Oleh Farid Muttaqin (Pendiri LETSS Talk)

Dede Oetomo (kanan atas) dalam diskusi “Keragaman Gender dan Seksualitas” yang diadakan LETSS Talk, 12 Desember 2020.
Sabtu pagi, 12 Desember 2020, LETSS Talk (Let’s Talk about SEX n SEXUALITIES) mengadakan talkshow secara virtual via Zoom dengan tema “Keragaman Gender dan Seksualitas di Indonesia: Dari Riset ke Toleransi” (diskusi lengkap bisa diikuti di: https://bit.ly/YouTubeTalkshow9LETSSTalk). Tema diskusi ini sudah disiapkan sejak sekitar dua bulan lalu, didorong oleh situasi lebih spesifik yang dialami kelompok masyarakat dengan identitas gender dan seksual non-normatif dan non-ofisial seperti lesbian, gay, transgender, transeksual, dan lainnya –termasuk di tengah pandemic Covid 19. Belakangan, kami di LETSS Talk semakin “bersemangat” untuk menghadirkan diskusi ini saat hari-hari ini, kita sangat sering disodori adegan intoleransi, atas dasar kepercayaan, agama, etnisitas, ras, geografi, latar belakang budaya, kelas, tingkat pendidikan, afiliasi politik, disablitas, dan identitas sosial-politik lainnya… Dan intoleransi terhadap identitas gender dan seksual non-normatif dan non-ofisial adalah salah satu bentuk intoleransi paling covert, paling subtle, paling tidak disadari, yang sering muncul bahkan di antara kita yang sering mengklaim progresif. Dengan mendiskusikan hal yang sering tersimpan rapi, tersembunyi, di alam bawah sadar kita, kami berharap, diskusi ini akan menjadi sumbangan, meski kecil, bagi upaya membangun sikap lebih toleran terhadap segala bentuk keragaman identitas; kita ingin, toleransi terhadap keragaman identitas gender dan identitas seksual akan menjadi fondasi bagi penguatan sikap dan cara berpikir toleran terhadap keragaman identitas yang lainnya.
Kami sangat senang saat Pak Dede Oetomo, yang puluhan tahun terlibat dalam gerakan civil society di Indonesia dengan GAYa NUSANTARA-nya, mengiyakan undangan kami untuk menjadi salah satu narasumber, selain mbak Julia Suryakusuma, Sharyn Graham Davies, dan Wisnu Adihartono. Seperti berkah, di tengah proses pemulihan sakit, pak Dede –juga mbak Julia– bersedia untuk hadir dalam diskusi ini, dan tanpa imbalan finansial sepeserpun karena LETSS Talk memang sejauh ini merupakan inisiatif voluntarisme, khususnya voluntarisme akademik. Untuk saya pribadi, “bertemu” pak Dede pada diskusi ini menghadirkan memori yang memberi semangat khusus, sebagai seseorang yang memilih menekuni dunia aktivisme dan intelektualisme dalam isu gender dan seksualitas, termasuk khususnya identitas gender dan seksual non-normatif; setelah “hanya” dua kali bertemu langsung, lebih-kurang 10 tahun lalu, pertama di Medan dan kedua di Malayasia, saya tidak pernah lagi punya kesempatan berinteraksi langsung dengan pak Dede. Jadi, sekali lagi, kesediaan pak Dede untuk hadir dalam forum ini merupakan berkah dan energizer bagi kami untuk terus menguatkan gerakan membangun toleransi dan respek terhadap segala bentuk keragaman –khususnya gender dan seksual– dan lebih jauh upaya pemenuhan hak-hak mereka dengan identitas gender dan seksual yang tidak ofisial.
Sudah lama, sejak mengenalnya beberapa tahun lalu, saya tahu “akhlak” pak Dede yang low profile. Sebagai aktivis yang sudah sangat lama terlibat dalam gerakan membangun Indonesia yang lebih toleran terhadap segala bentuk keragaman identitas sosial, seorang sarjana dengan gelar Ph.D. dari salah satu Ivy League di Amerika, Cornell University, pak Dede tidak pernah memilih siapa yang bisa menjadi bagian pergaulannya, termasuk dalam konteks gerakan. Pak Dede, saya yakin ini juga dirasakan banyak muridnya, menjadi teman belajar yang enak dan nyaman bukan saja karena keterbukan pikiran, juga karena low profile-nya ini. You talk to him, you will not realize he is a big name in our civil rights movements with a Ph.D. from Cornell University. Saking big name-nya, saat pertama kali saya menginjak kampus saya saat ini, State University of New York (SUNY) Binghamton, saya bertemu adviser saya, yang juga mentor isteri saya, Diah Irawaty, yang menjadi Teaching Assistant-nya di mata kuliah “Society and Sexuality dan atau “Anthropology of Sex and Sexuality”, saya ditanya, so you know Dede Oetomo? Dengan bangga, saya jawab, he’s my teacher in activism. Pujian bahkan disampaikan oleh Paus Indonesian Studies, Benedict Anderson, seperti ditulis dalam Kata Pengantar “Memberi Suara Pada yang Bisu,” buku karya Pak Dede. “Pertama-tama, dalam koleksi karangan-karangan pendek ini yang rata-rata ditulis pada tahun 80-an dan 90-an, nampak kepribadian yang ramahtamah, manusiawi, dan rendah hati dari si pengarang, yang sama sekali tidak sok-jagoan sebagai perintis gerakan pembebasan gay dan lesbian di Indonesia: padahal dia memang si perintis, dan buku ini buku bahasa Indonesia pertama yang secara luas membicarakan masalah-masalah homoseksualitas di Nusantara,” tulis Pak Ben, penulis Imagined Communities yang sudah jadi buku klasik.
Ya, Pak Dede memang dikenal luas sebagai aktivis hak-hak LGBTQ, hak kelompok gender dan seksual non-nomatif. Bukan hanya di level nasional, pak Dede adalah juga dikenal secara internasional. Karena aktivitasnya dan juga karena pak Dede sendiri bagian dari kelompok dengan identitas gender dan sekual non-normatif ini, mungkin sudah puluhan kali Pak Dede menjadi “korban” langsung berbagai tindakan intoleransi dan represi, menjadi target homophobia. Saya yakin, begitu banyak pengalamannya menjadi “korban” diskriminasi, opresi, represi, kekerasan dan ketidakadilan lain selama rentang lebih dari 40 tahun menjadi aktivis hak-hak LGBT. Pak Dede adalah korban berkali-kali, bukan cuma sekali-dua kali, Tindakan intoleranasi yang didoring kebencian terhadap identitas gender dan seksual non-normatif. Pengalaman ini bukan hanya didapat dari negara yang “dicintainya” tapi juga dari masyarakat; termasuk yang paling sering “menyerangnya” adalah kelompok keagamaan. Nyatanya, seperti yang ditunjukkan hasil survey nasional yang dilakukan Denny JA Foundation pada Oktober 2012 tentang menguatnya intoleransi dalam masyarakat Indonesia, homophobia dan intoleransi terhadap LGBT berada pada posisi nomor satu bentuk intoleransi, disusul intoleransi terhadap kelompok keberagamaan minoritas Ahmadiyah dan Syiah.
Entah sudah berapa kali pak Dede dan GAYa NUSANTARA yang “diasuhnya” menjadi target teror kelompok-kelompok keagamaan homopobhia. Pada Maret 2010, Forum Umat Islam (FUI) melakukan serangan terhadap penyelenggara Konferensi ILGA ASIA yang direncanakan berlangsung di Surabaya dan Pak Dede menjadi salah satu organizernya. Alih-alih memberikan perlindungan pada para korban serangan dan penyelenggara, aparat sendiri justru melakukan pembiaran dan “memaksa” peneyelanggara menggagalkan acara. Inilah salah satu bentuk intoleransi paling telanjang yang dialami pak Dede dan komunitas LGBTQ di Indonesia. Hak warga dan hak asasi manusia untuk berasosiasi, untuk bebas berekspresi, diteror oleh mereka yang tidak setuju, dan teror itu bukan saja dibiarkan tapi “disetujui” oleh aparat resmi negara!
Hari-hari ini, sekali lagi, rumah besar kita yang bernama Indonesia sedang banyak diwarnai tindakan intoleransi. Bahkan perbedaan pendapat hal-hal “simpel” sekalipun bisa menjadi sumber bullying… Beberapa waktu lalu, kita disuguhi peristiwa penembakan yang dilakukan polisi hingga menyebabkan kematian 6 orang anggota Front Pembela Islam (FPI), salah satu organisasi keagamaan yang paling getol melakukan teror dan kekerasan terhadap LGBTQ. Sementara banyak di antara kita yang selama ini terganggu dan berseberangan secara politik dengan FPI diam-diam atau terang-terangan merayakan penembakan dan kematian ini, pada diskusi yang diadakan LETSS Talk itu, pak Dede dengan tegas, jelas dan terang mengatakan, penembakan hingga membawa kematian “begitu saja” tidak bisa dibenarkan, dan penting bagi kita untuk “membela” mereka, untuk tidak menjadi target penembakan “begitu saja”. Semua warga, siapapun, harus mendapatkan perlakukan yang adil di depan hukum,
That’s it! Kata-kata yang menunjukkan kebesaran jiwa, akhlak luhur, dari seseorang yang justru selama ini banyak menjadi korban intoleransi dari mereka! Ketika terjadi berbagai tindakan intoleransi dan kekerasan, kita tidak lagi melihat “baju” dan identitasnya; kita melihat manusianya, yang sama-sama punya hak terbebas dari segala bentuk kekerasan dan tindakan intoleransi. Bahkan, ketika itu dialami manusia yang selama ini menjadi “musuh” gerakan kita. Tentu ini bukan pernyataan kompromi terhadap tindakan kekerasan dan intoleransi yang sering dilakukan FPI dan kelompok keagamaan sejenisnya! Ini adalah sebuah “deklarasi” sangat penting yang harus menjadi bahan pelajaran bukan saja bagi kita yang karena ketidaksukaan terhadap FPI menjadi benci setengah mati dan akhirnya “menyetujui” tindakan aparat yang membuat 6 orang itu mati “begitu saja.” Persetujuan seperti ini bisa jadi merupakan artikulasi persetujuan kita atas penggunaan kekerasan daripada proses hukum yang adil yang seharusnya menjadi dasar bernegara kita. Sikap yang ditunjukkan pak Dede ini juga sangat penting untuk menggugah dan menginspirasi kelompok-kelompok intoleran dan kekerasan, agar tidak melakukannya lagi… Pernyataan pak Dede adalah suara permohonan agar kita semua tidak lagi punya pikiran bahwa kekerasan adalah solusi; kekerasan dalam bentuk apapun, oleh siapapun harus diputus!
Saya meyakini, sikap kebesaran jiwa yang merefleksikan sikap toleran tingkat tinggi tidak hanya sesuatu yang “inheren” dalam diri pak Dede. Saya meyakini, ia dibangun sebagai hasil proses aktivisme yang sangat panjang berisi pengalaman-pengalaman resistensi terhadap berbagai bentuk opresi, terutama yang dilakukan Orde Baru sebagai salah sistem politik opresif sangat established di negara kita. Pengalaman panjang, yang juga menjadi “bukti” kontribusi besarnya pada gerakan anti-opresi dan keadilan di Indonesia tidak membuat pak Dede jumawa, justru sangat low profile. Generasi muda aktivis sungguh perlu belajar banyak cara bersikap seperti ini dari pak Dede; generasi muda aktivis seperti saya sering mudah melakukan klaim, merasa telah banyak berbuat hal “besar” padahal yang kita lakukan hanya mantengin akun sosial media, dan sama sekali belum pernah merasakan “langsung” pengalaman teror, apalagi dalam bentuknya yang paling nyata, bukan teror abstrak, seperti dalam bentuk ditodong senjata laras panjang yang membuat kita “terkencing-kencing.”
Saat mendengar ungkapan Pak Dede, saya teringat Gus Dur… yang karena sikap kritisnya juga sering sekali menjadi target intoleransi bahkan teror. Namun, di banyak ceramah yang saya dengar langsung beberapa kali, Gus Dur –yang hari kematiannya hanya beda beberapa hari dengan hari kematian yang dirayakan sebagai kelahiran Yesus al-Masih– menegaskan, kita boleh marah, semarah-marahnya, (sebagai tanda tidak setuju), pada mereka yang sering melakukan teror dan Tindakan intoleran karena kita dianggap berbeda dengan mereka; tapi, cukup hanya marah; kita tidak boleh benci sampai mati….yang membuat kita kehilangan rasionalitas untuk menilai mereka sebagai manusia yang juga memiliki berbagai hak asasi.
Di tengah menguatnya intoleransi akibat batas perbedaan semakin kokoh, sikap besar hati, tidak dendam, yang ditunjukkan mereka yang pernah menjadi korban berbagai tindakan intoleransi –berkali-kali, bukan hanya sekali, dan palinng tragis, tidak sekedar diremove dari list pertemanan— menjadi sumber sangat penting untuk membangun lagi pemikiran, kekerasan dalam bentuk apapun, oleh siapapun, dengan korban siapapun, sama sekali tidak bisa diterima, sama sekali bukan solusi… Mari berterima kasih pada mereka, dan, lebih dari itu, semoga kita bisa mengambil pelajaran ….
Saya senang dan bangga bisa mengikuti TalkshowSeri9 ini. Ada suplai semangat bagi diri saya untuk tetap menyuarakan pentingnya penghargaan terhadap keragaman.
Terimakasih LETTS Talk !
Terima kasih mbak Lily, kita tunggu kiriman tulisannya ya….