Farid Muttaqin, Pengelola LETSS Talk
Dua ribu dua dua atau 2022 baru akan berakhir tiga bulan lagi. Dalam tiga bulan itu, sangat mungkin banyak kejadian politik yang muncul dan berkembang, sebagiannya adalah kejadian yang menyedihkan dan meresahkan. Situasi kontemporer memang ditandai salah satunya oleh berbagai kejadian politik yang sangat dinamis bahkan anomalistik dan tidak terprediksi, di antaranya akibat munculnya perilaku-perilaku politik baru. Tapi, dalam konteks politik global, kita bisa menilai 2022 sebagai tahun kegelapan bagi kebebasan dan hak-hak perempuan. Opresi dan represi terhadap perempuan menjadi bagian politik sangat kentara politik global 2022 di beberapa penjuru dunia. Tak pandang wilayah, di Barat maupun di Timur.
Di Barat, di pusat geografi dan peradaban Barat, Amerika Serikat, lewat Mahkamah Agung, mencabut atau menganulir “aturan” Wade vs. Roe yang menjadi rujukan legal bagi tindakan aborsi, yang sesungguhnya merupakan hak asasi –artinya keberadaan hukum justru untuk menjamin perlindungan HAM tersebut. Di Timur, Pemerintah Islam Iran, lewat Polisi Moral, melakukan kekerasan yang mengakibatkan kematian Mahsa Amini, perempuan 22 tahun yang dinilai tidak berjilbab dengan benar atau sesuai aturan. Gerakan protes untuk merespons kematian Mahsa, yang dimobilisasi kelompok perempuan di sana, juga direspons dengan kekerasan yang mengakibatkan kematian salah satu protestan. Gelombang protes terus berlangsung, sudah merambah pelajar di sekolah-sekolah, dan pemerintah setempat masih terus menerapkan tindakan kekerasan untuk merespons aksi-aksi itu.
(Protes kaum perempuan Amerika menentang “likuidasi” Roe vs. Wade. Sumber Foto: Boston Globe)
Masih di Barat, meski tidak terlalu “Barat,” dikomandani pemimpin maskulin Vladimir Putin, Rusia menyerang Ukraina yang sudah pasti mengorbankan anak-anak dan perempuan, kelompok paling rentan dalam serangan bersenjata. Sejak Agustus lalu, Rusia juga menerapkan politik reproduksi perempuan, menghidupkan lagi Mother Heroine Award, yang dijalankan di masa Uni Soviet hingga keruntuhannya 1991, memberi penghargaan dan memberi hadiah sejuta Rubel, sekitar 16 ribu US Dolar, bagi perempuan yang bersedia punya banyak anak, 10 orang atau lebih. Politik ini memperkuat konstruksi perempuan sebagai mesin reproduksi, tidak beda dengan “misi” poligami untuk memperbanyak anak yang dipraktikkan beberapa masyarakat Muslim.
Di bagian Timur lain, di halaman rumah kita sendiri, Indonesia, pemaksaan jilbab dan penghukuman sosial menjadi tindakan publik secara kasat mata pada anak-anak di sekolah, tidak terpikir sedikitpun menganggap tindakan seperti itu sebagai pemakasaan dan kekerasan. Di Arab Saudi, meski memerlukan penglihatan ekstra tajam dengan kacamata feminisme yang sangat kuat, pemerintah kerajaan melakukan manipulasi politik, seakan-akan memberi kebebasan pada perempuan untuk melepaskan jilbab dan bebas mengekspresikan otoritas diri atas tubuh (dan seksualitasnya), namun, sesungguhnya, keputusan politik ini lebih bertujuan investasi, semacam komodifikasi dan kapitalisasi tubuh dan seksualitas perempuan. Tubuh dan seksualitas perempuan, dengan demikian, sesungguhnya tetap berada pada posisi sebagai obyek kooptasi negara yang patriarkhal. Yang terjadi di Arab Saudi, meski secara kasat mata lebih terlihat membebaskan (liberating), sangat mungkin tidak beda seperti saat Iran berada di bawah rezim modernis pro Barat Reza Pahlevi, sebelum Revolusi Iran 1979, ketika “emansipasi” perempuan diobjektifikasi demi membangun imej Iran yang modern dan progresif berstandar Barat. Cara paling mudah dan sederhana untuk mengevaluasi konsistensi dan komitmen pemerintah Arab Saudi dalam pemenuhan hak-hak perempuan adalah dengan melihat apakah kebijakan mereka terhadap buruh migran perempuan yang masih menunjukkan sikap dan tindakan yang oleh Amnesty International (AI) disebut sebagai bentuk-bentuk perbudakan modern turut berubah seiring perubahan sikap mereka terkait jilbab.
(Perempuan Iran melakukan demonstrasi mengecam kematian Mahsa Amini oleh Polisi Moral. Sumber Foto: The Guardian)
Demikianlah! Barat, Timur, Amerika, Rusia, Arab Saudi, Iran, Indonesia, sekuler, religius, demokrasi, totaliter, Muslim, Kristen, Syiah, atau Sunni tak bisa lepas dari tindakan politik menjadikan perempuan target penundukan, opresi, represi, manipulasi dan kontrol politik. Kasus-kasus di atas hanya sedikit contoh betapa politik global kontempoer dipenuhi dengan berbagai opresi terhadap perempuan; politik global menghadirkan kerentanan besar pada perempuan; ketidakadilan dan kekerasan terhadap perempuan masih menjadi bagian dari tindakan politik yang dipilih penguasa dan otoritas. Kita belum menyentuh perkembangan di Italia ketika Georgia Meloni akan menjadi Perdana Menteri perempuan pertama di negara ini. Perkembangan menarik yang membingungkan dan memusingkan karena Meloni –yang baru berusia 45 tahun– berasal dari partai pendukung neo-fasisme, Partai Gerakan Sosial Italia, yang didirikan pemimpin fasisme Benito Mussolini. Bagaimana para feminis harus bersikap terhadap situasi politik berwajah ganda yang kontradiktif –satu sisi menampilkan gerakan perempuan untuk kebebasan diwakili wajah perempuan muda Iran dan di sisi lain, meski belum terlalu kuat, menampilkan kemungkinan perempuan berpandangan politik “fasis” yang bertolak belakang dengan semangat freedom? Pertanyaan ini memerlukan jawaban panjang, dan, karenanya, kita sungguh masih memerlukan feminisme –bahkan yang paling radikal—demi menghadapi situasi politik anomalistik dengan wajah opresi yang makin kental ini.
(Giorgia Meloni yang akan segera ditetapkan menjadi Perdana Menteri Italia. Sumber Foto: New York Times)
Salah satu hal yang sangat menantang bagi gerakan feminisme saat ini terkait opresi perempuan dalam politik global itu adalah banyak sekali kompleksitas di balik situasi dan kejadian itu yang menuntut analisa sosiologis-antropologis, dengan feminisme sebagai framework utama. Dinamika dan kompleksitas politik sudah seharusnya menuntut sikap kritis sekaligus kreativitas dan pembaruan analisa demi menghasilkan pemahaman dan pengetahuan lebih utuh tentang situasi tersebut, yang lalu menjadi basis pembaruan gerakan feminisme (global). Karenanya, sekali lagi, alih-alih menganggap feminisme tidak lagi relevan, atau membosankan karena hanya “bicara itu-itu saja”, perkembangan ini justru menuntut kreativitas dan inovasi pemikiran, gagasan, dan ide serta penguatan kapasitas analisa feminis, terutama karena perkembangan tersebut telah menghasilkan berbagai anomali sosial-politik.
Dalam sebuah laporan CNN melalui wartawan Inggris keturunan Iran, Christine Amanpour yang rencana wawancaranya dibatalkan Presiden Iran di sela-sela pertemuan PBB di New York karena ia menolak permintaan presiden untuk memakai penutup kepala, Iran saat ini dihuni oleh generasi muda sebagai mayoritas warga negara yang punya akses pada pendidikan, termasuk pendidikan tinggi. Perempuan menjadi bagian penting dari perkembangan generasi muda Iran yang juga berpengaruh pada situasi sosial lebih luas di sana. Mereka adalah kelompok warga dengan pendidikan tinggi dengan, tentu saja, pemikiran-pemikiran ala “generasi muda” yang ingin maju, mendapatkan pekerjaan layak, dan gaya hidup yang lebih merepresentasikan kebebasan. Dengan sikap dan cara berpikir baru sebagai educated women ini, tidak mengherankan, jika kita menemukan reaksi yang berkembang saat ini terhadap kematian Mahsa Amini, ketika banyak perempuan di sana secara spontan turun ke jalan untuk mengekspresikan kebebasan dan menuntut ruang-ruang bagi terjaminnya kebebasan itu. Protes keras atas kematian Mahsa Amin “hanya” sebuah momentum sosial-politik bagi “semangat kebebasan” yang sedang tumbuh kuat dalam diri kaum muda perempuan Iran. Secara sederhana, kita bisa menangkap semangat kebebasan itu dalam pemikiran-pemikiran Marjane Satrapi yang dituangkan dalam buku komik berjudul Parseapolis (2004). Satrapi merepresentasikan generasi muda perempuan yang memimpikan kebebasan bisa dinikmati perempuan-perempuan di sana, tanpa harus menjadi diaspora di negara liberal.
Yang anomalistik, sementara semangat kebebasan itu tumbuh kuat di kalangan muda, Iran saat ini, sejak pemilu 2020, justru lebih memilih untuk dipimpin presiden berhaluan Islamis yang sangat tradisional dan konservatif, Ebrahim Raisi. Bagaimana memahami dua situasi berbeda dan bertolak-belakang ini? Mengapa semangat kebebasan dan progresif yang sedang tumbuh dan berkembang kuat itu tidak “menghasilkan” kepemimpinan politik yang yang juga pro-kebebasan dan progresif, justru kebalikannya? Mengapa sikap dan perilaku politik kaum perempuan muda tidak bisa mempengaruhi proses politik formal? Secara kasat mata, di tengah perkembangan global yang lebih berkecenderungan neo-liberal, kapitalistik, “popular”, lebih dipenuhi sikap-sikap yang berorientasi komodifikasi dan kapitalisasi, yang juga ditunjukkan secara potensial oleh kaum muda perempuan Iran, mengapa proses politik nasional di sana masih memberi tempat bagi Islam politik yang konservatif dan tradisional?
Iran juga menjadi salah satu negara penghasil intelektual feminis Muslim yang progresif. Sebagian tinggal di Iran, seperti Peraih Nobel Perdamaian 2003, Shirin Ebadi, dan sebagian lainnya menjadi diaspora, sebagai scholar dan intelektual yang bertebararan di banyak universitas top, di Amerika, Kanada, Eropa, dan Australia. Khusus tentang hadiah Nobel Shirin Ebadi, feminis Muslim Ziba Mir-Hosseini menyambut, hadiah Nobel ini akan “mempercepat” transformasi Iran dari teokrasi ke demokrasi! Mereka menjadi public intellectual yang terus menyuarakan pentingnya ruang kebebasan bagi perempuan Iran melalui karya-karya mereka. Sebagian semangat kebebasan di kalangan perempuan muda yang tumbuh hingga hari ini tidak lepas dari pengaruh suara reformasi dann transformasi dari “jarak jauh” oleh para feminisme Muslim diaspora itu. Feminis Muslim Iran yang tetap tinggal di sana dengan mereka yang menjadi diaspora membangun “koneksi lintas benua” untuk terus mendorong perubahan domestik. Sekali lagi, meski secara struktural atau politik formal tidak terlalu terlihat hasilnya, di level sosial, terutama di kalangan muda perempuan, mereka menjadi “role model” yang menginspirasi tumbuhnya semangat kebebasan. (Tentang hal ini, saya pernah menulis “Lessons from Iranian Women’s Groups”, Jakarta Post, 25 Juli 2006 –karena terlalu lama, linknya sudah tidak bisa diakses, tapi saya masih menyimpan kopinya di e-mail, jika ada yang tertarik, atau bisa diakses di postingan: https://www.facebook.com/profile.php?id=100075831293275). Terkait dengan public intellectual ini, untuk kasus terakhir, saya belum melihat reaksi intensif dan aktif dari para feminis Muslim Iran, khususnya para diaspora itu. Mengapa? Saya belum menemukan jawabannya…
Kasus Amerika dengan dianulirnya aturan tentang legalisasi aborsi. Wade vs. Roe, yang sudah berlaku selama 50 tahun, juga menantang dan anomalistik, selain tentu sangat meresahkan dari sisi hak dan kebebasan perempuan. Amerika secara solid telah menjadi simbol dan representasi liberalisme. Bagi yang punya pengalaman tinggal di Amerika dalam kurun waktu lama akan mudah menyaksikan bagaimana liberalisme dipraktikkan dan dioperasionalisasikan, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun di level politik formal. Liberalisme seperti darah daging bagi orang Amerika. Kita justru akan dianggap “melanggar hukum” jika mengancam atau mengganggu kebebasan liberal seorang indvidu di Amerika. (Seperti pengalaman saya di sebuah apartemen, Anda harus tahan untuk tidak merasa terganggu dengan suara berisik –benar-benar berisik—pasangan yang sedang melakukan hubungan seksual dari kamar sebelah, tentu tanpa relasi pekawinan!). Mengapa dengan status liberalisme yang mainstream itu aborsi (yang bukan sekedar hak, tapi hak asasi) saat ini justru terancam dikriminalisasi dan mendapat hukuman penjara? Mengapa semangat liberalisme keseharian dalam masyarakat Amerika tidak termaterialisasi dalam aturan tentang aborsi saat ini? Meski lama menjadi bagian kehidupan sosial-politik Amerika, saya belum tahu jawaban dari pertanyaan atas situasi anomalistik dalam politik Amerika ini.
Di Amerika, aborsi memang selalu menjadi salah satu pusat kontestasi politik antara pendukung konservativisme dan liberalisme, bahkan ketika aturan Wade and Roe masih berlaku. Sementara kelompok liberal menganggap aborsi adalah hak asasi yang harus dijamin dan dipenuhi negara, kaum konservatif sebailknya menganggap aborsi sebagai kejahatan. Dalam upaya pemenuhan hak warga atas aborsi, kaum liberal mengupayakan fasilitas dan sumberdaya negara yang bisa diakses warga negara yang ingin melakukan aborsi. Demi menegaskan sikapnya yang menganggap aborsi sebagai kejahatan, kaum konservatif menolak keras fasilitas dan anggaran negara, seperti pajak, digunakan untuk mendukung layanan aborsi ini. Konflik yang terus berlangsung, mewarnai hitam-putih politik dalam negeri Amerika.
Sedikit tambahan poin yang mungkin bisa membuat anomali ini “make sense” –meski menunjukkan anomali lain—Amerika 10 tahun terakhir sedang mengalami gejolak politik akibat menguatnya pertarungan antara pendukung “nasionalisme Amerika” dari kelompok Republika garis keras seperti ekstrimis MAGA dan pendukung nasionalisme Kristen (Christian Nationalism) versus pendukung demokrasi dari kalangan Demokrat. Sejak Donald Trump sukses terpilih sebagai presiden, para pendukung MAGA dan nasionalisme Kristen seperti mendapat angin bagi keberhasilan perjuangan politik mereka, bahkan meski politik formal sedang berada di tangan Demokrat. Justru karena saat ini mereka tidak berada pada posisi kekuasaan formal, mereka semakin bersemangat melakukan berbagai trik dan gerakan politik, memanfaatkan setiap peluang dan kesempatan. Dalam situasi ini, munculnya aturan anti-aborsi yang mengkriminalisasi mereka yang terlibat aborsi menjadi kejadian politik yang “make sense” terjadi dalam politik Amerika liberal. Meski liberalisme masih menjadi paradigma mainstream, Amerika sedang menghadapi kebangkitan nasionalisme fasis berbasis nasionalisme Kristen.
Satu hal penting yang perlu digarisbawahi terkait dua situasi anomalistik di Iran dan Amerika itu adalah terkait partisipasi dalam proses politik formal di kalangan feminis atau pendukung feminisme. Entah karena anggapan atau penilaian feminisme lebih sebagai gerakan sosial, banyak elemen gerakan feminisme yang sangat “radikal” memperjuangkan gagasan kebebasan dan emansipasi “secara sosial”, namun enggan terlibat lebih aktif dalam proses politik formal. Sepertinya, sikap dan pandangan para feminis atau pendukung politik feminis pro-freedom seperti ini menjadi tren lebih dominan saat ini. Ini terlihat lebih jelas dalam kasus Iran. Artikulasi sikap enggan terlibat politik formal paling kentara adalah malas untuk mengikuti pemilu. Keengganan terlibat dalam pemilu ini juga yang mungkin menghadirkan risiko pada direbutnya kekuasaan politik formal itu oleh lawan politik gerakan feminisme dengan harga mahal, dalam bentuk seperti kematian dan penjara!
Kondisi di Amerika sesungguhnya tidak jauh berbeda dengan Iran. Meski akhirnya Donald Trump gagal terpilih untuk kedua kalinya dan dikalahkan Joe Biden dari Demokrat, keberhasilan Biden tidak banyak ditentukan oleh tindakan politik para feminis atau pendukung politik feminis pro-liberalisme. Para feminis dan pendukung liberalisme dari kalangan muda masih menunjukkan kemalasan untuk ikut pemilu menjadi voter. Di Bulan November, Amerika akan mengadakan Pemilu mid-term untuk memilih senator, DPR, Gubernur, dan lain-lain, dan oleh banyak pihak dianggap sebagai momen genting bagi gagasan liberalisme, seperti hak atas aborsi dan perkawinan non-hetero. Jika para pendukung liberalisme, utamanya dari kalangan muda masih enggan menjadi pemilih dalam pemilu, sangat mungkin, baik senat, DPR, federal atau negara bagian, gubernur sampai mayor, akan didomnasi mereka yang anti-liberalisme ini. Amerika berwajah konservativisme Kristen akan bisa disaksikan pada bulan Januari 2023! Saat ini, sedang ada usaha untuk mengampanyekan keterlibatan kalangan muda dalam pemilu, untuk ikut “vote.” Di kampus-kampus, terutama mahasiswa Partai Demokrat aktif mendatangi kelas-kelas mengajak mahasiswa lain untuk mendaftar menjadi voter dalam pemilu yang akan datang. Bagaimana hasilnya? Dalam waktu kurang dari dua bulan hingga November, kita masih akan menyaksikan banyak kejadian politik yang mungkin mempengaruhi munculnya berbagai anomali lain… Let’s wait and see…
Kita menuju rumah kita sendiri, Indonesia. Meski tidak ada ada otoritas negara secara resmi melakukan kontrol pemakaian jilbab, bagi pendukung kebebasan bagi perempuan terutama dari kalangan feminis, pemaksaan jilbab sebagai seragam sekolah merupakan bentuk opresi terhadap kebebasan yang sedang dialami perempuan di Indonesia. Apakah ini sebuah bentuk anomali, seperti kasus Iran dan Amerika? Situasi di Indonesia ini lebih unik dan “aneh tapi nyata” karena keunikan pengalaman politik dalam negeri pasca-reformasi. Demokratisasi pasa-Orba tidak hanya menyediakan ruang freedom bagi pendukung liberalisme, tapi juga pendukung konservativisme yang anti-liberalisme. Keduanya memiliki kekuatan yang berimbang, yang membuat kondisi politik Indonesia sering mengalami “naik-turun” dalam konteks liberalisme vs. konservativisme. Dinamika politik pasca-reformasi sejak 1998 akibat kontestasi dua kekuatan “relatif imbang” yang membuat kejadian-kejadian politik seperti pemaksaan jilbab sebagai seragam sekolah bukan merupakan anomali, karena konservativisme memang mempunyai kekuatannya sendiri. Yang meresahkan bagi pendukung kebebasan bukan dalam konteks anomali politik, tapi pada sikap dan tindakan pembiaran oleh otoritas pada aksi-aksi yang mengancam kebebasan dan tinakan intoleran atau keenganan otoritas negara melakukan perlindungan kebebasan bagi warganya. Harus diakui, kekuasaan dan otoritas politik kita diisi oleh politisi pragmatis yang lebih berorientasi kelestarian kekuasaan. Bukan hal mudah bagi kita menemukan politisi idealis yang dengan perspektif yang kuat terhadap perlindungan hak atas kebebasan bagi warga negara. Dalam aspek ini –politisi pragmatis yang dominan dalam kekuasaan politik formal—kita bisa menemukan keterkaitan antara situasi politik di Iran dan di Amerika dengan situasi dalam negeri di Indonesia. Seperti Iran dan Amerika, kita menghadapi para feminis, pendukung kebebasan dan demokrasi, yang “malas” dan enggan menjadi pemilih dalam pemilu dengan risiko pemilu yang lebih menghasilkan politisi pragmatis.
(Partisipasi perempuan dalam pemilu, alternatif strategi perubahan melawan opresi terhadap perempuan? Sumber Foto: Antara)
Kita berharap, sisa tiga bulan di tahuan 2022 tidak semakin dipenuhi kegelapan bagi perempuan karena berbagai tindakan opresi terhadap perempuan. Harapan yang tidak terlalu optimis karena meski pro-kebebasan dan demokrasi, bahkan “merasa” menjadi bagian dari feminisme, untuk konteks Indonesia, tidak sedikit di antara mereka yang yang justru menganggap pemaksaan jilbab sebagai Tindakan opresi yang serius. Mereka justru mengolok reaksi kritis atas pemaksaan jilbab ini…. Di sisi lain, kemalasan dan keengganan menjadi pemilih dalam pemilu sebagai partisipasi dasar dalam proses politik formal mungkin belum bisa berubah secara cepat…. tapi, semoga, tidak sampai menunggu 2024. Mengubah kemalasan, keengganan, dan apatisme dalam pemilu juga menjadi agenda personal saya sebagai individu pro-kebebasan, bukan cuma bagi perempuan, yang sejauh ini belum pernah menjadi pemilih dalam pagelaran pemilu.