“Sangat Penting Membuat Layanan Pendidikan dan Kurikulum bagi Anak Autistik”

Shinta Kristanto

Harus diakui, warga autistik di negara kita masih belum sepenuhnya mendapatkan hak-haknya atas layanan pendidikan. Banyak anak autistik dan keluarganya yang mengalami kesulitan besar untuk mengaksesk pendidikan bagi anak-anak itu. Keterbatasan layanan pendidikan bagi warga autistik tidak hanya terjadi di daerah, di pelosok, apalagi di desa-desa; di banyak kota, bahkan kota besar sekalipun, layanan Pendidikan ini belum sepenuhnya tersedia. Keterbatasan semakin besar terkait pendidikan khusus tentang seks dan seksualitas, baik tentang perkembangan seksual sampai informasi tentang kekerasan seksual. Banyak keluarga dengan anak autistik harus mencari informasi sendiri dalam menjalankan proses pendidikan seks dan seksualitas ini. Padahal tidak semua orang tua tersebut juga memiliki akses terhadap informasi dan pengetahuan tentang seks dan seksualitas anak secara memdai.

Untuk membicarakan situasi tersebut, Shinta Kristanto, ibu dengan anak autistik dan pengelola layanan terapi bagi anak autistik di Makassar berbagi pengalaman dan pengetahuan khusus bagaimana menyediakan pendidikan bagi anak autistik. Diah Irawaty dari LETSS Talk secara khusus mewawancarai Bu Shinta untuk menggali pengalaman-pengalaman pentingnya.

Berikut biodata Bu Shinta

Nama :  Shinta Kristanto

Pendidikan Terakhir: S3 Bidang Ilmu Kelautan

Pekerjaan: 1) Dosen Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin, Makassar dan 2) Pendiri dan Pemilik Pusat Terapi dan Sekolah Khusus BUAHATIKU, Makassar

Pengalaman Organisasi” Ketua Umum Persatuan Orang Tua Anak Autistik Makassar (POAAM)

Selamat membaca hasil wawancara yang juga ditranskrip oleh Diah Irawaty berikut…

Saat Dewa, anak ibu, usia berapa, Bu Shinta tahu kalau dia autistik? Bagaimana sikap atau reaksi ibu saat pertama kali tahu kondisi Dewa? Bagaimana ibu melakukan proses negosiasi dengan kondisi Dewa? Bagaimana ibu mendapatkan pengetahuan dan mencapai pemahaman bukan saja menerima kondisi Dewa tapi mendukung sepenuhnya dengan kondisinya tersebut?

 

Dewa didiagnosa autistik saat berusia 2 tahun 7 bulan. Tapi saat dia berusia 1 tahun, saya sudah melihat dia berbeda dengan anak lainnya. Dewa anak paling tua dan karenanya saya tidak begitu aware dengan kondisinya tersebut. Saya bersyukur, saya memiliki seorang saudara yang sering saya ajak sharing. Saat sekitar usia 2 tahun Dewa belum bisa berbicara seperti anak-anak lain seusianya, saya langsung khawatir dan saya diskusikan dengan kakak saya. Saya lebih dulu menikah daripada kakak saya dan lebih dulu punya anak. Saat Dewa berusia 1 tahun, saya membaca artikel di koran Kompas tentang autisme, artikel yang pertama kali dimuat tentang autisme. Nah, saya melihat sepertinya Dewa punya ciri-ciri seperti yang disebut dalam artikel tersebut. Saya berdiskusi dengan saudara dan suami. Saat itu belum ada dokter khusus autisme atau dokter anak di Masakassar yang mengerti tentang autisme. Saya tidak mau menungg; saya cari informasi tentang autisme di Jakarta. Saya bawa Dewa ke Jakarta dan kebetulan saya punya kakak yang tinggal di Jakarta.

Saya baru tahu dan sadar, yang mewakili suara anak autistik itu adalah orangtuanya. Sementara, difabel lain biasanya individunya sendiri yang bersuara. Saya isi kuisioner dan langsung Dewa didiagnosa autis tanpa diperiksa terlebih dahulu dan pada saat itu juga diminta untuk tinggal di Jakarta untuk menjalani terapi karena di Makassar memang belum ada layanan tersebut. Saya sangat shock saat itu. Saya merasa, saya yang punya anak, kenapa dokter yang dengan cepat mendiagnosa Dewa autistik. Saya berpikir ini tidak fair. Meski sangat shock, saya juga sangat realistis pada saat saya menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diberikan sesuai dengan gejala-gejala Dewa karena sejak Dewa berusia 1 tahun saya merasa Dewa berbeda dengan anak-anak lainnya. Meski sebelumnya tidak punya pengalaman tapi saya tahu dan sering membaca dan mencari tahu informasi tentang autisme. Suami saya lebih realistis dari saya dengan mengatakan bahwa Dewa memang seperti itu dan ketika dokter bilang begitu ya harus kami terima. Kami lalu memutuskan untuk tinggal di Jakarta meskipun kami tidak punya rencana untuk tinggal di sana saat itu. Suami saya wiraswasta dan bisa tinggal di sana untuk sementara waktu. Sementara saya adalah dosen dan saat itu sedang hamil, jadi saya harus menunggu sampai melahirkan dulu. Suami balik ke Makassar, saya yang ke Jakarta dan akhirnya bolak balik Jakarta-Makassar. Suami sering mengingatkan bahwa kita harus melakukan sesuatu untuk Dewa. Keluarga besar saya memutuskan agar kami melakukan treatment untuk Dewa. Akhirnya, karena dukungan keluarga, kamipun tidak berlama-lama menunggu untuk memberika treatment.

Terimakasih untuk informasi pentingnya Bu Shinta. Saya penasaran dan ingin tahu saat Dewa masih kanak-kanak, apa yang paling susah dalam mengurus Dewa? Apa yang paling membuat “kepikiran” dalam mengurus Dewa? Bagaimana dengan masalah kesehatan tubuh, termasuk anggota tubuh yang sensitif, apakah sering membuat “bingung”? Bagaimana ibu mengatasinya? Apakah saat Dewa masih anak-anak kemudian memasuki usia remaja sudah ada pembicaraan tentang kesehatan badan, kesehatan seksual, perubahan anggota tubuh terutama alat-alat seksualnya, tentang seks dan seksualitas? Jika iya, bisa diceritakan pengalaman ini?

 

Pendidikan Dewa sangat terbantu dari proses terapinya. Kebetulan, bekerjasama dengan salah satu orang tua, saya mendirikan terapi di Makassar dan saya juga pengelolanya. Pusat terapi tersebut diperuntukkan bagi anak autis dan mereka yang mengalami gangguan perkembangan lain. Tempat terapi ini didirikan setelah saya tahu Dewa autis. Saya tinggal selama setahun di Jakarta, 2000- 2001. Saya harus membawa atau mendatangkan terapis dari Jawa dan saya bawa ke Makassar. Saya berikan latihan juga ke mereka. Setelah beberapa bulan berlangsung, saya berpikir kalau hanya anak saya saja yang diterapi, mahal sekali biayanya. Saya berpikir untuk sharing karena biaya yang sangat mahal apalagi saya mendatangkan empat terapis dari Jawa. Kami sharing akhirnya dan awalnya masih praktek di rumah saya. Setelah beberapa bulan kita buka pusat terapi, daripada di rumah saya, sementara ada banyak orang tua yang mau dan butuh fasilitas seperti ini. Saya membuka pusat terapi ini sejak Dewa berumur 4 tahun. Kalau Dewa mengalami perkembangan tertentu, saya selalu bekerjasama dengan terapis untuk mengelola dan memikirkan bagaimana model pembelajarannya.

Saya tidak pernah berpikir tentang pendidikan seks dan seksualitas sampai detail tetapi saya kepikiran saat Dewa suka memegang alat kelaminnya saat usia 9 atau 10 tahun dan mulai suka melihat foto-foto perempuan cantik. Saya kepikiran bahwa hal ini harus diajarkan. Untuk memberikan pemahaman ke anak non autistik saja kan susah ya karena pemahaman harus diberikan secara visual, 90 persen harus visual dan melalui foto dan gambar. Akhirnya kita berdiskusi dengan terapis dan psikolog. Mereka juga sedang menggodok soal sex education untuk anak-anak ini. Kita sendiri mengomunikasikannya dengan menggunakan gambar-gambar atau picture communication exchange. Kami dengan mudah memperkenalkan ke anak-anak di pusat terapi tersebut tapi anak-anak tersebut tidak langsung mengerti. Tapi sebenarnya bahan materinya mudah buat Dewa karena Dewa sendiri sudah menguasai gambar. Kemudian kita menyusun materi pembelajaran. Namun Dewa tidak langsung mengerti karena ada banyak komponen yang kita ajarkan. Saya sering kuatir ada orang bermaksud jahat dengan Dewa. Saya ajarkan ini tidak boleh, yang itu boleh dan saya perkenalkan lingkaran sosialnya, social circle, family inner circle, kami perkenalkan dan setelah itu kami perkenalkan juga siapa yang boleh melihat atau meminta Dewa untuk buka baju seperti dokter atau orang tua. Saya kemudian berpikir sepertinya Dewa perlu diperkenalkan dengan anggota-anggota tubuhnya.

Kalau saya boleh tahu, program terapinya sendiri seperti apa Bu Shinta dan untuk siapa saja? Jadi sekolah khusus dan terapinya itu digabung ya untuk anak-anak yang mengalami gangguan perkembangan? Lalu bagaimana dengan keterlibatan orang tua saat anak-anak belajar di pusat terapi tersebut?

Kami menrima anak-anak dengan Down syndrome yang tidak butuh lagi dibantu atau mereka yang bisa bergerak sendiri atau anak yang memiliki kemampuan kognisi yang baik. Sekolahnya bareng dengan proses terapinya di pusat terapi yang kita dirikan dan kelola. Dewa mengikuti program terapi sampai dia berusia 8 tahun, baru kemudian masuk sekolah. Kami menerima anak di atas usia 7 tahun tapi harus punya dasar (basic)-nya. Pelajaran di pusat terapi atau sekolah kami yaitu akademik 20 persen dan yang lain-lain non-akademik. Kami mengajarkan bagaimana mereka bisa patuh atau tentang kepatuhan terlebih dahulu baru kemudian komunikasi dan materi-materi yang lain.

Saya ingin bertanya mengenai stigmatisasi Bu Shinta. Apakah ada stigma dari masyarakat terhadap anak autistik terutama ke Dewa ya dan bagaimana cara ibu dan keluarga menghadapinya?

 

Saya selalu membandingkan Makassar dengan daerah atau kota lain di Indonesia. Masyarakat di Makassar tidak menstigma autisme sebagai kutukan atau salah asuhan, kutukan atau penyakit tapi masyarakat kita masih menganggap anak-anak dengan gangguan perkembangan aneh dengan melihat mereka dari ujung kepala sampai ujung kaki. Misalnya anak-anak autistik yang hyper di mana mereka merebut sesuatu misalnya belum diterima masyarakat sehinga membuat para orangtua tidak mau membawa anak-anaknya keluar. Ada perasaan risih karena anak kita dilihat seperti itu atau misalnya orang-orang menjauh. Dewa kalau ngomong sama orang jaraknya dekat sekali, kita sering kasihtahu ke Dewa dengan perumpamaan misalnya mengatakan kalau berbicara jangan terlalu dekat jaraknya. Semua orang disapa dan ditanya namanya. Di Jakarta, penerimaan orang-orang terhadap anak autistik sudah lebih bagus dan lebih cuek, tidak lagi bingung atau merasa aneh.

Tapi di Makassar berbeda. Anak-anak kita masih dianggap seperti barang langka. Kalau soal stigma tidak pernah mendengar sih. Mungkin ada, tapi di lingkungan saya sendiri tidak ada. Mungkin mereka melihat saya cukup open dan tahu Dewa seperti apa dan apa yang saya lakukan. Soal sikap atau perlakuan orang, saya tidak begitu peduli. Saya bersyukur karena perkembangan dan kemajuan Dewa yang sangat bagus.

Saat ini, Dewa sudah usia 23 tahun. Itu artinya ia sudah memasuki masa dewasa, sesering apa ibu berdiskusi tentang perkembangan dan perubahan tubuh, kesehatan seksual, dan alat-alat seksualnya? Di luar kondisi Dewa, apa yang ibu lakukan atau siapkan untuk menghadapi sikap masyarakat yang mungkin masih stigmatik terhadap anak dengan autistik?

 

Kebanyakan anak autistik tidak bisa mengungkapkan perasaan. Hal-hal yang lain, misalnya, dalam kasus Dewa, dia sering ke kamar mandi dan lupa tidak menutup rapat atau saat ganti baju tidak melihat orang-orang di sekitarnya. Saya langsung masuk dan sampaikan ke Dewa. Selama pandemi ini, muncul rasa bosan, jadi Dewa frustasi tidak bisa ke mana-mana sehingga sulit untuk diberitahu. Mungkin memasuki ke masa dewasa ada kebingungan-kebingungan. Jadi kadang tidak bisa menahan emosi karena tidak bisa dibilangin. Banyak perilaku baru yang membuat kita sulit berkomunikasi dengan dia. Saya melihat, bila disampaikan dengan baik, Dewa bisa menerima. Kalau mau komunikasi dengan Dewa, harus diberitahu dulu, baru bisa komunikasi. Untuk masalah bagian-bagian tubuh, saya sering berkomunikasi. Jadi yang sering menjadi masalah, ia merasa ini rumahya jadi ia bisa berbuat apa saja. Tapi saya sering mengomunikasikan dengan Dewa dan ia bisa menerima. Dewa mengerti dan patuh. Saya sering marah di awal tapi dia cepat mengerti dan tidak mau kalau kita marah. Kalau menyangkut perasaan, saya kadang pakai tulisan.

Selama ini saya tidak melihat Dewa suka sama seseorang. Dewa mengembangkan sesuatu yang baru selama pandemi ini. Anak autis ada OCD-nya (obsessive compulsive disorder) dan sering kaku. Saat ini, Dewa fokus dengan kita yang di rumah saja. Di kelasnya, ada lima orang dan ada juga murid perempuannya. Pernah ada perempuan cantik dan Dewa sering menyebut nyebutnya di rumah. Saya dibilangin guru Dewa dan saya tanya Dewa saat di rumah. Anak autistik sering diajarkan untuk patuh. Kadang saya berpikir kita sering mengajarkan sebagai robot jadi mereka takut melangkah. Jadi sering kalau ditanya dia takut karena takut melakukan kesalahan apalagi kalau ia udah berbuat salah, kita inginnya langsung instruksi bilang salah. Kalau ditanya, ia langsung berksesimpulan kalau dia salah. Biasanya kita yang mengawali pembicaraan dan kita ingin mengajak mereka atau Dewa ngobrol. Mereka tidak terbiasa memulai untuk bertanya, jadi biasanya kita yang mulai duluan.

Pendekatan seperti apa yang seharusnya digunakan dalam pendidikan seks dan seksualitas bagi remaja atau dewasa autistik?

 

Kita tentu harus mengerti dan banyak berkomunikasi karena banyak hal yang harus dikomunikasikan, misalnya dengan menggunakan media berupa gambar. Saya memberitahu bagian tubuhnya yang mana yang bisa dan boleh ditunjukkan ke orang lain dan mana yang tidak boleh diperlihatkan ke orang lain dan dia harus tahu itu. Mengenai bagian mana yang harus diperlihatkan dan ke siapa, tergantung pada lingkaran sosial dan tergantung dari keluarga. Kalau di Indonesia ada keluarga seperti nenek dan kakek. Kalau di luar negeri bisanya hanya orang tua, guru, dokter, dan saudara. Saya juga menjelaskan bagian tubuh mana yang tidak boleh disentuh atau diperlihatkan ke orang lain. Contohnya adalah melakukan masturbasi harus di tempat tertutup dan aman di mana tidak ada orang lain yang melihat, seperti misalnya di kamar mandi atau di kamar sendiri kalau sudah punya. Jadi, memberitahunya harus secara detail dikomunikasikan. Yang lainnya lagi adalah tentang bagaimana menjaga kebersihan alat-alat vital, misalnya harus membersihkan bagian tertentu dan bagaimana cara membersihkannya. Yang paling mudah dimengerti bagi Dewa adalah cara belajar melaui gambar.

Bagaimana Dewa mengetahui tentang masturbasi, apakah belajar sendiri atau dari mana informasi yang ia dapatkan? Apakah ibu atau gurunya mengajarkannya?

 

Sepertinya alamiah ya mereka melakukan masturbasi. Dewa tahu sendiri dan begitu saja sepertinya. Saya tidak pernah melihatnya sendiri tapi Dewa suka pegang-pegang alat kelaminnya sendiri dan kadang-kadang digesekkan. Saya juga beberapa kali menemukan ada cairan di tempat tidur tapi sekarang saya tidak melihatnya lagi tapi saya perhatikan sering digesekkan. Saya pernah tanya seorang psikolog dan menurutnya kita tidak perlu tahu bagaimana si anak melakukannya yang penting dilakukan di tempat tertutup atau privat atau bukan di tempat umum dan orang lain tidak perlu tahu. Dan itu yang harus diajarkan. Kita harus mengajarkan hal tersebut. Saya mengajarkan untuk membersihkan diri ke kamar mandi dan mengajarkannya membersihkan tempat tidurnya sendiri.

Apakah ada percakapan atau diskusi tentang mimpi basah dan perubahan pada tubuh? Atau adakah pembicaraan tentang seks dan seksualitas yang terbuka dalam keluarga? Seterbuka apa dan sejauh mana pembicaraan tersebut?

 

 

Kami memberitahu Dewa di sekolah atau saat terapi ketika mengajarkan bagian-bagian tubuh misalnya ada tumbuh rambut di bagian-bagian tertentu tubuhnya. Kami berbagi tugas dengan terapis juga. Ada hal-hal yang tidak bisa dilihat atau diketahui terapis. Kami memberitahu dengan mengajarkan bagian-bagian tubuh yang akan ditumbuhi rambut, mengalami perubahan dan lain-lain. Untuk pendidikan seks sendiri, orang tua yang mengomunikasikannya.

Seberapa sering ibu berkomunikasi dengan Dewa? Sesering dan seterbuka apa berkomunikasi dengan Dewa sendiri?

 

Kami di keluarga sendiri masih menganut bahwa membicarakan hal tersebut hal yang tabu seperti kebanyakan orang atau keluarga yang lain tetapi saya berusaha untuk kami bicarakan, Saya mencoba berbicara tentang hal tersebut dengan anak perempuan saya dan mencoba membicarakannya secara terbuka. Saya juga bicara dengan ayah mereka tapi tidak seterbuka keluarga di Amerika. Keluarga saya dan keluarga suami masih sama dengan keluarga Bugis Makassar pada umumnya di mana pembicaraan tentang seks dan seksualitas masih tabu. Tetapi saya merasa bahwa hal ini perlu disampaikan ke Dewa. Saya sendiri mendapatkan pendidikan seks dari Dewa.

Salah satu pendidikan seks dan seksualitas adalah mendidik anak dan mendiskusikan ke anak tentang kekerasan seksual agar anak tidak menjadi korban dan berpotensi menjadi pelaku kekerasan seksual. Bagaimana mendidik dan mendiskusikannya ke Dewa?

 

Pada Dewa sendiri, kami mengajarkan tentang bagian-bagian tubuh yang tidak boleh disentuh. Kalau untuk jadi pelaku atau berpotensi, misalnya melakukan pelecehan seksual, saya malah belum kepikiran. Ini menjadi PR buat saya untuk disampaikan ke anak-anak saya.

Dari mana ibu mendapatkan informasi tentang pendidikan seks dan seksualitas? Sumber-sumber apa saja yang ibu gunakan untuk menerangkan, mendiskusikan, dan mendidik Dewa tentang seks dan seksualitas?

 

Saya mendapatkan informasi dari buku. Saat pertama kali mengajarkan ke Dewa, saya menggunakan referensi dari buku tersebut. Untuk terapis juga, kami yang mengajarkan. Psikolog sendiri kami datangkan setiap tiga bulan ke Makassar dan bahkan saat pandemi ini juga kami tetap datangkan. Ada psikolog Australia yang sangat membantu kami. Saya dapat banyak materi dan ternyata bisa dijalankan. Saya mengajarkan kepada Dewa misalnya soal growing up, tumbuh rambut, perubahan suara, dan lain-lain.

Kalau informasi dari internet bagaimana, bu? Apakah Dewa sering menggunakan internet dan apakah Dewa bisa atau pernah mengakses hal-hal yang berkaitan dengan seks? Bagaimana penggunaan internet sendiri bagi Dewa? Apakah dibatasi dan diawasi dalam menggunakan internet? Apakah Bu Shinta sendiri mendapatkan materi dari internet?

 

Kami yang pilihkan buat Dewa, dan kami membatasi dan mengawasi penggunaan internet. Kadang-kadang juga kami mendapat informasi atau mencarinya dari internet. Tapi untuk akes internet kami ketat terhadap Dewa dan terus kami awasi.

Apakah ada pendidikan seks dan seksualitas di sekolah?

 

Di SLB swasta yang pernah saya datangi, gurunya cerita bagaimana murid-muridnya yang sudah akil baligh bermasturbasi di situ. Kebanyakan anak-anak di SLB mereka bukan autistik. Saya tidak tahu bagaimana pendidikan dari orang tua dan guru mengajarkan pendidikan seks ke mereka. Mereka melakukan masturbasi di sofa, di bangku karena tidak diajarin dan dianggap tabu. Di situ juga peran pemerintah misalnya Diknas untuk menyusun ulang kurikulum terutama untuk anak difabel.

Apakah ada anggapan atau bahkan stigma bahwa anak-anak difabel itu aseksual baik di keluarga maupun di masyarakat? Apa dan bagaimana konsekuensi dengan asumi dan stigma tersebut terhadap anak-anak difabel, utamanya dalam hal ini adalah anak/warga autistik?

 

Yang saya tahu bahwa anak autistik punya hasrat dan perkembangan psikologis yang sama, misalnya ada rasa suka dengan lawan jenis atau orang lain. Lalu saya mikir harus berbuat sesuatu karena dia tidak mengerti dengan sendirinya. Diberitahu sedikit untuk difabel, biasanya langsung mengerti. Saya sendiri belajar banyak. Seandainya saya tidak punya Dewa, saya tidak akan mengerti seperti hal-hal seperti ini.

Sebagai orang tua yang punya anak autistik, apa peran dan tanggungjawab keluarga, masyarakat, dan negara dalam pendidikan seks dan seksualitas ini? Setelah begitu banyak dan kaya pengalaman dalam mengurus, mendidik, membesarkan, anak autis hingga mencapai banyak kesuksesan, apa yang ingin ibu katakan, sampaikan untuk pesan-pesan ke masyarakat juga pada para pengambil kebijakan, para orang tua?

 

Pesan untuk masyarakat, untuk orang tua dan untuk pengambil keputusan:
Gangguan perkembangan autisme untuk orang tua yang belum mengetahui, segera cari informasi dan kenali sejak dini. Kalau melihat gejala awal jangan menunda, secepatnya mencari bantuan untuk didiagnosa dan treatment di mana anak bisa dididik. Setiap perkembangan fase anak beda-beda. Kita punya pendekatan ke anak seharusnya berbeda-beda juga. Kadang-kadang kita lupa anak beranjak remaja dan dewasa dan harus melakukan pendekatan yang berbeda juga. Anak autistik biasanya kaku. Kalau kita tidak berbuat apa-apa dan tidak mengubahnya, saat mereka dewasa, nanti telat dan makin susah mengubah perilaku. Jadi saya sarankan untuk mencari bantuan secepatnya, mengetahui perkembangan dan harus tahu apa yang dilakukan baik oleh orang tua, terapis, dan kita tahu perkembangan dan fase perkembangan anak dan harus bekerjasama dengan terapis.

Buat masyaratat umum yang anaknya tidak punya ganggugan perkembangan, perlakukan anak-anak ini sama dengan anak-anak yang lain. Jangan membuat stigma karena tidak membantu orang tua dan anak-anak tersebut sama sekali. Anak-anak autistik perlu bersosialisasi. Kalau sudah ada stigma, bagaimana anak-anak ini bisa bersosialisasi.

Pesan untuk pamerintah adalah pemerintah harus menyediakan kurikulum dan fasilitas dan layanan pendidikan khusus bagi warga autistik. Hak pendidikan untuk anak sama. Untuk anak autistik dengan gejala yang berbeda-beda kurang diperhatikan dan belum ada kesepakatan tentang metode yang terbaik untuk anak-anak ini. Mudah-mudahan dengan perkembangan waktu, pemerintah sudah banyak memberikan kemajuan-kemajuan bagi pendidikan secara umum dan pendidikan khusus untuk anak autistik.

Banyak orang tua dengan anak autistik yang perlu bantuan. Banyak anak dikurung terus dalam rumah, berbeda dengan anak yang bisu dan tuli, mereka bisa berkomunikasi, bersosialisasi dan keluar. Anak autistik tidak akan keluar rumah kalau orangtua tidak membantu memberikan skill dan kemampuan. Tapi orang tua yang tidak mampu atau malu dan sebagainya yang harus diberikan penguatan dan edukasi. Untuk mengikuti terapi, tidak semua orang bisa karena terapi mahal sekali dan hitungannya per jam. Per jam mulai dari 75.000 – 150.000 sehingga terapi ini tidak untuk mereka yang ekonominya lemah. Untuk pusat terapi kita, kita tidak bisa sering-sering free karena kami harus bayar terapisnya perjam sehingga kalau kami buat free, kami sulit untuk melakukannya secara berkala dan terus menerus. Namun sebenarnya worth it dibayar mahal karena pelayanan dan penanganannya one in one jadi ya patut dibayar dengan yang sesuai sehingga mereka bisa jadi terapis dalam melaksanakan tugasnya. Kalau mereka tidak dibayar sepadan dengan kerjanya, nanti mereka akan lari.  Sedikit sekali yang bisa fulltime untuk mendidik anak-anak difabel, khususnya anak-anak autistik. Ada metode behavior analysis, bahwa untuk terapi dan pendidikan, dibutuhkan 6-7 jam perhari. Saya sering bilang, saya suka membuka pintu kelas saat terapi atau sekolah anak autistik di pusat terapi kita ketika berlangsung supaya orang tua yang mengajar bisa mendengarkan jadi mereka sambil belajar juga. Di tempat terapi saya prosesnya berlangsung selama dua jam lamanya dan harus konsisten belajar sendiri sampai 6 jam di rumah supaya hasilnya maksimal. Untuk anak autistik, pemerintah harus berpikir tentang fasilitas. Memang sudah ada pemerintah setempat yang menginisiasi. Diknas juga sudah berinisitif, tapi tidak jalan. Menurut saya, harus ada kerjasama dengan masyarakat, terapis, orang tua, dan pemerintah.

Terakhir, yang saya tahu Makassar menjadi role model untuk kota inklusif, berjalanlah, bu? Bagaimana dengan pendidikan inklusif/sekolah inklusi di Makassar, apakah sudah banyak? Sejauh mana rencana itu berjalan dan terimplementasi? Kalau belum maksimal, apa masalah, hambatan/kendala dan tantangannya ke depan? Dan strategi apa yang bisa dijalankan untuk mewujudkan harapan menjadi kota inklusif tersebut agar bisa menjadi contoh buat daerah atau kota yang lain?

 

Ini pengalaman Dewa waktu saya mencoba memasukkan Dewa ke SD di tahun 2006. Waktu itu, sudah SD inklusi di Makassar. Dewa diterima di salah satu SDN Inklusi; ada satu guru pendamping yang mempunyai dasar pendidikan khusus yang dipersiapkan. Tetapi, program inklusi saat itu tidak berjalan lancar menurut saya. Program pembelajaran atau kurikulum untuk Dewa sama seperti anak lainnya; 90% akademik sehingga Dewa sulit memahami pelajaran dan mengejar ketinggalan. Padahal saat itu Dewa juga masih belajar cara memahami arti komunikasi dan bagaimana cara berkomunikasi dengan orang lain. Jadi saya memutuskan untuk menarik Dewa dari sekolah dan saat itu juga saya memulai merintis Sekolah Khusus BUAHATIKU. Saya yakin sekarang ini sekolah inklusi di Makassar sudah lebih berkembang. Harapan saya semoga pemerintah lebih fokus dalam menyediakan fasilitas dan kurikulum untuk anak autistik di sekolah inklusi dan sekolah khusus.

Helen Keller institute punya pilot project di dua kabupaten. UNICEF dan Helen Keller institute mengadakan kegiatan dan saya sendiri ikut audiensinya dengan ibu gubernur. Dan saya lihat cukup berhasil untuk anak tuli dan bisu. Di Makassar ada beberapa sekolah inklusi tapi Dewa terpaksa saya tarik karena sekolahnya hanya sekedar inklusif tetapi sumber daya manusia (SDM)nya tidak diajari atau tidak ditraining. Kelihatan sekali sumberdayanya tidak siap dan fasilitasnya sangat kurang sehingga orang tua menjadi kalangkabut sendiri. Dewa hanya sampai kelas dua saja dan akhirnya saya tarik dari sana. Ada beberapa guru yang benar-benar niat tetapi mereka juga sibuk dengan hal-hal/kegiatan lain, sementara anak autistik itu tidak bisa sambil nyambi (disambi) dengan yang lain. Kita juga khawatir akan terjadi abuse karena geregetan dan tidak sabaran, seperti daycare kalau tidak sabar dan tidak kuat, anak-anaknya akan menjadi korban child abuse. Kita bisa lihat contoh-contohnya dan sebagian terekam di CCTV. Banyak sekali PR kita dan pemerintah. Kebanyakan orang tua anak autistik, kita tidak bsia menyuarakan sendiri karena terlalu sibuk mengurus anak, jadi akhirnya kita tinggalkan untuk menyuarakan. Kalau ada LSM atau lembaga/organisasi yang bisa menyuarakan seperti LETSS Talk saya senang dan akan ikut berpartisipasi juga. Saya harus fokus di kerjaan dan mengurus Dewa jadi tidak tertangani kegiatan-kegiatan lainnya. Tapi kalau untuk anak autistik saya siap. Untuk Dewa sendiri sebaiknya berada di sekolah umum untuk sosialisasinya.

Terimakasih atas apresiasinya. Tetapi menurut saya juga penting untuk saling bersinergi, berkolaborasi dengan lembaga/organisasi difabel lainnya, organisasi/lembaga yang concern dengan kesehatan seksual dan reproduksi, khsusnya pendidikan seks, gender, dan seksualitas, organisasi/LSM perempuan juga karena isu/temanya saling beririsan. Kita tidak bisa hanya fokus pada satu isu tertentu saja dan mengabaikan isu yang lain tetapi harus saling menguatkan, mendukung, dan bekerjasama. Sejauh mana keterlibatan bu Shinta dalam organisasi/lembaga/forum-forum seperti ini?

 

Iya, saya kira kita perlu mengorganisir diri juga dan ada persatuan orang tua dengan anak autistik Makassar. Kita pernah melakukan kampanye dan kerjasama di Hari Peduli Autisme Sedunia tanggal 2 April. Kami bikin acara besar yang melibatkan pemerintah setempat. Persatuan oang tua anak autistik bekerjasama dengan pemerintah. Kami mengajukan proposal dan pemerintah setuju, mereka ikut. Kegiatannya misalnya anak-anak melukis atau display hasil karya mereka sambil terus menampilkan slogan kampanye autis, ada juga jalan sehat. Iya, betul, kita harus saling bekerjasama. Tapi saya sering merasa sudah capek buat mengurus Dewa jadi kadang tidak ada waktu dan tidak terpikirkan untuk berorganisasi atau terlibat dalam kegiatan lain terutama untuk isu di luar autisme atau anak autistik. Tapi memang perlu, saya setuju. Mungkin ke depannya saya bisa lebih aktif dan berpartisipasi.

Terimakasih!

Posted in Kontributor.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *