menggeleng, ketimbang mengijinkan.
Saya tidak tahu alasan mamak. Mungkin saja mamak terlalu khawatir. Mungkin saja mamak merasa kegiatan-kegiatan saya di luar rumah tidak penting. Atau, banyaklah kemungkinan yang tidak mamak beberkan. Pokoknya, saya tidak boleh keluar rumah; ya, saya tidak boleh pergi karena tidak diizinkan.
Satu dua kali saya mau memberontak, mau keluar rumah, meski tidak diizinkan. Saya merasa sudah cukup dewasa untuk memilih mana kegiatan penting dan mana yang kurang atau tidak penting dan tidak berguna bagi saya. Saya pokoknya merasa sudah cukup usia untuk menentukan apa saya ingin keluar rumah atau tidak ingin sekalipun.
Tapi, pemberontakan saya itu tidak ampuh; relasi kuasa antara orang tua dan anak masih kental sekali terjadi di rumah saya. Walaupun saya, dalam hal ini sebagai anak, merasa sudah benar dan cukup dewasa, tetap saja di mata mamak, atau di mata masyarakat, saya yang salah ketika saya memilih jalan yang tidak dipilihkan orang tua. Apalagi dalam posisi saya sebagai perempuan, kedudukan saya menjadi lebih rendah lagi. Orang-orang akan berpikir saya anak perempuan, difabel pula, yang tidak mendengar perkataan orang tua.
“Anak perempuan, kok suka keluar rumah. Kayak perempuan nakal saja,” begitu biasa orang akan bilang. Jika saja orang tua saya mengetahui dan mendapatkan pendidikan seks dan seksualitas, tentang betapa anak perempuan punya hak untuk hidup dan menentukan pilihannya, betapa pentingnya kesetaraan gender diterapkan dalam membesarkan anak dan betapa rentan dan beresikonya anak perempuan difabel yang tidak mempunyai pengetahuan dan akses pendidikan seks dan seksualitas dan pendidikan mengenai kekerasan seksual, mereka tidak mungkin melarang saya keluar rumah, melarang saya aktif di organisasi, untuk hal yang seharusnya positif untuk saya sendiri.
Lalu, muncul pertanyaan lain dalam benak saya ketika mendengar rekaman diskusi Ishak Salim dan Diah Irawaty di forum LETSS Talk itu: Apa perbedaan antara kerentanan perempuan non-difabel dan kerentanan perempuan difabel dalam hal kesetaraan gender?
“Ketika terjadi ketidakadilan gender bagi difabel, maka itu sangat boleh jadi disebabkan oleh faktor seperti perspektif dan pengetahuan yang menjadi arus-utama, yang membuat aspek gender dan disabilitas itu menjadi hal yang kurang penting. Jadi dua-duanya ini benar-benar kompleks,” ujar Ishak saat menjawab pertanyaan host terkait apa isu utama dari masalah difabel dan ketidakadilan dan ketidaksetaraan gender.
“Kalau merujuk pada pertanyaan apa yang menjadi isu utamanya, begitu kita masuk ke belantara persoalan ini, setiap hal yang ditemui itu adalah masalah utama,” jawab Ishak tegas. Sebagai perempuan difabel, yang kebetulan sekali memiliki tante kecil yang non-difabel, yang bisa dijadikan cerminan, saya bisa melihat, isu difabel dan gender ini sebagai isu yang sangat berkaitan.
Tante saya juga seorang perempuan, seperti saya; dia hampir seusia dengan saya, dan usianya mungkin saja sama atau bahkan lebih muda dari saya. Tapi sebagai perempuan yang bukan difabel, yang melihat dan dianggap bisa mandiri berkegiatan di luar rumah, tante saya diizinkan ke mana-mana. Urusannya di luar rumah selalu dianggap lebih penting dari pekerjaan domestik keluarga.
Sementara saya, karena saya adalah difabel, meski sedang sekolah dan berorganisasi, orang tua selalu berpikir urusan saya di luar rumah tidak lebih penting dari pekerjaan-pekerjaan di rumah. Setiap kali ingin meminta izin untuk keluar rumah, saya akan gugup sekali, seolah-olah saya ingin bepergian ke tempat-tempat yang salah. Itu karena sejak awal, semenjak saya berusia empat belas tahun saya menjadi buta, orang tua selalu berpikiran bahwa saya tidak bisa menjadi apa-apa atau siapapun.
Mamak mungkin saja masih menaruh harapan pada saya, la sekali-kali memberikan izin. Tapi bapak, yang tumbuh di lingkungan yang benar-benar patriarchal, memiliki anak perempuan saja sudah menjadi beban untuknya. Apalagi anak perempuan yang difabel. Bapak beranggapan bahwa memiliki anak difabel berarti anak tersebut tidak bisa dan tidak boleh keluar rumah sehingga tidak mungkin punya masa depan, dan itu artinya tidak memiliki harapan apa-apa lagi.
“Dalam konteks pergerakan disabilitas/difabilitas, kita sering bertanya; kalau putri-putri Disney itu adalah difabel, masihkah mereka akan ditonton orang-orang? Memang ada persoalan juga dalam hegemoni cara berpikir, atau hegemoni pengetahuan patriarkhal, tentang “kenormalan” misalnya. Sampai sekarang kita juga masih berdebat masalah Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS) dan lain-lain,” ungkap Ishak lebih lanjut.
Begitulah, cantik atau tampan, seringkali direpresentasikan sangat jauh dari perspektif difabel. Saya setuju dengan Ishak, bahwa hal ini terjadi karena dalam buku-buku pelajaran, dalam dongeng semasa kecil hingga sekarang dan di kehidupan lebih luas lagi kita diberikan definisi cantik yang tidak merepresentasikan difabel.
Melangkah ke isu yang lebih kontroversial terkait gender, yaitu isu transgender, homoseksualitas atau yang biasa disebut LGBT, dan sebagainya. Dalam diskusi tersebut disampaikan, semua orang tidak bisa memilih dengan jenis kelamin apa dia terlahir dan gender apa mereka nantinya atau gender apa yang dipilih. Tapi kemudian, ketika dia besar dan memiliki ketertarikan seks pada sesama jenis, dia akan disalahkan.
Saya tidak bisa membahas poin terakhir ini lebih dalam, tapi yang perlu ditegaskan, hubungan isu-isu tersebut dengan isu difabilitas sangat kompleks. Stigma yang melekat pada difabel adalah bahwa difabel, tidak peduli beragama apa, adalah manusia yang suci. Sementara masalah LGBT, dianggap bertentangan dengan ajaran-ajaran agama. Lalu, bagaimana jika ada seorang difabel, yang biasanya dianggap suci, ternyata seorang homoseksual? Bagaimana jika ada perempuan difabel yang suka pada teman perempuannya?
Belum banyak orang yang memikirkan masalah ini, bagaimana difabel bisa memilih ketertarikan seksual dan seksualitasnya secara bebas. Cara berpikir ini merupakan cara berpikir yang mainstream dalam masyarakat kita; mungkin banyak orang yang merasa ini tidak penting. Banyak yang berpikir, difabel dan transgender sama sekali tidak bisa disatukan; keduanya adalah dua entitas yang jauh jaraknya, tidak punya keterkaitan. Tapi ini sebenarnya menarik untuk dibahas; sangat perlu orang-orang mulai berpikir untuk memenuhi hak difabel dalam hal memilih ketertarikan atau orientasi seksualnya.
Saya senang dengan diskusi seperti dilakukan LETSS Talk yang menyentuh keterkaitan antara isu difabel dan isu seksualitas. Saya berharap diskusi semacam ini lebih banyak lagi dilakukan agar semakin banyak orang yang sadar bahwa difabel dan gender atau seksualitas adalah hal yang berkaitan. Selain itu, saya juga berharap dengan diskusi ini kawan-kawan difabel juga merasa terpanggil untuk mengambil hak-hak mereka untuk bersuara, memilih jalan hidup, dan atau bahkan memilih ketertarikan seksual dan seksualitasnya secara bebas dan bertanggungjawab.
Pingback: Mengurai Relasi Disabilitas dan Seksualitas – Pergerakan Difabel Indonesia untuk Kesetaraan [PerDIK]