Pendidikan Bahasa Inggris yang Inklusif: Belajar dari Program ELTA

Penulis dan salah satu peserta difabel perempuan saat menerima penghargaan sebagai peserta terbaik program ELTA.

Penulis dan salah satu peserta difabel perempuan saat menerima penghargaan sebagai peserta terbaik program ELTA.

Oleh Suryandaru

(Difabel Netra; Peserta Program ELTA)

 

Tidak mudah bagi difabel, apalagi difabel perempuan, untuk bisa mendapatkan beasiswa agar bisa melanjutkan pendidikan ke luar negeri. Harus diakui, kesempatan untuk meningkatkan kemampuan Bahasa Inggris, apalagi Bahasa Inggris untuk kebutuhan akademik, yang inklusif sesuai kebutuhan difabel hingga saat ini masih belum begitu banyak. Padahal, kemampuan Bahasa Inggris merupakan salah satu syarat utama untuk mendaftar program beasiswa untuk sekolah ke luar negeri. Karenanya, sangat penting untuk memperbanyak program-program peningkatan Bahasa Inggris yang inklusif bagi difabel dan juga resposnif gender agar difabel perempuan bisa memiliki kesempatan meningkatkan kemampuan dalam Bahasa Inggris.

 

English Language Training Assistance atau  ELTA (www.australiaawardsindonesia.org/id/ELTA) merupakan program Pelatihan Bahasa Inggris yang diperuntukkan bagi warga negara Indonesia yang didanai oleh Pemerintah Australia dan dilaksanakan oleh Indonesia Australia Language Foundaition (IALF). Dua kelompok sasaran utama pelatihan ini adalah warga negara Indonesia bukan penyandang disabilitas yang berasal dari “geographic focus area” dan penyandang disabilitas dari seluruh provinsi di Indonesia yang memiliki potensi kemampuan  untuk  mendaftar beasiswa tingkat Master dari Australia Awards Scholarship (AAS), tetapi masih terkendala pada kemampuan berbahasa Inggris. Program ini diharapkan dapat meningkatkan kemampuan mereka sehingga bisa memenuhi persyaratan mendaftar AAS. Ketentuan atau kriteria “geographic focus area” mengalami perubahan dari tahun ke tahun sesuai perkembangan. Untuk tahun 2020, “geographic focus area” tersebut meliputi  Provinsi Papua, Provinsi Papua Barat, Provinsi Maluku, Provinsi Maluku Utara, Provinsi Nusa Tenggara Timur, dan Provinsi Nusa Tenggara Barat.

 

Dalam program ELTA ini, para peserta dibekali kemampuan berbahasa Inggris baik untuk kepentingan akademik maupun non akademik. Empat keterampilan berbahasa Inggris yang yang menjadi program ini meliputi kemampuan berbicara atau speaking, menulis atau writing, mendengar atau listening, dan membaca atau reading. Selain itu, kedisiplinan, kemandirian, berpikir kritis, menjawab IELTS agar mencapai nilai yang sesuai syarat untuk mendaftar AAS, dan  wawasan terkait kehidupan kampus di Australia juga diajarkan sebagai bekal bagi peserta. Namun Pemerintah Australia tetap memberi keleluasaan bagi para peserta untuk mendaftar beasiswa selain Australia Awards Scholarship

 

ELTA 2016 merupakan ELTA pertama yang inklusif bagi penyandang disabilitas. Terdapat dua lokasi penyelenggaraan ELTA 2016 di mana siswa disabilitas terlibat sebagai peserta, yaitu di Kota Denpasar, Bali  dan di Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat.

 

Pada ELTA 2016 ini,  peserta penyandang disabilitas sensorik netra ditempatkan di Kota Denpasar  dan penyandang disabilitas fisik dan sensorik rungu ditempatkan di Kota Mataram. Di kedua tempat tersebut, para peserta penyandang disabilitas belajar di kelas dengan sistem inklusif. Artinya, peserta yang bukan disabilitas dan yang disabilitas belajar dalam satu kelas yang sama. Saya merupakan salah seorang tunanetra peserta ELTA 2016. Oleh karena itu, tulisan ini akan fokus kepada ELTA yang diselenggarakan di Denpasar karena merupakan pengalaman saya sendiri.

 

Kesempatan mengikuti ELTA merupakan pengalaman yang sangat luar biasa bagi saya. Hal itu disebabkan, tunanetra dewasa ini masih sulit memperoleh kesempatan mendapatkan peluang belajar Bahasa Inggris, apalagi yang diarahkan untuk bisa mencapai target nilai IELTS sehingga mempunyai peluang untuk mendaftar AAS.

 

Di kelas kami terdapat 11 siswa dengan rincian, berdasarkan gender, yaitu enam orang laki-laki dan lima orang perempuan, dan berdasarkan disabilitas, rinciannya, lima orang penyandang disabilitas dan enam orang bukan penyandang disabilitas atau non difabel. Di antara kelima penyandang disabilitas tersebut terdapat empat orang laki-laki dan seorang perempuan.

 

Di kelas inklusif seperti ini, terdapat perbedaan dengan kelas yang umum, yaitu cara siswa mengakses materi dan mengikuti pelajaran yang diberikan. Oleh karena itu, pengajar pun dituntut mampu mengendalikan kelas dengan keanekaragaman peserta didiknya.

 

Perlu diketahui, peserta yang bukan disabilitas mengakses pelajaran dan materi secara visual dan pendengaran; peserta penyandang disabilitas sensorik netra seperti kami megikuti pelajaran dengan mengandalkan pendengaran saja, karena kami tidak mampu mempergunakan indra penglihatan. Selanjutnya untuk mengakses materi, kami mempergunakan komputer yang telah dilengkapi dengan software pembaca layar atau screen reader sehingga mampu mengkoversi teks ke suara (text to speech). Ini pun juga memerlukan indra pendengaran untuk mengaksesnya. Jadi kami harus menggunakan satu indra untuk mendengarkan pelajaran yang diberikan tutor di depan kelas dan membaca materi di komputer secara bersamaan. Oleh karena hanya satu indra untuk mengakses dua hal yang berbeda, maka kami sering membutuhkan pengulangan pelajaran yang disampaikan oleh tutor di depan kelas. Akibatnya, kecepatan kami memahami pelajaran lebih lambat dibandingkan yang bukan disabilitas.

 

Mengingat tingkat kesulitan menguasai materi Bahasa Inggris dan tantangan agar dapat mengikuti proses pembelajaran secara inklusif, maka calon peserta ELTA dari kalangan penyandang disabilitas harus mempunyai bekal awal kemampuan berbahasa Inggris setara IELTS 4.5 atau TOEFL 450. Selain itu, kami harus mempunyai kemampuan mempergunakan komputer beserta screen reader-nya.

 

Kelas kami diajar  ditutorin oleh empat orang instruktur yang terdiri dari dua perempuan dan dua laki-laki. Mereka akan mengajar secara berpasangan. Artinya, seorang akan mengajar di depan kelas dan seorang yang lain akan berada di belakang dan siap membantu para tunanetra yang mengalami kesulitan sebagaimana telah saya sampaikan di atas.

 

Ketika tutor yang bertugas di belakang kelas sedang membantu peserta tunanetra memahami pelajaran, tutor yang di depan kelas akan menghentikan sementara jalannya pelajaran. Bahkan tutor tersebut pun siap membantu tutor yang bertugas di belakang jika terdapat  beberapa peserta tunanetra yang mengalami kesulitan.

 

Selain metode tersebut, para tutor juga mengembangkan metode kerja kelompok. Pada metode ini satu peserta tunanetra di dalam satu kelompok akan berpasangan dengan satu  atau dua peserta bukan disabilitas. Metode kerja kelompok ini ternyata berdampak positif dengan meningkatnya rasa empati peserta bukan disabilitas dan di sisi lain semangat juang para peserta disabilitas agar  dapat mengikuti pelajaran pun meningkat. Hal itu disebabkan bangkitnya rasa tidak mau tertinggal di antara kami para peserta disabilitas.

 

ELTA, khususnya ELTA 2016, merupakan contoh baik adanya kesetaraan atau equality tanpa membedakan jenis kelamin dan kondisi disabilitas. Hambatan dan kendala dicoba dikurangi dengan penerapan metode kebersamaan dan kesetaraan. Selain itu, digunakan pula teknologi dalam hal ini komputer yang telah dilengkapi screen reader, sehingga peserta tunanetra mampu mengikuti proses belajar dan mengajar. Semoga akan semakin banyak program pendidikan yang inklusif hingga semakin banyak kesempatan bagi difabel, termasuk difabel perempuan, untuk mendapatkan beasiswa dan bersekolah di manapun, termasuk di luar negeri.

 

 

Posted in Kontributor.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *