UU Perlindungan PRT dan Indonesia Berkeadilan

(Diah Irawaty, dokumen pribadi)

Oleh Diah Irawaty

Kandidat Ph.D. Antropologi, State University of New York (SUNY) Binghamton, New York, AS; Peneliti Care Work dan Pekerja Rumah Tangga; Pendiri & Koordinator LETSS Talk

Pemerintah akhirnya menyampaikan dukungan terbuka pada RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT). Kita perlu menyambut serius dukungan ini agar RUU segera disahkan menjadi UU.

Saya ingin menekankan betapa pentingnya UU PPRT sebagai jalan transformasi sosial dari efek historis feodalisme dan kolonialisme yang masih kuat hingga kini menuju Indonesia merdeka yang sesungguhnya, yang menempatkan keadilan dan egalitarianisme sebagai dasar utama berbangsa. UU PPRT bukan hanya tentang perlindungan PRT, tapi tentang Indonesia yang berkeadilan sosial.

Di Indonesia, pekerja rumah tangga (PRT) merupakan salah satu pekerjaan tradisional dan historikal. Pandangan ini merujuk pada kenyataan PRT yang menjadi bagian tradisi dan sejarah sosial-budaya masyarakat, jauh sebelum kita menjadi Indonesia. Dibanding beberapa negara lain yang memiliki sejarah perbudakan dan rasisme, dengan sejarah PRT, kita lebih memiliki keuntungan historis karena sejarah ini menyediakan fondasi historis bahwa sejak lama –dengan ukuran perikemanusiaan waktu itu– kita telah bersikap lebih “manusiawi” saat berhubungan dengan pekerja dari kelas bawah seperti PRT. Para majikan baik dari lingkungan feodal maupun dari kolonial tidak terlalu “keberatan” untuk tinggal satu rumah bersama para PRT, sesuatu yang mustahil terjadi dalam sejarah perbudakan dan rasisme.

Hanya saja, sejarah PRT yang melekat pada sejarah feodalisme dan berlanjut pada kolonialisme terus membebani kita untuk memosisikan PRT dan memandang statusnya dalam hierarki kelas sosial yang sangat kokoh. Dimensi historis hierarki kelas sosial yang melekat pada sejarah PRT mengalami naturalisasi dan normalisasi yang membuatnya terus bertahan bahkan hingga saat ini, ketika feodalisme dan kolonialisme tidak lagi menjadi bagian resmi masyarakat kita. Banyak pemberi kerja (employer) masih sangat senang bahkan menuntut disebut sebagai majikan (master/mistress) atau ndoro. Demikian juga masyarakat, yang juga lebih lentur menyebut employer dengan majikan bukan pemberi kerja dan PRT sebagai pembantu (servant), bukan pekerja. Situasi sosial ini menjadi salah satu bentuk praktik dan artikulasi pandangan sejarah-budaya tentang hierarki sosial yang melekat pada PRT atas dasar feodalisme yang terus bertahan hingga kini.

Feodalisme (dan kolonialisme) sebagai sistem sosial menjadi tantangan paling besar dalam advokasi UU PPRT. Namun, karena aspek feodalisme dan kolonialisme pada kerja PRT ini, jika kita berhasil mengesahkan UU PPRT, satu fase transformasi dari feodalisme (dan kolonialisme) menuju Indonesia merdeka yang sesungguhnya, yang adil dan egaliter, akan bisa digapai. UU PPRT merupakan sebuah upaya rekonstruksi sejarah keindonesiaan (nation-state); UU PPRT bukan hanya tentang perlindungan bagi PRT, tapi sebuah jalan perubahan Indonesia yang berkeadilan, yang lepas dari feodalisme.

Bukan hal mudah untuk mengesahkan RUU PPRT di tengah attitude feodalisme yang masih kuat. Dua hal, minimal, menjadi indikasi praktik dan paradigma feodalisme yang “melegitimasi” hierarki sosial PRT. Pertama, perilaku “ingin dilayani,” menikmati dilayani, atau seharusnya dilayani dalam hubungan PRT dan pemberi kerja. Anderson (2000) mengungkapkan, dengan mempekerjakan PRT, pemberi kerja bukan hanya membeli jasa pada PRT, tapi juga personhood mereka untuk selalu siap melayani dalam kondisi apapun. Pemberi kerja merasa membeli hak untuk melakukan perintah (command) karena telah membayar PRT atau mempekerjakannya. Bangunan ideologi yang membuat pemberi kerja nyaman dilayani bahkan addicted adalah feodalisme. Karena feodalisme menjadi bagian dari sejarah PRT yang mengalami naturalisasi dan normalisasi, perilaku “ketagihan” untuk dilayani ini tidak jarang dipraktikkan dan diekspresikan tanpa sadar.

Kedua, kecenderungan mempekerjakan atau secara literal “memiliki” (owning) PRT sebagai gaya hidup, menjadi perwujudan status sosial dalam masyarakat modern, urban, dan metropolis. Praktiknya adalah keluarga yang “berlomba-lomba” memiliki PRT dalam jumlah banyak, lebih dari satu atau lebih dari keperluan. Secara langsung, gaya hidup modern atau pengalaman modernisasi dengan memiliki PRT ditunjukkan perempuan-perempuan urban. Mereka bisa terbebas dari pekerjaan domestik yang dibebankan pada mereka.

Dengan mempekerjakan PRT, perempuan-perempuan urban terutama dengan status sosial-ekonomi menengah ke atas, bukan saja tidak lagi mengerjakan apa yang disebut Hochschild dan Machung (1989) the second shift atau beban ganda; mereka juga punya kebebasan (freedom) lebih besar mengakses dan melalui pengalaman dan gaya hidup modern di ruang publik yang semakin tersedia.

PRT menjadi bagian dari artikulasi kekuasaan (power exercise) yang tidak bisa dilepaskan dari paradigma dan ideologi feodalisme dan kolonialisme dan menjadi cara menunjukkan dan membuktikan kelas sosial tertentu. Menurut Bourdieu, perilaku sosial seperti ini menjadi distinction, sebuah klaim identitas dan status, penanda posisi sosial yang berbeda dengan khalayak umum. Mempekerjakan, atau bagi mereka memiliki, PRT menjadi salah satu alat validasi dan simbol kemampuan mengakses modernitas dan modernisasi. Sayangnya, artikulasi sosial terkait gaya hidup modern ini harus dilalui dengan memosisikan orang lain, yaitu PRT turut berkontribusi memberi mereka kebebasan untuk menjadi “modern.” Basis feodalisme pada pekerjaan PRT yang diproduksi melalui proses sejarah panjang dan telah mengalami normalisasi tidak mampu mengontrol attitude hiearkis bahkan ketika kita menjadi “manusia modern.”

Kita memang tidak bisa menghindar atau mengulang sejarah PRT yang lahir berbarengan dengan sejarah feodalisme dan, dalam periode selanjutnya, bersentuhan dengan kolonialisme Eropa. Keduanya adalah sistem hierarki sosial yang sangat solid. Namun, keberhasilan pengalaman perjuangan kemerdekaan atas feodalisme dan kolonialisme pada 1945 yang membuat kita menjadi bangsa merdeka dan memperbaruinya melalui “perjuangan kemerdekaan internal” gerakan reformasi 1998 perlu menjadi sumber inspirasi sejarah perjuangan melakukan transformasi menjadi bangsa yang menolak hierarki sosial berdasarkan status sosial dan status pekerjaan. Kedua pengalaman historis tersebut perlu mendorong kita melakukan defeodalisasi dan dekolonialisasi, membangun kesadaran kritis sebagai bangsa merdeka atau bangsa yang sungguh-sungguh mendambakan kemerdekaan, termasuk di dalamnya merdeka dari segala bentuk sistem sosial opresif dan berketidakadilan.

UU PPRT merupakan sebuah upaya defeodalisasi dan dekolonialisasi, menyediakan tantangan bagi kita, manusia Indonesia “modern,” untuk benar-benar mampu lepas dari feodalisme sebagai sistem ketidakadilan yang menjadi dasar hierarki sosial. Perjuangan advokasi RUU PPRT yang telah memakan waktu hampir 20 tahun –25% masa kemerdekaan– menjadi sebuah sejarah tersendiri. Advokasi RUU PRT terjadi di masa reformasi, menjadi adik kandungnya, hanya beda 5 tahun dengan usia reformasi. Reformasi adalah gerakan protes atas ketidakadilan yang di antaranya berakar pada feodalisme yang dilestarikan rezim Orde Baru dengan menjadikannya ideologi semi-resmi negara. Bersediakah kita mengesahkan RUU PPRT demi menegaskan posisi kita secara clear and distinct di hadapan feodalisme dan kolonialisme dan sungguh-sungguh berhasrat menghadirkan Indonesia yang berkeadilan bagi semua warga? Semoga pertanyaan ini dijawab DPR dengan segera membawa RUU PPRT ke sidang paripurna dan mengesahkannya menjadi UU.

(Edisi lain artikel ini terbit di Opini Kompas, Rabu, 22 Februari 2023).

Posted in Kontributor.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *