
Dr. Wisnu Adihartono dok. pribadi
Dr. Wisnu Adihartono
Sosiolog dan Peneliti Lepas di École des Hautes Études en Sciences Sociales (EHESS) atau School of Advanced Studies of Social Sciences, Laboratorium Centre Norbert Elias, Prancis
Tulisan ini merupakan excerpt dari disertasi saya di École des Hautes Études en Sciences Sociales (EHESS) atau School of Advanced Studies of Social Sciences, laboratorium Centre Norbert Elias, Prancis, Departemen Sosiologi di mana saya kuliah dari 2010 hingga 2015. Disertasi saya berjudul Migration et soutien familial: Le cas des gays Indonésiens à Paris (Migrasi dan Dukungan Keluarga: Kasus Gay Indonesia di Paris). Ada sekitar 150 gay Indonesia yang bermigrasi ke Paris karena mereka kecewa dengan diskriminasi dan kriminalisasi yang melibatkan pemerintah Indonesia. Beberapa dari mereka telah tinggal di Paris selama beberapa dekade dan juga ada beberapa dari mereka yang kesulitan berganti kewarganegaraan menjadi warga negara Prancis.
Penelitian ini adalah penelitian kualitatif ‘murni.’ Mengapa saya menggunakan kata ‘murni’ di belakang kata ‘kualitatif’? Saya termasuk salah seorang yang sangat menentang penelitian tentang perilaku manusia dengan pendekatan angka karena perilaku manusia tidak dapat dihitung dengan angka. Penelitian kualitatif juga menjadi mekanisme menjalin hubungan baru dengan semua orang, termasuk dengan komunitas gay, lesbian dan transgender. Di luar kegiatan penelitian, di akhir pekan, kami pergi untuk sekadar minum kopi untuk mengobrol, bertukar pikiran, dan saling berbagi pengalaman tentang cinta, persahabatan, kondisi keluarga, dan lain-lain. Sebagai teman, saya mencoba mendengar semua obrolan mereka. Salah satu curhat favorit adalah menyangkut keberadaan mereka sebagai gay di Indonesia di mana negara masih melihat homoseksualitas sebagai ancaman moral yang dapat menyebar dan berdampak buruk dari generasi ke generasi.
Momen ngobrol dengan teman-teman gay menjadi metode penting menerapkan paradigma naturalis dalam penelitian kualitatif. Paradigma naturalis bukan naturalisme yang dikonstruksi para ilmuwan eksakta. Paradima naturalis dalam hal ini adalah bagian dari disiplin humaniora yang mengeksplorasi “makna sosial.” Secara ontologis, mereka yang berada dalam naturalisme ilmu sosial memiliki orientasi untuk mengkaji kehidupan sosial dalam pengaturan alami, tanpa campur tangan manipulasi ilmiah. Dalam pandangan mereka, kebenaran keluar dari “mulut individu.” Pengetahuan, kebenaran, dan realitas sosial merupakan hasil interaksi dan konstruksi dari pribadi sebagai manusia. Kelompok Naturalis percaya bahwa realitas ada dalam pikiran manusia.
Berdasarkan perspektif ini, saya menggunakan analisa situasi (situational analysis) yang menggambarkan dan menginterpretasikan situasi dan masalah dari aktor utama. Di saat yang sama, penting untuk menggunakan analisa relasional (relasi) untuk mengetahui hubungan interpersonal antara orang-orang dengan perasaan, keintiman dan emosi serta analisa psikologi yang mendalami tentang sikap, perasaan, keyakinan, motivasi, dan nilai-nilai.
Terlepas dari ketiga analisa di atas, saya juga melihat dengan perspektif historis yang bertujuan untuk memahami situasi peristiwa masa lampau dan terkini. Saya menggunakan pendekatan wawancara semi terstruktur. Jenis wawancara ini menggunakan panduan dengan pertanyaan dan topik yang harus ditanyakan. Dalam setiap subyek, pewawancara bebas untuk memimpin percakapan dengan mengajukan pertanyaan dan mencari klarifikasi jika jawaban tidak jelas. Dalam bentuk ini, lawan bicara memiliki banyak kebebasan untuk menjawab pertanyaan. Tujuan dari wawancara ini adalah untuk mendorong lawan bicara supaya bisa berbicara dengan kata-katanya sendiri. Agar lawan bicara dapat berbicara dengan bebas, saya menggunakan pertanyaan terbuka yang memungkinkan lawan bicara (responden/partisipan penelitian) untuk menjawab dengan menggunakan kata-katanya sendiri dan saya membebaskan mereka untuk menggunakan aksen formal atau non-formal seperti penggunaan kata gue, lu, bok, cin, mak, dll.
Penelitian ini dimulai dengan kajian historis tentang Bissu di Sulawesi Selatan, Warok Gemblak di Jawa Timur, tari Rateb Sadati Aceh, dan Serat Centhini. Pada bagian ini saya hanya ingin memperlihatkan kepada pembaca bahwa betapa tingginya toleransi masyarakat Indonesia yang dahulu masih bernama Nusantara pada keragaman gender dan seksual. Lalu saya beralih kepada isu inti dari penelitian saya, yakni tentang migrasi, diaspora, dan hubungan atau lebih tepat dan spesifik, dukungan keluarga dalam konteks para gay Indonesia di Paris.
Bagaimana Para Gay Indonesia Menafsirkan Migrasi?
Mereka menafsirkan kata ‘migrasi’ dengan cara yang sangat berbeda. Pengalaman sebagai migran gay tidaklah mudah. Sebelum meninggalkan Indonesia, mereka harus mencari tahu negara mana yang ramah LGBTIQ+ dan karena itu menghabiskan sebagian uang mereka untuk membeli pulsa atau menggunakan jasa warnet. Banyak dari mereka berasal dari keluarga berpenghasilan rendah, sehingga menghabiskan begitu banyak uang adalah persoalan yang sulit. Sesampainya di Paris, kehidupan mereka biasanya juga tidak berjalan mulus. Prancis adalah negara yang mewajibkan pendatang untuk belajar bahasa Prancis dengan minimal level A2. Bukan hanya bahasa Prancis yang menjadi penghalang tetapi proses administrasi yang rumit juga harus mereka hadapi.
Secara sederhana, kata ‘migrasi’ dapat diartikan sebagai ‘perpindahan populasi musiman manusia antar wilayah.’ Mereka yang tidak bisa mengekspresikan gender dan seksualitasnya di Indonesia, kini bisa mengekspresikannya di Prancis. Mereka bisa, misalnya, berdandan dan berperilaku feminin. Mereka juga bisa memanjakan pasangannya di depan umum. Namun, ada juga migran gay yang tidak mendapatkan kesempatan untuk mengekspresikan diri. Meskipun mereka mungkin merasa beruntung bisa bermigrasi, mereka harus bekerja sangat keras karena kemampuan ekonomi pasangan mereka yang terbatas.
Satu responden memaknai migrasi sama dengan diaspora. Pemahamannya sama dengan definisi diaspora dari William Safran, yaitu sebuah komunitas (1) yang tersebar (2) yang mempertahankan ‘memori,’ visi atau mitos tentang tanah air asal mereka, (3) yang percaya bahwa mereka tidak –-dan mungkin tidak dapat-– diterima sepenuhnya oleh negara tuan rumah mereka, (4) yang melihat rumah leluhur sebagai tempat ideal untuk kembali ketika ada waktu yang tepat, dan (5) yang berkomitmen untuk tetap memelihara tanah air mereka. Hananto, tentang migrasi yang menyerupai diaspora mengatakan bahwa:
“Migrasi sama saja dengan diaspora. Setiap orang akan pergi ke negara tujuan dan sesampainya di sana, mereka akan melakukan diaspora, baik dengan masyarakat setempat maupun dengan orang-orang yang datang dari tanah airnya. Bagi saya, melakukan diaspora adalah sesuatu yang bisa dikatakan sulit tetapi juga bisa dikatakan sangat mudah. Dalam melakukan diaspora, tergantung siapa yang melakukannya dan kepada siapa mereka melakukannya. Intinya, apakah orang tersebut mudah melakukan diaspora atau tidak. Misalnya, saya punya teman gay Indonesia yang sangat sulit bergaul dengan orang Indonesia. Dia selalu punya alasan untuk tidak mau diajak bertemu dan belakangan saya tahu dia punya pasangan orang Prancis yang sangat kaya. Begitu pula dengan migrasi. Dalam migrasi, orang berpindah dari satu tempat ke tempat lain tetapi apakah mereka juga menyukai ketika mereka melakukan diaspora? Tentu ada yang suka dan ada yang tidak suka. Seperti saya, saya tidak suka teman gay Indonesia yang saya sebutkan. Dia terlihat sangat sombong dan menurut saya, dia sama sekali tidak mau bergaul dengan teman-teman Indonesianya. Bagi saya diaspora adalah sekelompok orang yang datang dari berbagai belahan dunia dan mereka melakukan sesuatu sesuai dengan perilaku masyarakat setempat. Dalam diaspora, kita secara sadar atau tidak sadar meniru perilaku masyarakat setempat dan dalam peniruan itu ada yang suka dan ada juga yang tidak suka. Dalam migrasi, ada perpindahan dan perpindahan ini juga bisa dituding sebagai perpindahan yang tidak disukai atau disukai oleh masyarakat setempat, bahkan di diaspora juga ada yang seperti itu. Migrasi dan diaspora tidak dapat dipisahkan pada abad ini karena migrasi mempengaruhi diaspora dan begitu juga sebaliknya.”
Bagaimana Cara Gay Indonesia Bermigrasi ke Paris?
Pertama-tama yang harus kita pahami dari penelitian saya adalah isu imajinasi yang terlintas dalam pikiran mereka. Bagi para gay Indonesia, migrasi sangat terkait dengan mencari lingkungan yang lebih permisif. Lingkungan yang liberal di kota-kota besar sangat penting bagi komunitas gay untuk membangun dan mengeksplorasi identitas homoseksual mereka. Dalam hal ini, kita dapat melihat bahwa imajinasi memainkan peran penting dalam mempengaruhi alasan mereka untuk pindah ke Paris. Oleh karena itu, penting untuk berbicara di sini tentang hubungan antara “daerah perdesaan” yang bagi mereka dinamakan sebagai Indonesia dan “daerah perkotaan” atau Prancis. Ketika para gay Indonesia bermigrasi ke Paris, imajinasi mereka terbuka sangat lebar karena Paris juga disebut sebagai kota yang ramah terhadap gay (gay-friendly city) sehingga rangsangan untuk “come out of the box” menjadi sangat kuat.
Reputasi Paris dibuktikan dalam literatur, seni, dan dalam kehidupan sehari-hari. Paris juga terkenal karena mempersonalisasi citra kebebasan. Paris lah yang dielu-elukan oleh Victor Hugo sebagai “kota yang tak tertandingi.” Paris dijuluki sebagai ruang publik yang terbuka, yang mendorong perjumpaan antar individu yang berbeda asal, kelas, budaya, agama, dan ras. Kota Paris dianggap sebagai kota yang cukup ideal untuk mengekspresikan homoseksualitas. Dengan kata lain, ruang bagi gay selalu ada dan terorganisir. Simbolisasi dari homoseksual memungkinkan seorang gay untuk coming out seperti di distrik Marais. Banyak gay Indonesia yang berpikir bahwa tinggal di Paris adalah “surga.” Kota Paris sebagai kota tempat para gay Indonesia “melarikan diri,” menjadi tempat di mana mereka dapat menghindari tekanan. Proses migrasi kelompok gay tentunya tidak lepas dari proses globalisasi.
Secara umum, globalisasi dapat digambarkan sebagai proses percepatan bidang kegiatan manusia. Globalisasi telah membuka interaksi antara berbagai bidang dari kehidupan manusia. Globalisasi bersifat dinamis dan tidak statis. Berkat dinamisasi ini, migrasi tidak dapat dihindari karena tidak adanya batas-batas politik, sosial, budaya, dan ekonomi. Pendekatan sosiologi migrasi telah menjelaskan apa itu faktor penarik (pull factor) dan faktor pendorong (push factor). Secara psikologis, “mitos Paris” sebagai “kota yang ramah gay” memberi pengaruh besar untuk “bergerak” dan “menetap” di Paris. Mereka tertarik pada daya tarik suatu negara yang dapat memberikan perbaikan kehidupan. Sedangkan jika mereka terus tinggal di Indonesia sebagai gay atau sebagai “warga negara kelas dua,” mereka akan hidup di dunia yang penuh dengan tekanan dan ancaman. Akibatnya, akan semakin masuk akal jika mereka memutuskan untuk bermigrasi keluar dari Indonesia.
Terdapat dua cara bagaimana para gay Indonesia dapat melakukan migrasi ke Paris. Yang pertama adalah dengan cara berpura-pura untuk melanjutkan sekolah. Dari 25 responden, saya menemukan hampir setengah dari responden saya yang melakukan hal tersebut. Pertama-tama mereka belajar bahasa Prancis terlebih dahulu di Institut Français d’Indonésie (IFI) Jakarta dan kemudian dengan berjalannya waktu mereka mencari-cari info untuk melanjutkan sekolah di Paris, dengan atau tanpa beasiswa. Mereka secara ‘mati-matian’ melakukan semuanya agar dapat meninggalkan Indonesia untuk pergi ke Prancis. Cara kedua adalah berpura-pura untuk mencari kerja di Prancis. Sebagaimana kita ketahui bahwa untuk mendapatkan pekerjaan di Prancis, mereka diharuskan untuk memperoleh surat rekomendasi. Siapa yang memberikan surat rekomendasi tersebut? Yang memberikannya adalah pasangan atau partner mereka di Prancis. Mereka telah berbohong bahwa yang memberikan surat rekomendasi tersebut adalah temannya atau rekan kerjanya. Saya menyadari bahwa penelitian ini memang dikhususkan bagi gay kelas menengah dan TIDAK meneliti bagaimana keadaan gay kelas bawah. Hal ini terlihat bahwa gay yang saya teliti memiliki kemampuan finansial tersendiri untuk kursus bahasa Prancis dan pergi ke Prancis meskipun tanpa beasiswa.
Bagaimana Cara Gay Indonesia Melakukan Diaspora?
Sesampainya mereka di Paris, setelah mereka melakukan administrasi, bersekolah atau bekerja, mereka merasakan apa yang disebut dengan “feeling at home.” Dalam penelitian ini, saya mengobservasi lima “feeling at home” yang mereka rasakan.
Pertama adalah “feeling at home” ketika mereka berada di Paris. Menurut Duyvendak, rumah adalah tempat ‘untuk menjadi’ – tempat yang begitu akrab sehingga terasa hampir seperti tempat yang ‘alami.’ Mereka merasa nyaman dan aman. Istilah tentang “kepemilikan” menunjukkan bahwa ketika orang merasa terpinggirkan atau terancam, mereka mulai melihat tempat-tempat lain di mana mereka dapat merasakan kebebasan untuk mengekspresikan diri mereka. Dalam hal ini, pengertian “kebebasan” merupakan komponen imajinasi yang sangat kuat. Dengan kebebasan, mereka merasa bahwa Paris telah menjadi rumah mereka sendiri.
Kedua adalah “feeling at home” ketika mereka berkunjung ke bar atau kedai kopi dengan bendera pelangi di depannya. Kita dapat melihat di sini bahwa mereka menyukai Paris dari sudut pandang kebebasan karena mereka berpikir bahwa mereka tidak akan pernah menemukan kebebasan seperti itu di Indonesia. Dalam hal ini, perasaan “feeling at home” juga dirasakan oleh mereka selama mereka mengunjungi bar atau kedai kopi yang dikhususkan untuk gay. Bar atau kedai kopi tersebut dianggap sebagai tempat penerimaan dan digunakan sebagai pelarian dari budaya heteronormatif yang dominan. Keberadaan bar atau kedai kopi dapat dijadikan sebagai bentuk “privasi” di mana mereka dapat menunjukkan identitas seksual dan performa pribadi mereka sebagai sebuah subyek, serta ruang keintiman di mana identitas mereka dapat diekspresikan dan diimplementasikan.
Ketiga adalah “feeling at home” ketika mereka berpartisipasi dalam gay pride. Selain sering mengunjungi bar dan kedai kopi, perasaan “feeling at home” ditunjukkan dengan partisipasi dalam gay pride. Kita semua tahu bahwa setiap tahun (umumnya pada bulan Juli sampai September) beberapa negara di Eropa mengadakan gay pride. Acara ini diselenggarakan untuk merayakan kebebasan identitas seksual dan untuk mengekspresikan diri mereka untuk memprotes semua orang yang mempraktikkan homofobia. Mereka turun ke jalan untuk sekedar mengikuti parade atau hanya di pinggir jalan meneriakkan kesetaraan gender dan persamaan hak. Uniknya para gay Indonesia yang mengikuti parade memakai baju-baju tradisional Indonesia yang dikombinasikan dengan berbagai macam ornamen-ornamen yang khas barat.
Keempat adalah turut mengimajinasikan keberadaan mereka dalam mendukung Pakta Solidaritas Sipil (PaCS). Setelah 10 tahun perdebatan mengenai PaCS, akhinya Pakta solidaritas sipil diundangkan pada tanggal 15 November 1999 dan ditandatangani oleh Perdana Menteri, Lionel Jospin dan tidak kurang dari tujuh menteri: Martine Aubreu (Kementerian Pekerjaan dan Solidaritas), Élisabeth Guigou (Kementerian Kehakiman), Jean-Pierre Chevènement (Kementerian dAlam Negeri), Hubert Védrine (Kementerian Luar Negeri), Christian Sautter (Kementerian Keuangan dan Industri), Jean-Claude Gayssot (Kementerian Transportasi), Émile Zuccarelli (Kementerian Reformasi Negara).
Pasal pertama dari Undang-undang baru yang meliputi lima belas pasal menyatakan bahwa Pakta Solidaritas Sipil adalah perjanjian yang dibuat oleh dua orang dewasa, dari jenis kelamin yang berbeda atau dari jenis kelamin yang sama untuk mengatur kehidupan mereka bersama. Oleh karena itu, PaCS jelas ditujukan untuk mereka yang tidak ingin menikah, akan tetapi PaCS melarang untuk hubungan yang dianggap sedarah. PaCS dapat diakhiri dengan persetujuan bersama atau secara sepihak dengan surat sederhana. PaCS secara otomatis berakhir jika setidaknya salah satu pasangan menikah atau meninggal dunia. Statistik bergerak naik untuk PaCS. Sejak tahun 2001, jumlah mereka yang mengikuti PaCS tumbuh dengan stabil hingga tahun 2004, dengan tingkat tahunan yang berkelanjutan sebesar 24 hingga 29%. Tahun 2005 ditandai dengan rekor jumlah 60.473 tanda tangan.
Kelima adalah pengalaman-pengalaman mereka dalam menjadi gay di Prancis. Sebenarnya isu ini tidak termasuk dalam diaspora akan tetapi tetap saya masukkan karena menyangkut hidup mereka di Paris. Kebanggaan menjadi seorang gay dan menjadi gay yang seutuhnya adalah perasaan gay Indonesia yang tidak pernah mereka rasakan ketika mereka tinggal di Indonesia. Gay Indonesia memiliki rasa malu untuk mengungkapkan dirinya bahwa mereka adalah seorang gay karena menjadi seorang gay di Indonesia akan dihina oleh publik. Seorang gay tidak saja dikriminalisasi tetapi juga dianggap sebagai penyakit atau masuk dalam kategori patologis. Apa yang mereka inginkan dalam hidup adalah kebanggaan menjadi seorang gay, tanpa tekanan sosial dan politik. Mereka ingin dihargai sebagai seorang gay oleh masyarakat. Dengan kata lain, mereka ingin menjadi gay yang seutuhnya karena semua orang dilahirkan bebas dan sama.
Apa itu Joyful Migration?
Joyful migration adalah sumbangan yang saya berikan untuk studi migrasi. Joyful migration dilatarbelakangi oleh konsep dari lifestyle migration oleh O’Reilly dan Benson. Lifestyle migration didefinisikan sebagai mobilitas spasial individu dari segala usia, baik yang berpindah paruh waktu atau penuh waktu ke tempat-tempat yang bermakna karena menawarkan potensi kualitas hidup yang lebih baik. Menurut mereka berdua, lifestyle migration adalah tentang melarikan diri dari suatu tempat untuk memenuhi kebutuhan dirinya seperti untuk menemukan kembali dirinya sendiri dari potensi pribadi seseorang atau kelompok masyarakat. Itulah mengapa migrasi menjadi sebuah kebutuhan bagi gay Indonesia karena seperti “keluar dari jebakan”. Dan mengapa setelah saya membaca definisi lifestyle migration lalu saya menyumbangkan sebuah definisi baru dalam studi migrasi yaitu joyful migration.
Melihat dari definisi lifestyle migration, kata joyful yang saya letakkan di belakang kata migrasi menandakan bahwa para gay Indonesia melakukan migrasi ke Paris dengan perasaan gembira. Meskipun mereka ada yang merasakan kesedihan karena meninggalkan Indonesia tetapi di lubuk hati mereka yang paling dalam, mereka sangat senang karena dapat meninggalkan Indonesia untuk menjadi gay yang seutuhnya di Paris. Joyful migration membuat mereka lebih bahagia. Istilah gay seutuhnya saya identifikasi sebagai bagian dari mereka yang diinginkan, diterima dan dipahami. Menjadi gay seutuhnya berarti “Saya gay” dan “Saya bangga menjadi gay”. Dalam hal ini, mereka tidak menginginkan situasi yang palsu. Mengunjungi bar atau kedai kopi, berpartisipasi dalam gay pride dan bagaimana mereka melihat PaCS menjadi salah satu indikator bahwa mereka nyaman bermigrasi dan bertahan di Prancis dan dalam hal ini di Paris.
Joyful migration dapat didefinisikan sebagai pergerakan orang (khususnya ke luar negeri) berdasarkan imajinasi akan masyarakat dan keindahan negara tempat yang akan mereka tinggal. Pada akhirnya, begitu mereka pindah dan menetap di negara yang mereka bayangkan, mereka biasanya merasa bahagia. Mereka tidak memiliki status sebagai pengungsi atau niat mencari suaka karena ingin kembali segera ke negara asal asalkan pemerintah dan masyarakat di negara asal mengubah kebijakan-kebijakannya. Joyful migration bagi gay Indonesia sangat berbeda dengan migrasi paksa yang telah didefinisikan sebagai orang yang terpaksa meninggalkan negara mereka atau wilayah di dalam negara mereka karena adanya konflik, penganiayaan, atau bencana lingkungan seperti kekeringan, banjir, atau kelaparan. Joyful migration didasarkan pada imajinasi. Dalam hal ini, Paris adalah kota imajiner dan menjadi mantra bagi mereka. Sebagai imajinasi, mereka harus “menghadirkan” Paris dalam hidup mereka.
Perbedaan signifikan antara joyful migration dan migrasi paksa adalah kondisi para migran itu sendiri setelah mereka menetap di negara yang dipilih. Migran dalam joyful migration merasa lebih bahagia, bebas, dan permanen daripada migran dalam migrasi paksa. Pada migrasi paksa, mereka dipaksa untuk segera pindah tanpa mengembangkan imajinasi tentang negara yang akan mereka tempati, sedangkan migran yang tergolong dalam kategori joyful migration justru pergi karena mereka memimpikan negara yang mereka ingin tinggali. Hal ini mempengaruhi kondisi psikologis para migran. Di dalam disertasi ini, saya menemukan bahwa sebelum mereka pindah ke Paris, mereka memiliki imajinasi untuk berkunjung ke Paris dengan mengunjungi Menara Eiffel, Louvre, melakukan french kiss dengan orang Prancis, Champs-Elysées, dan lain-lain.
Perbedaan lain yang bisa dicatat adalah mereka tidak mau mencari suaka dengan cara apa pun. Dalam kasus joyful migration, mereka tidak berstatus pengungsi. Pada dasarnya, mereka ingin kembali ke negara asal mereka dan mereka masih mempertahankan kewarganegaraan mereka, meskipun ada beberapa yang sudah berganti kewarganegaraan. Mereka masih berusaha sekuat tenaga untuk bisa kembali ke negara asalnya selama sistem di negara mereka baik dan aman. Sebagai gay Indonesia, mereka selalu ingin kembali ke Indonesia. Mereka sangat merindukan negaranya. Mereka selalu bermimpi suatu hari nanti negara akan dapat menjamin hak-haknya tanpa diskriminasi. Secara politis, mereka bukanlah pengungsi seperti migran yang dipaksa bermigrasi.
- Bagaimana para gay Indonesia mendapatkan dukungan keluarga dari Indonesia?
- Kontribusi terhadap studi rasisme
- Kontribusi terhadap studi transnasionalisme
Di sini saya menggunakan konsep dukungan sosial. Istilah dukungan keluarga merupakan salah satu bentuk dukungan sosial. Dukungan keluarga adalah sebuah istilah generik yang mencakup berbagai intervensi di semua dimensi. Karena bersifat “intervensi di semua dimensi” maka keberagaman ini menunjukkan bahwa dukungan keluarga bukan merupakan kegiatan yang homogen melainkan heterogen. Dalam konteks keluarga, kebanyakan tindakan dukungan sosial dapat diklasifikasikan ke dalam salah satu dari tiga kategori yaitu dukungan afektif (ditandai dengan ekspresi diri, cinta, minat, dorongan, penghargaan, rasa hormat, dan simpati), dukungan instrumental (berfokus pada dukungan yang bersifat nyata dan material, seperti memberikan uang, memberikan pekerjaan atau sumber daya fisik apa pun), dan dukungan informasi (berfokus pada penyediaan pengetahuan yang dapat membantu individu untuk meningkatkan efisiensi mereka dalam menanggapi atau menghasilkan solusi untuk suatu masalah. Dalam hal ini, dukungan informasi digabungkan melalui penyediaan reaksi timbal balik, nasihat, saran, dan arahan).
Dalam kasus penelitian saya, jika kita kembali ke prinsip timbal balik antara dua pihak, kita dapat melihat bahwa orang tua telah dikondisikan sebagai penyedia, sementara anak-anak mereka dikondisikan sebagai yang menerima. Dukungan keluarga berhubungan dengan kepuasan hidup, kesehatan, dan suasana hati. Mereka mendukung satu sama lain untuk berbagi perasaan. Sebaliknya, anak yang tidak mendapat dukungan sosial dari keluarganya akan berada dalam keputusasaan dan bahkan depresi. Dalam penelitian saya, hal ini sering menimbulkan konflik keluarga karena orang tua biasanya mengharuskan mereka untuk menjadi “laki-laki” dan “memasuki” masyarakat yang heteroseksual dengan mengubah orientasi seksual mereka. Akibatnya, para gay Indonesia sering berstrategi dengan berbagai cara secara sembunyi-sembunyi untuk menghindari penolakan oleh keluarga.
Dalam penelitian ini, ke 22 gay Indonesia masih berhubungan dengan orang tua dan keluarga di Indonesia dengan dukungan media sosial, seperti Facebook. Ada beberapa dari mereka yang masih menyembunyikan preferensi seksual mereka tetapi ada pula dari mereka yang sudah berani mengekspresikan orientasi seksual mereka kepada orang tua dan keluarga. Mereka yang sudah berani biasanya sudah hidup di Paris hampir belasan dan puluhan tahun, sementara bagi mereka yang belum berani, mereka masih hidup di Paris dalam kurun waktu 5 tahun dan mereka mengatakan bahwa pada akhirnya mereka ingin mengekspresikan diri mereka sebagai seorang gay tetapi entah kapan. Sementara itu, ketiga responden saya, mereka dengan sengaja telah memutuskan hubungan keluarga karena keluarga mereka sangat malu memiliki anak yang merupakan seorang gay. Hubungan keluarga mereka diputuskan oleh keluarga mereka sendiri secara tidak langsung tetapi ketika mereka berkunjung ke Jakarta untuk berlibur, keluarga mereka tidak menerimanya kembali. Ketika saya mewawancarai, mereka terlihat sangat sedih dan terpukul sehingga responden saya membutuhkan waktu berminggu-minggu untuk dapat menceritakan kembali. Bahkan terdapat satu responden saya yang membutuhkan waktu satu setengah bulan hanya untuk bercerita mengenai hubungan keluarganya.
Mendapatkan dukungan keluarga adalah suatu kebahagiaan. Dalam dukungan keluarga terjadi integrasi antara orang tua dan anak karena salah satu fungsi dukungan keluarga adalah untuk meningkatkan pengaruh positif. Dalam hal ini, dalam keluarga yang terintegrasi diperlukan adanya komunikasi yang baik di mana setiap individu dapat menciptakan dan berbagi makna. Untuk mencapai keluarga yang terintegrasi, komunikasi yang baik bertumpu pada intersubyektivitas. Selain itu, komunikasi yang baik juga membutuhkan umpan balik agar dapat berjalan dengan baik. Oleh karena itu, dalam keluarga yang terintegrasi, anggota keluarga seharusnya meningkatkan aktivitas komunikasi.
Di sisi lain, bagi mereka yang tidak memiliki dukungan keluarga, mereka akan mengalami disintegrasi. “Malu” adalah pernyataan sentral dalam keluarga yang saya lihat sebagai masalah disintegrasi. Dalam hal ini, orang tua sangat malu untuk memiliki anak yang gay karena anak mereka telah menjadi seperti orang “sakit” di masyarakat. Dalam konteks Asia Tenggara, perasaan “malu” terjadi secara otomatis dan dikombinasikan dengan “budaya” dan “tradisi”. Akibatnya orang tua lebih tertekan oleh tekanan dari masyarakat. Penolakan lebih terjadi ketika seorang anak yang gay hidup dalam keluarga yang religius. Sebuah keluarga dengan keyakinan agama yang kuat sering mendukung pandangan agama mereka, bahkan terhadap anggota keluarga. Beberapa gay Indonesia yang berasal dari keluarga religius biasanya tidak ingin menunjukkan preferensi seksualnya. Untuk mencapai win-win solution, orang tua biasanya membuat “zona demiliterisasi” di mana kedua belah pihak setuju untuk menangguhkan konflik. Pada akhirnya, keberadaan “zona demiliterisasi” dapat menyebabkan disintegrasi keluarga. Dengan kata lain, disintegrasi tidak dapat dihindari.
Konstruksi yang diterapkan pada anak laki-laki dalam masyarakat Indonesia merupakan proses yang dipengaruhi agama dan konstruksi sosial maskulinitas yang di-enforce berulang-ulang dalam kehidupan sehari-hari. Dalam hal ini, heteroseksualitas merupakan inti dari maskulinitas. Melalui heteroseksualitas, anak laki-laki diharapkan dapat menunjukkan maskulinitasnya. Konsekuensinya membawa kita pada konsep stereotipe yang dipengaruhi oleh konsep “sistem kepercayaan gender” di mana laki-laki dan perempuan dihomogenkan, dianggap bukan sebagai individu tetapi sebagai tipe. Dalam situasi ini, semua laki-laki diharapkan untuk menyesuaikan diri dengan maskulinitas. Oleh karena itu di Indonesia, seorang gay biasanya tidak dikategorikan sebagai “laki-laki” yang memiliki karakter maskulin karena bagi masyarakat Indonesia, gay selalu dicap tidak normal dan sakit. Selain itu, mereka disebut sebagai “teroris moral” karena menjadi seorang gay dapat menjadi ancaman.
Selain maskulinitas, agama dalam hal ini Islam, juga menjadi salah satu masalah terbesar gay di Indonesia, terutama ketika menghubungkan agama dan pernikahan. Pernikahan memiliki fungsi menghormati norma-norma yang dominan dalam kehidupan sosial, oleh karena itu norma heteroseksual mengutuk homoseksualitas karena dapat mengganggu struktur kehidupan sosial yang dominan. Pertanyaan tentang pernikahan menjadi pertanyaan yang sangat menakutkan bagi para gay Indonesia. Jika mereka tidak ingin menikah, ada kemungkinan mereka akan ditolak oleh keluarganya. Kewajiban untuk menikah dianggap sebagai sesuatu yang paling sulit dan memberatkan bagi kaum homoseksual karena keluarga dan masyarakat masih memegang impian tentang kehidupan ideal. Oleh karena itu, untuk menyembunyikan preferensi seksual mereka, mereka menjadi “homoseksual terselubung”. Homoseksual tipe ini selalu merahasiakan preferensi seksualnya kepada semua orang.
Disertasi ini berulang kali menyebutkan bahwa posisi kelompok gay di Indonesia secara keseluruhan kurang bagus. Mereka telah didiskriminasi dan bahkan dikutuk karena orientasi seksual mereka dan termasuk dalam kelompok marjinal atau minoritas. Salah satu kontribusi akademik disertasi ini, khususnya untuk pengembangan kajian LGBT di Indonesia adalah bahwa diskriminasi terhadap kelompok LGBT dapat dianggap sebagai bentuk rasisme. Ideologi rasis tidak selalu didasarkan pada perbedaan warna kulit, asal ras atau etnis. Memang benar bahwa kata “ras” selalu dikaitkan dengan warna kulit, akan tetapi dalam studi rasisme kontemporer kata ras adalah konsep budaya. Selama ini masyarakat Indonesia tidak menyadari akan hal itu bahwa permusuhan terhadap kelompok LGBT juga menjadi bentuk dari rasisme. Ideologi rasis tidak selalu didasarkan pada klasifikasi fisik manusia. Studi rasisme kontemporer menyebutkan bahwa ras itu bukanlah konsep statis, yang akan memiliki makna tunggal. Oleh karena itu karena fluiditasnya, konsep ras dalam hal ini, dapat dikonstruksi secara sosial melalui “budaya”.
Kontribusi kedua saya adalah pada studi transnasionalisme. Transnasionalisme adalah kajian yang membahas tentang aktivisme global baik di ranah individu, dalam kelompok, atau dalam organisasi. Jika pengertian “internasional” mengacu pada kerangka negara-bangsa, maka transnasionalisme mengacu pada aktor non-negara yang terlihat lintas batas. Ketika mengacu pada hubungan yang berkelanjutan dan pertukaran yang sedang berlangsung di antara aktor non-negara yang berbasis lintas batas negara maka kita dapat mendefinisikannya sebagai praktik transnasional. Transnasionalisme juga ikatan yang sangat erat dengan banyak bidang, seperti arus modal, perdagangan, kewarganegaraan, perusahaan, badan antar pemerintah, organisasi non-pemerintah, politik, layanan, gerakan sosial, jaringan sosial, keluarga, migrasi, identitas, ruang publik, dan budaya publik. Disertasi ini melihat studi tentang migrasi yang dikombinasikan dengan keluarga. Penelitian yang mengamati keluarga dalam kerangka transnasionalisme atau dapat dikatakan sebagai keluarga transnasional masih cukup sulit ditemukan di Indonesia.
Konsep transnasionalisme dalam bidang migrasi diperkenalkan oleh sekelompok antropolog Amerika pada tahun 1992. Dengan terbitnya buku mereka yang berjudul Towards a Transnationalism Perspective on Migration, mereka benar-benar memulai diskusi baru tentang transnasionalisme dalam migrasi dan studi etnis. Transnasionalisme dalam migrasi didefinisikan sebagai para migran untuk menempa dan mempertahankan berbagai hubungan sosial dan menciptakan semacam ikatan antara masyarakat asal dan masyarakat tempat mereka menetap. Elemen penting dari transnasionalisme adalah multiplisitas partisipasi transnasional imigran (transmigran) baik di negara tuan rumah dan asal. Yang sangat menarik dalam penelitian tentang migrasi dan keluarga di Indonesia adalah munculnya keluarga transnasional sebagai model baru bentuk keluarga. Model ini dapat dicirikan oleh penyebaran keluarga secara geografis di suatu tempat. Sehingga definisi keluarga transnasional adalah keluarga [yang anggotanya] hidup sebagian atau sebagian besar waktunya hidup terpisah dari lainnya namun tetap bersatu dan menciptakan sesuatu yang dapat dilihat sebagai perasaan kolektif yaitu kekeluargaan, bahkan lintas batas negara”. Permainan rasa memiliki keluarga memiliki peran penting dalam keluarga transnasional. Sebagai bagian dari dukungan keluarga, komunikasi, interaksi dan keintiman para gay di Paris dan keluarganya di Indonesia merupakan aspek penting bagi keluarga transnasional.
Disertasi tentang migrasi, diaspora, dan dukungan keluarga pada para gay Indonesia di Paris menunjukkan bahwa mereka merasakan kesepian, depresi, pengucilan dari kurangnya kontak emosional dengan keluarga. Selain itu perasaan merasa ditinggalkan hingga marah juga ada di dalam perasaan mereka. Akan tetapi di sisi lain, mereka juga dapat merasakan kebahagiaan bahwa mereka masih dapat melakukan kontak secara emosional dan juga secara finansial dengan para anggota keluarga mereka di Indonesia. Sudah pasti dan jelas bahwa dengan pindahnya salah satu anggota keluarga maka hidup pasti akan berubah tetapi berkat sistem interaksi yang baik, disintegrasi keluarga dapat diminimalisir.