Pengalaman Seorang Disabilitas Netra Tinggal dan Belajar di Australia

(Penulis di depan salah satu gedung di Flinders University, Adelaide, Australia, doc.pribadi)

 

Oleh Suryandaru

(Mahasiswa Master of Disability, Policy, and Practice, Flinders University, Adelaide, Australia)

 

Tulisan ini menceritakan  pengalaman saya  pribadi selama belajar di Australia. Pada saat menuliskan artikel ini, saya telah merampungkan dua semester di Master of Disability, Policy, and Practice (MDPP) Flinders University. Saya masih punya sisa dua semester. Untuk pengalaman dua semester selanjutnya di tahun kedua, saya juga berencana akan menuliskannya. Saya akan membagi tulisan ini ke dalam beberapa heading atau sub-judul, meliputi persiapan keberangkatan, akomodasi, aksesibilitas, sekolah anak, mencari kerja,  kendala bahasa, budaya, iklim, dan nilai positif persaudaraan.

Istilah  yang saya gunakan  untuk menyebut penyandang disabilitas adalah disabled people, penyandang disabilitas netra adalah blind people, dan mahasiswa penyandang disabilitas netra adalah disabled students. Istilah-istilah tersebut merupakan perwujudan kajian ilmu disabilitas berdasarkan  social model yang sedang saya pelajari.

 

Persiapan Keberangkatan

Saya merupakan salah satu blind people  penerima  Australia Awards Scholarship atau AAS. Pengumuman penerimaan beasiswa tersebut saya terima pada bulan Agustus 2018. Salah satu persiapan yang harus dilalui para penerima beasiswa atau awardee sebelum diberangkatkan ke Australia adalah mengikuti Pre-Departure Training  atau  disingkat PDT. PDT dijadwalkan bulan September 2018 yang berlokasi di Bali.

Pada saat menerima beasiswa tersebut, saya sedang bekerja di Panti Pelayanan Sosial Disabilitas Sensorik Netra (PPSDSN) Pendowo di Kota  Kudus, Jawa Tengah dengan status pegawai kontrak.  Sebagai pegawai kontrak, maka saya harus menyelesaikan kontrak terlebih dahulu jika akan menerima beasiswa tersebut. Oleh karena itu, saya mengajukan permohonan pengunduran PDT hingga tahun 2019.

PDT yang saya ikuti berlangsung selama enam bulan, dimulai September 2019 hingga Maret 2020 di Denpasar. Di akhir PDT, saya memperoleh nilai IELT sesuai target yang disyaratkan untuk dapat diterima di Master of Disability, Policy, and Practice, Flinders University, Adelaide, South Australia.

Rencana keberangkatan ke Australia mulanya pada 5 Juni 2020. Namun karena Covid-19, semua negara di dunia termasuk  Indonesia dan Australia menerapkan lock-down. Keberangkatan kami ditunda hingga waktu yang tidak ditentukan.

Pada permulaan Desember 2021, tersebar kabar baik bahwa Australia mulai terbuka bagi international students. Namun hanya tiga negara bagian yang terbuka, yaitu Victoria, New South Wales (NSW),  dan Australia Capital Teritory (ACT). Pada 15  Desember 2021, diumumkan bahwa seluruh negara bagian terbuka bagi pendatang. Walaupun demikian, Flinders University menyatakan belum siap menerima international disabled students.

Selang beberapa hari, akhirnya muncul kabar bahwa Flinders University menyatakan siap menerima kedatangan international disabled students. Tentu saja saya senang sekaligus tergopoh-gopoh mempersiapkan segala sesuatunya.

Keberangkatan saya ke Australia dijadwalkan pada 1 Februari 2022 malam dari Jakarta. Karena berasal dari Semarang, saya berangkat bersama istri sebagai carrier dari kota asal pada 31 Januari 2022. Untuk keberangkatan kami berdua, baik tiket pesawat maupun hotel untuk transit di Jakarta, difasilitasi teman-teman alumni SMA Negeri 3 Semarang atau Alste Angkatan 1991.

Seluruh awardees dari Indonesia berangkat dari Jakarta menuju Australia secara bersama-sama. Saya dan rombongan yang akan menempuh studi di Flinders University tiba di Adelaide pukul 17.00 waktu setempat.

Suasana Adelaide International Airport sangat senyap. Tidak ada penjemputan dari Persatuan Pelajar Indonesia Australia (PPIA) setempat. Padahal, saya dengar bahwa penjemputan oleh PPIA itu merupakan ritual dari waktu ke waktu sebelumnya. Yang ada saat itu hanyalah seorang penjemput dari Flinders University.

Pada waktu kedatangan kami, pemerintah negara bagian South Australia mewajibkan kami melakukan swab test langsung pada saat kami datang. Selama menunggu hasil tes keluar, kami diwajibkan melakukan karantina di Marion Hotel. Hasil tes saya dan istri negatif.

 

Akomodasi

Bagian ini sangat sensitif karena menyangkut nama beberapa orang. Karena alasan etika, bagian ini tidak saya ceritakan secara utuh.

Pencarian akomodasi telah kami mulai sejak kami masih di Semarang. Ketika keluar pengumuman bahwa Flinders University menyatakan siap menerima international disabled students, saya dan istri langsung berusaha mencari akomodasi di Adelaide melalui internet. Namun sayangnya, usaha kami tidak membawa hasil.

Beruntung, ada seorang warga negara Indonesia yang telah menjadi permanent resident di Australia bersedia menampung kami. Selain saya dan istri, ada seorang student dari Indonesia yang juga tinggal di rumah permanent resident tersebut.

Lokasi temporary accommodation kami yang pertama ini berjarak sekitar empat blok dari Marion Interchange. Interchange adalah terminal tempat transit bus. Karena jarak yang lumayan jauh jika ditempuh dengan jalan kaki, maka kami butuh istirahat setiap kali turun dari metro bus di Marion Interchange ini.

Selama tinggal di temporary accommodation, saya dan istri berusaha mencari permanent accommodation, tetapi belum berhasil juga. Sementara, teman mahasiswa dari Indonesia yang tinggal bersama kami telah lebih dahulu mendapatkannya. Teman tersebut menawarkan untuk share house di unit yang dia peroleh. Karena belum mendapatkan akomodasi, maka kami menerimanya.

Setelah kurang lebih tiga bulan tinggal di share house, teman tersebut meminta kami segera meninggalkan unitnya. Ternyata, agent hanya memberi waktu kepada kami untuk tinggal di unit tersebut selama tiga bulan. Namun, informasi tersebut tidak disampaikan kepada kami. Setelah agent mengingatkan teman tersebut, informasi itu baru kemudian disampaikan ke saya dan istri. Tentu saja saya kalang kabut karena bingung. Saya bingung ke mana saya dan istri harus pergi, sementara anak kami akan segera datang dari Indonesia.

Alhamdulillah, pertolongan Allah SWT datang. Untuk sementara kami ditampung di akomodasi teman dari Vietnam. Untuk sementara, kami bisa berteduh dan tidur.

Selama tinggal di temporary accommodation yang baru ini, kami terus berusaha mencari permanent accomodation. Tanggal 9 Agustus 2022, kami mengikuti inspeksi dan keesokan harinya, saya dihubungi pihak agent. Saat itu agent menyatakan saya bisa menjadi tenant untuk menyewa uni di 4 /1A Ackland Avenue, Clarence Gardens, SA 5039. Hal ini sangat melegakan karena akhirnya kami berhasil memperoleh permanent accommodation.

Bertepatan dengan Perayaan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia, 17 Agustus 2022, kami pindah ke unit baru kami. Beberapa teman dari PPIA Flinders membantu proses kepindahan kami. Mereka membawakan barang-barang kami dengan mobil-mobil mereka. Kami merasakan betapa nikmatnya punya tempat tinggal sendiri walau masih mengontrak.

Perlu diketahui bahwa saat kami berada di Australia, akomodasi merupakan masalah pelik. Permintaan sangat tinggi, tetapi jumlah akomodasi yang tersedia sangat minim. Selain itu, harganya juga sangat tinggi. Harga sewa unit kami adalah AUD370 (IDR3.700.000) per minggu. Padahal sebelum 2022, harga tertinggi sekitar AUD300 per minggunya.

 

Aksesibilitas

Aksesibilitas yang akan saya bicarakan tidak hanya meliputi aksesibilitas fasilitas umum, tetapi segala sesuatu yang membuat saya sebagai blind student dan blind person dapat beraktivitas.

Aksesibilitas pertama yang ingin saya sampaikan di sini adalah di bidang perbankan. Sungguh saya kaget,  ketika saya membuka rekening di sebuah bank di lingkungan Marion Shopping Center Kota Adelaide, saya tidak diizinkan melakukan aktivitas perbankan secara mandiri. Semua kegiatan perbankan harus melalui rekening istri saya. Alasan pihak bank adalah karena saya blind person. Tentu saja ini merupakan bentuk diskriminasi terhadap disabled people.

Saya melaporkan hal itu kepada Student Contact Officer di kampus saya, tetapi belum membuahkan hasil. Selanjutnya datang kesempatan saya menyampaikan keluhan melalui survei yang dilakukan oleh Department of Foreign Affairs and Trade atau DFAT. Dengan cara ini, akhirnya saya bisa melakukan aktivitas perbankan secara mandiri memalui rekening  saya.

Aksesibilitas selanjutnya adalah di alat bantu. Saya sangat beruntung karena hampir semua alat bantu yang diperlukan bisa saya peroleh. Sebagai blind student, saya memerlukan dukungan alat bantu text to speech, berupa gadget yaitu IPhone, laptop MacBook, IPad, earphone, dan jam tangan Apple Watch.

Australia Awards Scholarship atau AAS menyediakan dana untuk pengadaan alat bantu bagi awardee, termasuk untuk disabled people. Jumlah dana yang disediakan adalah AUD13,000.00 (tiga belas ribu Dolar Australia). Namun tidak semua dana tersebut dibelanjakan untuk kebutuhan alat bantu.

Pengadaan alat bantu hanya bisa diwujudkan apabila sesuai dengan analisa yang dilakukan oleh assessor. Di sinilah titik kritis bagi disabled students, sebab yang bersangkutan harus bisa berargumentasi perihal kepentingan suatu alat bantu bagi studinya. Di sisi lain, assessor juga bisa melakukan penilaian lain sehingga alat bantu tersebut dianggapnya tidak perlu.

Contoh kasus, saya mengajukan permohonan earphone berjenis Air Pot dan After Shox. Yang disetujui dan direalisasi hanya After Shox, karena argumentasi saya perihal Air Pot dianggap kurang kuat. Padahal kedua alat itu saya perlukan sebab masing-masing punya nilai guna sesuai kondisinya. After Shox saya perlukan ketika di kelas dan saat melakukan aktivitas  diskusi kelompok karena alat ini  tidak menutup lubang telinga. Sedangkan Air Pot sangat berguna ketika belajar sendiri di rumah. Hal itu disebabkan saya membutuhkan auditori device yang langsung masuk ke lubang telinga ketika mendengarkan screen reader.

Di bidang aksesibilitas referensi, saya punya kisah tidak menyenangkan di semester pertama.

Flinders Learning Online atau FLO adalah nama website Flinders University yang berisi semua hal perihal studi di Flinders. Website ini sangat lengkap namun juga kompleks. Tidak mudah bagi saya sebagai screen reader user memahami tata letak FLO dalam waktu singkat. Kesulitan tersebut ditambah lagi tidak ada pelatihan bagi screen reader user untuk mengakses FLO. Tidak ada support teknisi di perpustakaan Flinders University yang memahami screen reader khususnya Voice Over, sehingga kalau saya mengalami kesulitan, saya bingung ke mana harus mencari tenaga bantuan.

Ketika saya mulai kuliah, belum tersedia tenaga yang bertugas mengubah file-file dari PDF ke Word Document. Support ini baru tersedia ketika  saya memasuki semester kedua perkuliahan saya.

Kesulitan tersebut masih ditambah karena saat itu saya masih belum mendapatkan permanent accommodation. Akibatnya, satu course atau mata kuliah saya mendapat failed (gagal) di semua tugasnya. Saya harus mengikuti tutorial dan proses perbaikan yang berliku untuk mendapat nilai bagus dan bisa lulus mata kuliah tersebut.

Course yang saya maksud tersebut mempunyai tiga assessment (tugas). Tugas pertama berbobot 15% dengan tanpa peluang resubmission. Tugas kedua berbobot 40% dengan kesempatan  resubmission. Di tugas kedua ini, saya diberi kesempatan perbaikan dengan cara oral. Selanjutnya tugas ketiga berbobot 45% tanpa kesempatan resubmission. Untuk yang ketiga ini, saya benar-benar harus memohon agar ada kesempatan perbaikan. Akhirnya, saya diberi tugas pengganti dan bisa lulus mata kuliah ini.

Di samping itu, saya juga harus melakukan advokasi lewat Flinders University Student Association atau FUSA. FUSA ini di Indonesia semacam Senat Mahasiswa. Alasan saya harus melakukan advokasi adalah tugas ketiga mempunyai bobot yang sangat besar, namun tidak difasilitasi untuk resubmission.

Di bidang fasilitas umum, Adelaide relatif aksesibel. Metro bus di Adelaide bisa memiringkan badan bus dan mengeluarkan semacam jembatan dari pintunya sehingga memudahkan disabled people masuk dan keluar bus. Ada pula audio yang memberi informasi nomor jalur bus tersebut dan nomor bus stop. Namun itu semua tergantung kepada pengemudinya karena ada juga pengemudi yang tidak sensitif dan peduli sehingga tidak mengaktifkan audio atau tidak menurunkan jembatan.

Bus menyediakan tempat duduk khusus bagi disabled people. Tidak ada penumpang yang bukan disabled people yang menyerobot tempat duduk tersebut. Namun ketika banyak penumpang lansia, saya dan istri lebih baik mengalah karena kami masih bisa mengakses tempat duduk yang lain.

Masih tentang fasilitas umum, anak saya punya pengalaman tidak mengenakkan. Dompetnya dicopet ketika ia naik metro bus saat pulang sekolah.

 

Pendidikan untuk Anak

Anak saya pelajar SMU Negeri 3 Semarang. Tahun 10 ditempuhnya di Indonesia. Karena ia memperoleh beasiswa pertukaran pelajar ke Amerika Serikat, tahun 11, ia merasakan pendidikan di AS. Setelah menyelesaikan tahun 11 di AS, anak saya kembali ke Indonesia.

Seharusnya ia mengulang  tahun 11-nya di Indonesia karena studi selama pertukaran pelajar tersebut tidak diakui sebagai proses belajar. Tentu ini sangat tidak fair (adil). Ia memilih mengikuti saya dan ibunya ke Australia. Menurutnya, metode pembelajaran di AS dan Australia serupa, yaitu tidak membebani siswa dengan mata pelajaran yang sangat banyak. Mata pelajaran SMU di Australia hanya empat, tetapi lebih mendalam dan disesuaikan dengan keinginan anak untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan berikutnya. Hal tersebut membuat anak tidak takut sekolah dan menikmati proses belajarnya.

Saya bersyukur biaya sekolah anak saya ditanggung oleh Australia Awards Scholarship. Sekolah yang kami tuju untuknya adalah Unley HighSchool. Australia menerapkan sistem zonasi. Sekolah yang berada dalam zona tempat tinggal kami adalah Springbank dan Unley, tetapi kami lebih memilih Unley High School.

Tahun ajaran SMU di Australia dimulai Januari dan berakhir Desember. Sedangkan di AS, dimulai Juli dan berakhir Juni. Anak saya kembali dari AS pada Juni  2022 dan memulai bersekolah di Australia September 2022. Untuk proses adaptasi dan persiapan selanjutnya, anak saya mengulang tahun kesebelasnya. Saat tulisan ini dibuat, anak saya telah menyelesaikan tahun 11, dan Januari 2023, ia akan memulai tahun 12.

 

Mencari Kerja

Salah satu hal yang menarik di nilai mata uang Asutralia yaitu AUD yang lebih tinggi daripada Rupiah. Oleh sebab itu, banyak orang Indonesia terutama pelajar berusaha mendulang AUD selain belajar. Apalagi saat ini semua harga melambung tinggi sehingga tidak cukup hanya mengandalkan beasiswa saja.

Pertanyaannya, apakah blind student bisa bekerja di Australia?

Di bulan Desember 2022 ketika semester dua berakhir, saya berniat mencari kerja part-time. Selain untuk menambah tabungan, saya juga ingin mencari pengalaman dalam melihat bagaimana perlakuan tenaga kerja disabilitas khususnya blind people di Australia.

Hingga tulisan ini saya buat, hasilnya belum memuaskan. Pertama, saya mendaftarkan diri ketika ada pengumuman lowongan kerja part-time yang dishare lewat e-mail kampus. Saat saya mendatangi meja pendaftaran, langsung saya ditolak dengan alasan pekerjaan yang tersedia naik turun tangga dan harus mengangkat barang.

Kedua, saya mencoba menghubungi Career Hub di Flinders University. Bagian ini memang bertugas memberi advice bagi mahasiswa yang mencari kerja. Ketika bertemu dengan Career Hub officer, saya diminta bercerita tentang pengalaman aktivitas yang pernah saya lakukan, bidang studi yang sedang saya tempuh, dan lain-lain. Petugas menyarankan agar saya mencoba apply kerja di Non Governmnet Organization (NGO)lokal.

Mereka masih sekedar memberi saran dan belum berupa solusi. Saya masih berpendapat bahwa disabled international student masih kesulitan mencari kerja part-time di Australia. Semoga pendapat ini segera bisa berubah.

 

Kendala Bahasa dan Budaya

Australia merupakan negara yang menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa nasional. Australia juga negara multi nasional. Artinya, di sini berkumpul orang dari berbagai negara di dunia, dengan cara pengucapan bahasa Inggris dan  latar belakang sosial budaya yang berbeda.

Terus terang, kemampuan bahasa Inggris saya masih sangat minim, baik secara akademis maupun dalam keseharian. Istri saya pun hanya menguasai bahasa Inggris dasar hasil belajar di SMP dan SMU.

Secara umum, dalam keseharian, orang di Adelaide suka menggunakan bahasa tubuh atau gesture ketika berbicara. Ada di antara mereka yang kurang menghargai orang yang bukan native English speakers. Mereka tidak mau menurunkan kecepatan berbicara atau mengganti kata yang digunakan dengan kata yang lebih umum agar mudah dipahami. Efeknya, ketika saya dan istri berjalan-jalan dan butuh berkomunikasi dengan orang di jalan, kami seperti pasangan “buta dan bisu.”  Maksudnya, saya tidak melihat gesture mereka karena memang saya blind person dan istri saya seperti orang bisu karena tidak dapat berbahasa Inggris secara lancar.

Tidak semua orang punya istilah yang sama untuk merujuk nama-nama benda atau tempat. Suatu hari, saya dan istri jalan-jalan di suatu pertokoan. Istri saya tiba-tiba butuh buang air kecil. Saya berusaha mencari orang terdekat dan menanyakan di mana kamar kecil untuk perempuan. Saat itu, kami belum tahu lokasi kamar kecil di pertokoan tersebut.

Saya bertanya, “where is the toilet for female?” Orang yang saya tanya tidak paham. Saya mengulang pertanyaan dengan memparafrase, “Where is the rest room for female?” Orang tersebut baru paham dan menunjukkan suatu arah dengan telunjuknya. Tentu saja saya tidak lihat dan mungkin orang itu pun tidak lihat kalau saya membawa tongkat yang biasa digunakan Netra atau white cane.

Istri saya yang kemudian menggandeng saya menuju arah yang ditunjuk tadi. Di tengah perjalanan, kami bingung menentukan arah karena ada di persimpangan. Saya lalu bertanya kepada orang terdekat, “Where is the rest room for female?” Orang yang saya tanya tidak paham. Saya bertanya lagi dengan mengubah kalimat pertanyaan saya, “Where is the toilet for female?” Orang tersebut baru paham.

Di lingkungan kampus pun, saya masih mengalami kendala berkomunikasi. Sebelum berangkat ke Australia, saya mendengar informasi bahwa di program Master of Disability, Policy, and Practice ada keharusan magang bagi mahasiswanya. Magang tersebut baru bisa diambil ketika telah memenuhi syarat-syarat sertifikat tertentu. Di samping itu, saya juga berniat membuka peluang agar bisa meneruskan ke Ph.D. Agar saya dapat mengatur waktu dengan baik, kedua hal itu saya tanyakan kepada supervisor saya.

Untuk itu di akhir semester satu 2022,  saya memohon kedua informasi tersebut  kepada supervisor perihal syarat untuk mengikuti placement dan membuka kesempatan agar dapat meneruskan ke Ph.D. Supervisor tersebut menjelaskan, bahwa peluang untuk meneruskan ke Ph.D. adalah dengan melakukan research. Saya selanjutnya bertanya perihal persiapan untuk mengikuti placement. Supervisor saya mengatakan bahwa jika telah melakukan research, saya tidak perlu mengikuti placement.

Ternyata terjadi kesahalahpahaman. Walaupun telah memutuskan akan melakukan riset, saya tetap harus mengikuti placement. Informasi ini saya terima di bulan Desember ketika ada acara pertemuan informal berupa penutupan semester dua 2022 dan makan bersama antara para dosen pengampu Master of Disability, Policy, and Practice dan para mahasiswa course ini. Oleh karena itu, pesan saya kepada siapa saja yang membaca tulisan ini, tetaplah check and recheck informasi apapun yang kita terima.

 

Iklim

Australia mempunyai empat musim, yaitu panas, gugur, dingin, dan semi. Keempat musim ini sedikit berbeda dengan negara-negara belahan bumi Utara. Di Australia, musim panas terjadi sekitar Desember dan Januari, sedangkan musim dingin sekitar Juni dan Juli. Di negara-negara belahan bumi Utara, Desember dan Januari adalah musim dingin dan Juni dan Juli adalah musim panas.

Di kota Adelaide, saya mengalami suhu hingga 0 0C walaupun tanpa salju. Ketika musim panas, saya mengalami suhu hingga 41 0C. Ketika memasuki musim dingin, suhu semakin turun, namun bisa diselingi suhu yang tiba-tiba naik. Setelah suhu naik, keesokan hari suhu akan makin turun lagi. Sementara di musim semi hingga panas, walaupun sinar matahari sangat terik, tetapi angin tetap terasa dingin. Sering kali kami tetap mengenakan jaket walaupun matahari bersinar terik.

 

Nilai Positif Persaudaraan Antar Bangsa

Pendatang di Australia meliputi orang-orang dengan berbagai latar belakang bangsa, budaya, dan agama. Masing-masing tetap memegang teguh budaya dan keyakinannya dan saling menghormati.

Kami mempunyai banyak teman yang tidak hanya dari Indonesia, melainkan dari berbagai bangsa. Mereka bersikap baik dan kami saling mendukung. Suatu kali, seorang teman blind student dari Kamboja mengalami kesulitan mengoperasikan Endnote. Teman saya dari Indonesia dengan senang hati berusaha mengajarinya. Teman saya yang dari Indonesia ini seorang  sighted person, sehingga yang bersangkutan selain berusaha memahami pola kerja screen reader, juga berusaha mengajari penggunaan Endnote.

Seperti diceritakan di atas, saya terbantu teman dari Vietnam ketika kebingungan saat harus pergi dari salah satu temporary accommodation. Anak saya berhasil mendapatkan pekerjaan karena dibantu teman dari Indonesia.

 

Penutup

Demikian cerita saya. Cerita di atas berdasar pengalaman pribadi saya dan hal-hal yang saya ketahui dan alami sendiri secara langsung. Tidak semua orang mempunyai cerita yang sama dengan saya. Selain itu, tidak sepanjang waktu, hal-hal yang saya sampaikan berlaku sama untuk semua orang.

Posted in Kontributor.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *