Catatan Kecil tentang Pendidikan Seksualitas Berperspektif Feminis dalam Keluarga bagi Anak Laki-laki
Farid Muttaqin (Founder LETSS Talk)
Akhir-akhir ini, Allegra, anak kami, yang saat ini memasuki usia 9 tahun, mulai sering memunculkan pertanyaan-pertanyaan yang terkait dengan seksualitas. Ekposurenya terhadap kata-kata seperti gay, LGBT, rape, sex, boyfriend, girlfriend, bahkan feminisme di antaranya bersumber dari obrolan antara saya dan isteri yang memang menjadikan gender, seksualitas dan feminisme sebagai salah satu menu utama. Selain itu, Allegra mengenal kata-kata tersebut dari beberapa tulisan yang ada di komputer yang biasa kami pakai untuk menulis tugas sekolah dan tulisan lainnya. Kami memang share komputer dan laptop. Maka, suatu saat, muncul pertanyaan darinya, what is LGBT? Pada saat lain, muncul pertanyaannya, what is gay?
Saat menjelang tidur, selain membaca buku, kami juga sering mengajak Allegra ngobrol tentang situasi di kelas dan di sekolahnya, tentang pelajaran, tentang teman, dan lainnya. Obrolan menjalang tidur juga menjadi sarana bagi eksposure dia, dan proses learning-nya, tentang seksualitas. Kami juga mulai suka mengajukan pertanyaan tentang berbagai hal terkait seksualitas pada Allegra. Suatu saat, kami bertanya, do you have a girlfriend, Allegra? Kebetulan dua temannya, yang dia sebut best friend, adalah perempuan, dan mereka memang punya hubungan sangat dekat, saat di kelas atau sekolah.
Di sisi lain, berita-berita tentang berbagai kejahatan seksual begitu meresahkan. Umumnya, dalam kasus-kasus itum kita menemukan laki-laki selalu menjadi pelakunya. Meski, dalam konteks lain, seperti pernah saya “temukan” sendiri di Binghamton, New York, tempat tinggal kami sekarang, seorang perempuan yang menjadi pelaku kejahatan seksual itu. Sangat banyaknya laki-laki yang menjadi pelaku kekerasan menghadirkan keresehan sendiri buat kami: bagaimana membangun perilaku dan cara berpikir anti-kejahatan seksual pada Allegra? Patiarkhisme begitu hegemonik membuat begitu ‘mudah’ laki-laki menjadi pelaku kejahatan seksual (dan diskriminasi gender). Laki-laki sebagai pelaku kekerasan seksual bahkan dipercaya sebagai norma maskulinitas yang “seharusnya.” Maka, saat terjadi kekerasan seksual, kita menerima lumrah jika pelakunya laki-laki, dan justru menyalahkan korban! Kami percaya, perilaku anti-kejahatan seksual bukanlah hasil dari proses “natural;” perilaku anti-kejahatan seksual, anti-seksisme, dan anti-homophobia merupakan hasil dari proses learning, proses pembelajaran demi membangun cara berpikir yang tidak seksis, yang tidak memberi ruang secuilpun bagi segala bentuk kejahatan seksual. Karena perilaku anti-seksisme dan anti-kekerasan seksual merupakan hasil proses learning, maka kita, khususnya para orang tua yang terlibat dalam gerakan feminisme perlu memikirkan secara khusus hal ini; kita tidak bisa berpikir take for granted, anak-anak kita akan otomatis menjadi “feminis” dan tidak mungkin terlibat dalam seksisme dan kejahatan seksual hanya karena orang tuanya “feminis.”
Situasi seperti di atas itulah yang membuat saya mulai terpikir lagi tentang pentingnya pendidikan seksualitas dengan prinsip-prinsip feminis dalam keluarga, khusus bagi anak laki-laki. Tentu ada aspek-aspek umum lintas jenis kelamin yang perlu diterapkan dalam pendidikan seksualitas ini. Namun, struktur sosial dan norma-norma budaya patriarkhal yang begitu hegemonik dengan segala implikasinya yang berbeda terhadap perspektif dan performance gender dan seksualitas antara laki-laki dan perempuan membuat sex-segregated pendidikan seksualitas dalam keluarga ini menjadi penting. Lalu, saya teringat lagi dengan “Men Child: A Black Lesbian Feminist’s Response,” salah satu tulisan Audre Lorde dalam salah satu karya klasiknya Sister Outsider: Essays and Speeches. Tulisan Lorde ini memberikan informasi tentang prinsip-prinsip fundamental –namun bukan tentang how to yang teknis– tentang “pendidikan seksualitas” dalam keluarga, khususnya bagi anak laki-laki.
Pendidikan seksualitas perlu dimaknai sebagai proses dialog terbuka, setara, dan bebas. Anak-anak perlu dipandang sebagai subyek independen dan merdeka, yang memiliki kemampuan membuat keputusan: kita tak bisa membuat keputusan sepihak, tanpa consent-nya (sejauh mana kita membutuhkan persetujuan anak sebelum posting tentang dirinya, tentang “seksualitas”nya dalam konteks ini –seperti foto sunat– di media sosial, misalnya?). Saya sendiri memiliki prinsip yang, bagi saya, sangat penting diterapkan dalam proses ini, yaitu liberalisme dan pluralisme. Tidak hendak mendiskusikan kompleksitas akar filsafat dan politik kedua istilah ini, saya mengambil nilai kebebasan berpikir tanpa batas (liberalisme) seraya berusaha “menyediakan” sebanyak-banyaknya pilihan (pluralisme). Prinsip ini juga saya terapkan dalam “pendidikan keagamaan:” kita tak bisa hanya menyediakan ruang bagi kebebasan berpikir dan kebebasan memilih tanpa berusaha menyediakan pilihan sebanyak-banyaknya. Pendidikan seksualitas, juga pendidikan agama, dengan demikian, tidak bisa hanya fokus pada satu bentuk “seksualitas” atau satu agama saja. Alih-alih sebagai sebuah doktrinasi tentang satu bentuk “ideologi” atau norma seksualitas, pendidikan seksualitas perlu menjadi media pencarian diri tentang how to be a better human by being a male, female, trans, hetero, LGBT, etc.
Para orang tua, bisa jadi yang terlibat dalam gerakan feminisme sekalipun, sering dihantui ketakutan dan kekhawatiran saat anak-anaknya mengajukan pertanyaan terkait seks dan seksualitas. Para orang tua menanggung berat beban social taboo dan moral taboo untuk membicarakan hal-hal terkait seks dan seksualitas. Mereka lebih takut dan khawatir lagi jika pertanyaan itu mengandung subyek yang tidak mainstream dan tidak normatif dalam masyarakat patriarkhal dan heterenormatif. Misalnya, pertanyaan seperti yang diajukan Allegra, what is gay atau what is LGBT? Para orang tua sungguh takut, pertanyaan itu merupakan “awal” bagi pilihan anak-anaknya untuk menjadi tidak normatif. Daripada menghadirkan rasa takut, pertanyaan-pertanyaan ini justru sebuah kesempatan berdialog dan melakukan eksplorasi bersama hingga apapun pilihan-pilihan seksualitasnya merupakan hasil dari proses belajar yang “sadar” dan kritis.
Selain tujuan memediasi pencarian identitas dan subyektivitas (subjectivity), kedirian-seksual (sexual self), pendidikan seksualitas dalam keluarga, seperti disebut di atas, juga harus menjadi proses learning bagi terbentuknya cara berpikir dan berperilaku anti-seksisme, anti-kejahatan seksual, dan non-heteronormatif. Dalam bahasa Lorde, terutama bagi anak laki-laki yang “diasuh” secara hegemonik dalam patriarkhisme, pendidikan seksualitas dalam keluarga perlu memiliki tujuan membangun perilaku seksual yang tidak opresif dan violent. Pendidikan seksualitas perlu mengupayakan terbangunnya prinsip sexual freedom dan sexual justice. Namun demikian, juga sungguh penting untuk membangun pemahaman dan awareness, bahwa patriarkhisme dan heteronormativisme tak melulu “menjadikan” laki-laki sebagai pelaku; norma-norma sosial-budaya tersebut juga bisa berdampak pada laki-laki sebagai korban. Pendidikan seksualitas dalam keluarga bagi anak laki-laki perlu menekankan bagaiman “melakukan resistensi” terhadap serangan seksual.
Tentu saja, tema khusus menyangkut politik seksualitas juga perlu dikenalkan, dengan proses belajar yang sederhana, tentu saja. Suatu hari, Allegra mendengar saya mengucapkan kata sex, dan spontan berkomentar, “Why you cursed with that bad word, daddy?” Kita bisa menjadikan momen ini media diskusi, mengapa kata sex dianggap dirty? Kami meminta Allegra mencari informasi di Google tentang beragam makna kata sex, termasuk mengapa kata ini punya makna “jorok”, lalu mencoba menerangkan pentingnya aware terhadap “konteks” saat menggunakan kata ini.
Proses learning dalam pendidikan seksualitas dalam keluarga ini tidak harus dilakukan dalam situasi belajar formal. Meski sungguh penting jika kita punya waktu dan tempat khusus untuk melakukan proses learning ini –misalnya mengajak diskusi khusus tentang kejahatan seksual dan bahayanya–, pendidikan seksualitas dalam keluarga perlu dilakukan dalam proses-proses informal. Orang tua perlu menjdi “role model” tentang menjadi subyek seksual yang tidak opresif, adil, non-violent, dan toleran terhadap segala bentuk keragaman seksualitas. Perilaku keseharian kita, bahkan termasuk ‘candaan,’ setiap saat, perlu merefleksikan prinsip sexual freedom, sexual justice, non-violent dan non-heteronormativitas itu; dan itulah proses pendidikan seksualitas dalam keluarga yang sesungguhnya.
(Pertama kali dipublikasikan sebagai catatan (note) dalam laman Facebok penulis, 3 Februari 2020)