Diah Irawaty
Kandidat Ph.D., Departemen Antropologi, State University of New York (SUNY) Binghamton, New York; Pendiri LETSS Talk
Pandemi Covid-19 telah berlangsung hampir setahun. Meski menghadirkan krisis serius dan multiaspek, pandemi ini juga menyediakan banyak pelajaran berharga, yang jika kita “serius” memberi perhatian bisa menjadi sumber perubahan penting, termasuk terkait keadilan gender. Kepemimpinan perempuan menjadi salah satu hal yang banyak menyita perhatian publik di tengah pandemi Covid-19 ini, yang sekali lagi, penting menjadi bahan pelajaran demi menguatkan perspektif kita tentang keadilan gender.
Beberapa pemimpin perempuan dari berbagai negara dinilai sukses luar biasa mengendalikan pandemi ini dengan segala efeknya. Mulai PM Jacinda Ardern dari Selandia Baru, Kanselir Angela Merkel dari Jerman, hingga Presiden Tsai Ing-Wen dari Taiwan dirujuk sebagai bukti keberhasilan kepemimpinan perempuan di tengah pandemi. Di Indonesia, Walikota Tri Rismaharini dari Surabaya menjadi satu tokoh yang sering dirujuk sebagai sampel keberhasilan dan kesigapan pemimpin perempuan melawan pandemi. Di sisi yang paling berseberangan, para pemimpin laki-laki bahkan dari negara kuat seperti Presiden Donald Trump dari Amerika Serikat, PM Boris Johnson dari Inggris, dan Presiden Jair Bolsonaro dari Brasil menjadi rujukan dari profil kegagalan pemimpin dunia melawan pandemi, merepresentasikan model kepemimpinan atas dasar maskulinitas hegemonik patriarkhal.
Bagaimana kita melihat keberhasilan kepemimpinan perempuan ini dengan perspektif gender atau dengan pendekatan feminisme agar tidak jatuh pada stereotyping atas dasar jenis kelamin? Sejauhmana (keberhasilan) kepemimpinan perempuan ini menunjukkan status keadilan gender di tengah pandemi?
Pertama-tama, dalam perspektif keadilan gender, sangat penting mengapresiasi dua hal terkait kepemimpinan perempuan di masa pandemi ini. Pertama, kemunculan beberapa perempuan pemimpin, yang minoritas namun justru terlihat menonjol, di tengah kepemimpinan politik dunia yang secara kuantitatif didominasi laki-laki; dan, kemunculan para perempuan pemimpin itu lebih karena keberhasilannya mengendalikan wabah di negaranya masing-masing. Secara “kasat mata,” kehadiran mereka yang menonjol secara langsung men-challenge konstruksi ketidakadilan gender di ranah politik, khususnya dari aspek kepemimpinan.
Kedua, pengakuan publik terhadap keberhasilan para pemimpin perempuan yang ditunjukkan dengan blow-up media massa serta upaya untuk mem-viralkan sepak terjang dan keberhasilan mereka dalam perang melawan Covid-19. Semangat publik menyirkulasi informasi tentang keberhasilan para pemimpin perempuan itu bisa menjadi indikasi “kesadaran gender” dalam hal keinginan untuk menonjolkan (centering) eksistensi dan kapasitas perempuan di tengah dunia politik yang terpusat pada laki (male centric).
Meski demikian, kita perlu menghadirkan refleksi lebih dalam kepemimpinan perempuan tersebut agar bisa melihat situasi lebih inti (core) dan substantial baik tentang kepemimpinan perempuan dan situasi politik berkaitan dengan pandemi global. Dalam hal ini, sangat penting menggunakan pendekatan keadilan gender dan feminisme untuk menghasilkan refleksi substansial yang melebihi reaksi popular yang sering hanya menyentuh aspek permukaan, dan sering membuat kita jatuh pada cara pandang stereotype yang simplistis. Keduanya, bisa disebut, menjadi upaya decentering dominasi laki-laki dalam kepemimpinan politik global.
Pendekatan keadilan gender dan feminisme menegaskan adanya proses pembelajaran (learning) di balik kemampuan leadership para pemimpin perempuan. Dengan pendekatan ini, kita memahami, kapasitas di balik keberhasilan mereka mengendalikan wabah tidak terbentuk secara natural sebagai efek alamiah dari jenis kelaminnya sebagai perempuan (female). Pendekatan ini menggarisbawahi pentingnya menghindari esensialisme yang memercayai adanya essence atau inti atau esensi alamiah dalam diri perempuan yang menentukan atau menurunkan sifat-sifat “keperempuanan” (femininity) yang dilekatkan pada perempuan, misalnya besar hati, caring, loving, mudah terenyuh dengan penderitaan atau kesusahan, sifat solider dan empati yang kuat, lebih tanggap terhadap masalah, dan sejenisnya.
Para feminis, khususnya antropolog feminis, telah mengenalkan istilah biological determinism, sebagai alat analisa kritis terhadap cara pandang biologisme yang menyatakan kapasitas dan kualitas sosial seseorang ditentukan oleh atau merupakan konsekuensi natural dari ketubuhan-biologisnya. Dalam hal melihat keberhasilan perempuan, seperti dalam kasus para pemimpin di atas, sangat perlu menghindari perspektif biological determinism yang lebih menekankan argumen bahwa kemampuan kepemimpinan perempuan seperti ditunjukkan para pemimpin di atas ditentukan oleh kondisi ketubuhan para perempuan itu atau merupakan hasil otomatis dan natural dari biologi perempuan yang mereka miliki (female’s biology). Pandangan ini problematik karena menegasikan proses learning yang dinamis dan kompleks, termasuk di dalamnya pengalaman negosiasi dan kontestasi, hingga mereka mencapai “derajat” perempuan pemimpin yang mumpuni.
Selain itu, dengan biological determinism, kita menafikan (kemungkinan) munculnya pandangan dan perilaku “berkeadilan gender,” empati dan solider, responsif terhadap penderitaan orang lain, caring dan loving, pada mereka dengan ketubuhan dan biologi laki-laki (male’s biology). Gubernur Andrew Cuomo dari New York, AS, mungkin bisa jadi contoh terakhir ini; bukan hanya bertindak responsif, di tengah upaya melawan pandemi, Cuomo juga mengkampanyekan gerakan anti-kekerasan dalam rumah tangga di mana kasusnya meningkat saat pemberlakuan aturan stay-at-home.
Yang juga sangat penting dalam melihat keberhasilan kepemimpinan perempuan itu adalah menghindari cara pandang universalisme. Dengan pandangan ini, kita sering jatuh pada klaim bahwa kualitas kepemimpinan itu bukan representatif dan kontekstual, tapi berlaku universal, dimiliki semua perempuan. Universalisme menafikan konteks lokal, baik pengalaman personal atau situasi sosial-politik lain, yang berpengaruh pada terbentuknya kualitas kepemimpinan perempuan tersebut. Dengan universalisme, satu sisi, kita akan mengglorifikasi keberhasilan kepemimpinan perempuan sebagai kemenangan atau kejayaan kaum perempuan, namun, di sisi lain, hal ini sering membuat kita mengabaikan status ketidakadilan gender dalam konteks yang lebih luas di tengah pandemi.
Di tengah perayaan akan keberhasilan kepemimpinan perempuan itu, kita disodori kondisi mengkhawatirkan tentang meningkatnya kasus kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan seksual dan menguatnya misoginisme dan homophobia. Kita pasti masih ingat dengan candaan seksis yang dilakukan tanpa rasa segan oleh para pejabat tinggi, yang menyamakan Covid-19 dengan isteri yang sulit dikontrol. Dalam aspek otoritas (authority) yang lebih luas, kita menemukan menguatnya dominasi laki-laki di tengah pandemi, seperti dalam fenomena all male panelists (manel) di berbagai kegiatan seminar dan diskusi online.
Akhirnya, sangat penting merayakan kapasitas dan kesuksesan kepemimpinan perempuan, terutama di saat krisis saat ini; namun, upaya kita mem-blow up keberhasilan kepemimpinan perempuan perlu didasari dengan argumen berdasarkan keadilan gender agar tidak jatuh pada upaya stereotyping yang justeru bias gender.